Halaman 1

71.3K 1.6K 11
                                    

Satu

Udara dingin kota bandung membuat senyumnya mengembang.

Seorang pria bertopi dengan tubuh jangkung meregangkan otot-otot tangannya sebelum melangkah menuju pintu keluar sambil menarik kopernya yang berukuran sedang. Beberapa saat naik pesawat terbang membuat badannya pegal-pegal.

Padahal waktu yang di tempuh tidak selama perjalanannya dengan menggunakan bus.

Kini jarak kota Jakarta-Bandung memang tidak terlalu jauh dengan adanya jalan tol Cipularang yang panjang membentang.

Namun kali ini pesawat terbang adalah pilihan transportasi yang tepat untuknya mengingat seberapa waktu yang harus dikejarnya.

Hari ini kakak sulungnya yang bernama Arfan akan menikah.

Sidang kuliahnya baru beres hari kemarin, maka dari itu ia baru bisa berangkat pagi ini menuju kota kelahirannya.

Bandung, kota yang paling ia dirindukan.

Selama masa kuliahnya hanya sebulan sekali ia bisa pulang kesini.

Tapi sekarang, ia bisa bersantai lebih lama di kota ini. Kuliahnya telah selesai tinggal menunggu acara wisuda saja.

Suara musik Kenny.G mengalun dari ponselnya.

Cepat-cepat ia merogoh kantong celananya kemudian tersenyum sambil menekan tombol hijau pada ponselnya.

"Assalaamualaikum, ya Ummi. Bagas masih di bandara. Oh," pemuda itu melirik jam tangan hitamnya, "kalau begitu Ummi dan yang lainnya duluan saja, nanti Bagas langsung nyusul kesana. Apa? Jangan dong mi, kasian nanti pengantinnya kelamaan nunggu," pemuda itu tertawa kecil.

"Iya Ummi, walaikumsallaam."

'klik'

Bagas menekan tombol merah sebelum memasukan ponselnya kembali.

Acaranya akan dimulai jam sembilan pagi ini.

Sekarang saja sudah hampir jam setengah sembilan.

Butuh kurang lebih satu jam untuk mencapai rumah calon kakak iparnya.

Itu juga kalau tidak macet.

Jam segini jalan Pasteur pasti sedang macet-macetnya.

"Huh..." bagas menghela napas, kota Bandung sekarang sudah banyak berubah.

Semakin padat dan gersang.

"Den Bagas."

Langkah kakinya terhenti.

Seorang laki-laki separuh baya dan berpeci berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Den, naik pesawat yang itu yah?" tanyanya sambil menunjuk pesawat yang baru saja lepas landas.

Bagas hanya tersenyum.

"Besar juga ya den?" tanyanya lagi masih dengan terheran-heran.

"Mang Ujang pengen naik pesawat?"

"Ya pengen den, nanti kalau naik haji," mang Ujang tersenyum sambil mengambil alih koper yang dibawa Bagas.

"Amiin, mudah-mudahan cepet ada nasib ya mang?"

Mang Ujang manggut-manggut sambil tersenyum senang.

Bagas melepas topi dan tas ransel hitamnya sebelum masuk ke dalam mobil Panther merah yang menjemputnya.

Ia meminta mang Ujang membelokan mobilnya ke arah masjid besar yang terletak diseberang kantor gerbang masuk ke PT.DI untuk mengganti bajunya dengan pakaian resmi yang dibawa oleh supirnya ini.

Sekali lagi mang Ujang terbengong-bengong saat mobil yang mereka tumpangi melewati jalan di luar lapangan bandara yang diberi pembatas ram besi.

Bagas tersenyum maklum, karena baru kali ini mang Ujang menjemputnya di bandara.

Selama ini Bagas lebih sering pulang ke Bandung naik bus atau ikut mobil Arfan kakak sulungnya yang bekerja di daerah Tangerang.

Mobil Panther merah yang membawa mereka berhenti di halaman parkir depan masjid.

Bagas segera turun sambil membawa setelan jas dan kemejanya.

Dengan langkah ringan ia menuju ke kamar mandi.

Mengganti kaos putih dan celana jeansnya sambil sesekali melihat jam tangan hitamnya.

"Ini peci-nya den," kata mang Ujang sebelum menjalankan mobilnya kembali.

Bagas langsung memakainya.

Sepatu hitam mengkilat, celana panjang hitam beserta stelan jasnya, kemeja putih polos berkerah baju takwa dan peci hitam yang dipakainya membuat dirinya tersenyum-senyum sendiri.

"Kenapa den?" tanya mang Ujang heran.

"Enggak mang, cuma ini bajunya ...."

"Neng Intan yang menyiapkan, den Arfan juga memakai pakaian yang seperti ini. Memangnya kenapa den?" Tanya mang Ujang polos.

Bagas tertawa kecil mendengarnya, "Intan...Intan, yang mau menikah-kan kak Arfan, masa pakaiannya disamain begini. Pantes, ini mah stelan buat pengantin mang."

Mang ujang manggut-manggut lagi, "gitu ya den? Oh iya, ini ada titipan dari neng Intan."

"Apa?" tanya Bagas sambil membuka tutup kotak makanan plastik.

"Katanya harus dihabiskan den," celetuk mang Ujang sambil mengarahkan mobil ke arah jalan Padjajaran.

Sebuah senyuman kembali terukir diwajah Bagas.

"Intan...Intan," gumannya sambil memandangi sepuluh buah kue sus dan lemper isi daging ayam kesukaannya.

***

Semerbak harum bunga melati memenuhi kamar pengantin.

Kain-kain berwarna putih perak dan biru tua menjuntai ke lantai menutupi dinding kamar beserta langit-langitnya.

Tumpukan kado-kado besar-kecil dan bantal-guling dengan sarungnya yang berwarna perak telah tertata rapi diatas tempat tidur.

Seorang pengantin berjilbab duduk manis disebuah sofa panjang yang berada di sudut kamar.

Baju kebaya putih bermodel pinguin selutut, bawahan batik penuh manik-manik dan berbagai hiasan melati serta pernak-pernik yang menempel dikepalanya membuat ia tidak leluasa bergerak.

Walau begitu senyum kebahagiaan penuh rasa gugup tidak berhasil ia sembunyikan di wajah manisnya yang berbentuk oval.

Dua kerabat yang menemaninya sibuk mengerakan kipas kearahnya untuk mengusir hawa gerah yang terasa, mungkin karena ruangan berukuran 5x4 meter ini jadi tertutup. Jendela kamar dan pintu yang mengarah ke balkon juga sengaja ditutup.

Padahal AC sudah dinyalakan dan udara kota bandung hari ini juga cukup dingin tidak seperti biasanya namun bulir-bulir keringat tetap saja membasahi tangan dan kakinya.

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang