Fakta dan Pertemuan~

6.2K 668 62
                                    

-Awali dengan Bismillah dan akhiri dengan Alhamdulillah-

🌼🌼

"Bersyukurlah atas kamu yang terlahir sebagai seorang muslim. Banyak mereka di luar sana yang masih bingung dalam menentukan keyakinan dan belum di berikan Allah hidayah. Jaga iman dan Islammu."
Indahnursf~

🌼🌼

Aku mengembuskan napas panjang saat mengingat apa yang sudah Nathan jelaskan padaku tadi. Aku tidak menyangka ternyata Nathan benar-benar lelaki yang sedang mencari jati dirinya. Memang saat jiwa ini tidak merasa tenang walau apa pun yang berkaitan dengan dunia sudah kita dapatkan, kita akan merasa gelisah, dan seperti ada sesuatu yang sulit di deskripsikan.

"Sudah sampai, Mbak." Aku tersentak, ternyata aku sudah sampai di rumah sakit. Dengan uang pas aku membayar ojek, kali ini aku tidak bisa melebihkan membayarnya, bukan karena tidak mau sedekah karena uangku pas-pasan untuk ongkos pulang nanti.

Setelah aku membayar dan mengembalikan helm ke pemiliknya, dengan cepat aku masuk ke rumah sakit menuju ruangan ayah. Aku rindu ayah.

"Dokter, apakah ayah ada perkembangan sejauh ini?" tanyaku tiba-tiba, saat melihat lelaki paruh baya yang sudah aku kenali sebagai salah satu dokter yang merawat ayah di rumah sakit. Bahkan dokter ini sudah mengenali aku.

Mungkin, jika di rumah sakit ini terdapat juara dalam predikat terlama di sini, mungkin aku rasa akulah pemenangnya. Sudah setahun lebih aku bolak-balik rumah sakit ini.

Stop, Madani! Tidak boleh mengeluh. Jalani saja. Toh, sekarang aku tidak harus khawatir kehabisan uang untuk biaya ayah. Allah Maha Adil, Allah sudah mengirimkan orang baik untuk membantu biaya ayah.

Alhamdulillah.

Dokter itu tersenyum ke arahku, dan aku dapat menyimpulkan jawabannya bahwa ayah masih tetap sama seperti sebelumnya. Aku sudah terbiasa mendapat jawaban seperti ini, bahkan hampir setiap harinya. "Teruslah berdoa, Nak," ujar sang dokter.

Aku meneruskan langkahku untuk ke ruangan ayah. Namun, saat langkahku menuju ruangan ayah aku melihat ada seorang perempuan tengah menangis sendirian. Aku tidak kenal dia siapa, tetapi aku merasa iba padanya. Barangkali dia membutuhkan pertolongan, kan.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanyaku pelan.

Isak tangisnya semakin jadi, aku berdiri di sampingnya. Aku merasa bahwa perempuan ini sedang ada masalah. "Maaf, Mbak. Apa Mbak baik-baik, saja?" tanyaku lagi.

Beberapa detik kemudian suara tangis itu mereda. Aku menarik napas lega. Syukurlah kalau perempuan ini mendengar pertanyaanku.

"Aku baik-baik saja, makasih ya," jawabnya seraya tersenyum.

Aku memandang wajahnya dengan senyuman saat dia tersenyum ke arahku. Perempuan ini cantik sekali. Wajahnya begitu teduh dengan balutan jilbab panjang. Kulitnya putih bersih dan terawat. Terlihat juga dia perempuan yang baik hati.

"Sungguh?" tanyaku meyakinkan. Aku tahu, dia sedang tidak baik-baik saja. Dapat terlihat dari raut wajahnya yang nampak khawatir tetapi aku tidak tahu apa sebabnya.

"Ayahku,... kritis," ucapnya.

Aku tersenyum getir ke arahnya. Aku jadi teringat bagaimana pertama kalinya aku mengetahui kalau ayah dinyatakan koma. Saat itu aku benar-benar hancur. Aku merasa kalau ayah akan meninggalkan aku sendirian, selamanya. Ya, itulah yang aku rasakan pertama kali. Aku tahu, yang di rasakan oleh perempuan ini pasti tidak jauh beda dengan yang aku rasakan dulu.

Madani (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu