Bagian sebelas

23.8K 679 6
                                    

'Tidiiid ...!'

Hanya gara-gara ada sebuah motor yang terlambat melaju ketika lampu merah telah berganti menjadi hijau, Arfan menekan klakson mobilnya dengan tidak sabar.

"Brengsek!" makinya.

"Pelan-pelan, Fan," Irma ketakutan melihat pemuda itu mengemudikan mobilnya dengan sangat serampangan. "Arfan! Stop! Stop! Kamu bikin aku stres, tau!"

Arfan melirik tajam, kemudian malah menambah kecepatan mobilnya. Ia menyalip beberapa mobil sambil membunyikan klakson sebelum akhirnya memasukan mobil Honda Jazznya ke halaman sebuah rumah sakit.

Tanpa berkata-kata pemuda berambut pendek itu turun dari mobil. Lutut Irma agak gemetaran karena masih syok atas tindakan Arfan yang ugal-ugalan di jalan tadi.

Melihat gadis berambut sebahu itu tidak kunjung turun, Arfan membuka pintu mobilnya kembali dengan wajah kesal.

"Aku tau, kamu sengaja ngebut, kan? Biar aku stres!" kata gadis itu tiba-tiba lalu menangis. "Biar janin ini ikut stres, supaya kamu enggak usah tanggung jawab. Iya kan?!"

Arfan cukup kaget mendengar kata-kata Irma. "Hhh ..." pemuda itu menelungkupkan kedua telapak tangan di wajahnya sendiri. Ia lupa kalau gadis yang duduk di sampingnya ini sedang hamil.

Ia mengakui, saat mengemudi tadi dirinya cukup emosi.

Jalanan petang yang super macet di tambah masalah yang ditanggung pikirannya sangat banyak dan berat membuatnya kehilangan kendali. "Maaf," kata pemuda itu pelan.

Irma masih terisak.

"Ayo turun, keburu malam," suara pemuda itu agak melembut.

"Fan ...!" kini gadis itu memandang Arfan lekat-lekat. "Segitu enggak percayanya kamu sama aku, sampai-sampai aku harus periksain kandungan ini sekarang?"

"Aku cuma mau mastiin," pemuda itu membuang muka. Risih rasanya dipandang seperti itu, "cepet turun."

"Tapi ini hari minggu, Fan."

Pemuda itu terkejut, "minggu?!"

"Dokternya enggak ada. Kalau enggak percaya, liat aja sana," Irma sibuk menyusut air matanya sendiri.

Mulut Arfan terbuka karena hendak berkata-kata. "Hhh ..." akhirnya hanya helaan nafasnya saja yang terdengar. Kesal, sebal, marah semua menjadi satu tertahan di hatinya. Tangan Arfan terkepal kala melihat wajah sembab Irma.

"Aku mau pulang ke kos-an," gadis itu sengaja memalingkan wajahnya dari tatapan tajam Arfan.

"Enggak!" pemuda itu duduk di belakang kemudi. "Sebelumku tau 'itu' beneran karena aku dari dokter."

"Tapi, Fan ... kalau aku tinggal di rumah kamu, apa kata tetangga nanti?"

"Terserah," pemuda itu tidak peduli. Arfan merasa harus terus mengawasi Irma sebelum dirinya mengetahui bahwa gadis itu benar-benar hamil karena perbuatannya.

***

"Bagas lagi di rumah sakit, Mi."

Mang Ujang yang sedang menyetir mobil Panther merah milik majikannya menoleh pada pemuda jangkung yang tengah menerima telepon di sampingnya.

"E ... Intannya tidur, Mi." pemuda itu mengarang alasan, "iya, entar besok pagi Bagas bilangin. Ummi istirahat, yah? Hoaam ...!" ia pura-pura menguap. "Bagas tidur dulu ya, Mi? Udah malem banget. Ummi harus istirahat biar cepet sehat. Heem, wa'alaikumsalaam."

Melihat majikannya terus mengurut kening, Mang Ujang jadi khawatir. "Den, mau istirahat dulu?"

"Enggak, Mang." jawab Bagas lesu.

Pria setengah baya berbadan kurus itu mengangsurkan sebotol air putih. "Minum dulu, Den."

Bagas menerimanya lalu meneguk setengah isinya. "Bagas bohongin Ummi, Mang." Nada sesal terdengar jelas dalam suaranya.

"Demi kebaikan, Den. Kalau Bapak Haji sama Ibu tau, Aden enggak bisa nyusulin Den Arfan kayak gini."

Bagas membenarkan kata-kata Mang Ujang dalam hati. Kalau mereka tahu, Ayahnya pasti marah besar sedang Umminya pasti memaksa ingin ikut. Teringat kondisi ibunya yang sakit membuat Bagas ingin cepat-cepat bertemu dengan kakaknya. Ia juga penasaran, apa yang membuat kakaknya itu pergi tiba-tiba begitu.

"Den," Mang Ujang membuyarkan lamunan Bagas. "Udah nyampe."

Pemuda jangkung itu menengok ke sisi jendela. Terlihat sebuah rumah bertingkat dua berdiri di balik pagar besi yang menjulang tinggi.

Tanpa membuang waktu Bagas turun dari mobil.

"Den Bagas?" Bi Inah yang hendak mengunci pintu pagar terkejut.

"Arfan sudah tidur, Bi?" tanya Bagas sambil berjalan melewati wanita agak tua itu.

"Be-belum, Den," jawabnya agak gugup. "Eh, Den, tu-tunggu! Jangan dulu masuk ...."

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang