Bagian Lima - Demi Keluarga

34.8K 1.2K 25
                                    

Bau minyak angin membuat Sarah yang beberapa jam lalu pingsan perlahan mulai tersadar. Kedua matanya terbuka setelah melawan rasa silau yang menyerbunya. Terdengar kalimah syukur yang bersahut-sahutan di sekitarnya. Pusing, namun ia memaksakan diri untuk melihat orang-orang yang mengerubutinya. Ada sepupu-sepupu perempuannya yang berebut memijat kedua kakinya, serta ada tante-tantenya yang menatap khawatir bahkan menangis pelan di dekatnya.

"Sarah," suara Ibu dari Vio sepupunya membuat gadis itu menoleh. "Minum," tawarnya.

Sarah menggeleng. Pelan, tangisnya kembali pecah. Make up yang menempel di wajahnya semakin luntur karena air mata.

"Sabar," kata tantenya yang lain seraya cepat merangkulnya. "Semua kejadian pasti ada hikmahnya. Percayalah, yang tabah ya, nak."

Sarah tidak menanggapi. Hatinya terlalu sakit dan hancur. Sabar? Bisakah?

Sungguh tidak disangka nasibnya akan begini.

Wanita mana yang tidak akan bersedih?

Wanita mana yang tidak akan kecewa?

Wanita mana yang tidak akan hancur ketika pria yang dicintainya pergi begitu saja pada saat acara ijab kabul pernikahan akan dilaksanakan. Harapan dan impiannya runtuh sudah. Sakit, Sarah merasa sesuatu menancap didadanya, mengiris hatinya, mengacak-acak pikirannya, menghalangi jalan napasnya hingga terasa sangat sesak.

"Arfan ...," lirihnya sambil menangis. Apa kesalahannya sampai pria itu tega meninggalkannya?

"Sarah, sstt ...," tantenya menenangkan, "sabar ...."

Namun tangisannya malah semakin menjadi. Tidak ada yang dapat mereka semua lakukan kecuali ikut menangis. Bahkan Vina dari tadi sudah menangis dipelukan kakak sepupunya, Vio.

"Sarah?" tiba-tiba Om Daud muncul dari balik pintu. Dengan tergesa-gesa beliau menhampiri putri tunggalnya.

Tante dan sepupu-sepupu Sarah segera keluar teratur dari kamar pengantin saat Om Daud memeluk putri satu-satunya ini. Tak kuasa menahan sedih berkali-kali Om Daud membisikan kalimat dzikir dan do'a-do'a untuk menenangkan putrinya. Hatinya juga sangat sedih dan marah tetapi om Daud berusaha tegar, menyembunyikan air mata dibalik kekakuan wajahnya. Bagaimanapun Bachtiar adalah sahabat sekaligus rekan bisnisnya. Melihat kawannya sama terpukul dan marah atas kejadian ini sama seperti dirinya membuat Om Daud tak kuasa melampiaskan kemarahannya. Arfan, sepertinya Om Daud akan sulit memaafkannya.

Satu jam sudah berlalu. Setelah Sarah tenang, Om Daud mulai berbicara. "Ayah punya putri yang kuat bukan? Kuat seperti bunda," Om Daud membelai rambut panjang putrinya.

Mendengar hal itu membuat Sarah mencoba menghapus air mata dengan punggung tangannya. Berusaha tegar, gadis berkulit putih kekuningan itu teringat pada bundanya. Ayahnya selalu bercerita bahwa ibunda Sarah adalah orang yang kuat dan sabar. Tapi bisakah Sarah menirunya? Airmatanya pun kini masih belum mau berhenti.

"Maka dari itu ...," pria bertubuh tinggi besar itu agak ragu sejenak. "Ayah minta, sekarang ... Sarah berdandanlah yang cantik."

Sarah memandang ayahnya tidak mengerti. Sungguh berat dan terkesan sangat tega bagi seorang ayah pada anaknya yang tengah hancur terluka. Tapi apa boleh buat, Om Daud terpaksa harus menyampaikannya.

"Tamu undangan sudah terlanjur datang. Ayah ... Tidak bisa melarang mereka untuk tidak datang."

Sarah semakin tidak mengerti.

"Maafkan ayah Sarah. Ayah tidak bisa membatalkan acara resepsinya."

Sekali lagi hati Sarah terkoyak. Apa dirinya akan kuat berhadapan dengan para undangan? Apa yang harus dilakukannya didepan sana? Berdiri sendiri di atas pelaminan sambil tersenyum atau jangan-jangan seseorang telah kembali.

"Arfan?" tebak Sarah. Ada nada harapan dalam suaranya.

"Jangan sebut namanya di depan ayah!" Om Daud menahan amarah. "Bagas, nak. Ia yang akan menjadi pengantin pria di pelaminan."

Sarah terkejut sampai tak tahu harus berkata apa.

***

Intan duduk menopang dagu tidak jauh dari Kakaknya yang tengah berdiri menatap keluar jendela. Saat ini pemuda berambut hitam itu sudah mengganti jasnya dengan stelan pakaian pengantin berwarna kuning keemasan. Sebuah keris tersemat dipinggangnya. Gagah, andaikan senyum bahagia terukir diwajahnya, sempurna sudah penampilan Bagas. Tapi bagaimana bisa tersenyum? Jelas ini bukan pernikahannya. Ia hanya menggantikan posisi Arfan diacara resepsi nanti untuk menyelamatkan nama keluarganya dan keluarga Om Daud. Bagaimana penilaian para kolega ayah Bagas dan kenalan Om Daud bila sampai tahu Arfan-putra sulung dari keluarga Bachtiar-yang hendak menikah mendadak lari meninggalkan calon istrinya saat acara akad nikah hendak dimulai? Bagas tidak mau membayangkannya.

"Kak Bagas," Intan memanggil.

"Hmm, Apa?"

"Kira-kira kak Sarah bakal mau enggak?"

Bagas terdiam tidak menjawab. Saat dirinya menawarkan ide ini, ayahnya dan Om Daud sudah sepakat tidak akan memaksa Sarah. Kalau gadis itu tidak mau, Bagas sudah bertekad akan nekad berdiri sendiri dipelaminan nanti. Pokoknya bagaimanapun nantinya, tujuannya hanya satu yaitu menyelamatkan kehormatan keluarga. Yah, walau cara ini bisa disebut membohongi orang dan tidak menjamin para tamu akan merasa janggal dan bertanya-tanya. Pikiran Bagas terasa sudah buntu sewaktu melihat Umminya menangis terus saat mengatakan kekhawatirannya tentang nama baik keluarga.

"Kak Bagas ...," panggil Intan lagi menagih jawaban.

"Kakak enggak tau, De," jawab Bagas pelan. "Kakak enggak bisa nebak."

"Terus ... Kalau kak Sarah mau," Intan ragu-ragu. "Kak Nadine gimana?"

"Nadine?" pemuda tinggi berkulit manis itu bagai diingatkan. Benar, bagaimana dengan Nadine? Kenapa dari awal tidak terpikir olehnya? Gadis itu memang belum jadi pacarnya, tapi perasaan sukanya sudah bukan rahasia lagi dikeluarganya. Ia bahkan sudah meminta izin pada Ummi dan Ayahnya untuk melamar gadis itu. Hancur sudah rencananya untuk melamar Nadine dalam acara resepsi nanti. Bagaimana cara ia menghadapi dan menjelaskan segalanya kepada gadis itu?

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang