Lanjutan bagian sepuluh

24.6K 743 17
                                    

-->

"Kamu harus makan. Kasiankan Mbok Inah, udah capek-capek masak. Masa ga dimakan," sekarang gadis bermata coklat tua itu menumpahkan sesinduk sayur lodeh ke atas piring Arfan. Ia juga memilihkan ikan goreng yang paling besar untuk pemuda itu.

Melihat Arfan tidak juga memegang sendoknya, gadis itu menghentikan suapannya. "Mau disuapin?" tawarnya.

Arfan sedikit terkejut. Ia melirik tidak suka kemudian mulai memainkan nasi di piringnya. Sewaktu menjalin hubungan dengan Irma dahulu, ia sering disuapi oleh gadis itu. Namun sekarang, membayangkan masa-masa itu malah membuat nafsu makannya semakin hilang.

"Sekarang berapa bulan?"

"Hmm?"

"Kandunganmu," kata Arfan malas.

"Dua bulan."

Apa? Dua bulan? Bukankah peristiwa itu terjadi tiga bulan yang lalu. Tapi kenapa kandungannya masih dua bulan? Mungkinkah? Arfan melihat Irma mengunyah dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda seseorang sedang berbohong.

"Kita ke dokter kandungan hari ini," Arfan berdiri dari duduknya.

"Apa?" gadis itu hampir tersedak. "Tapi, Fan?"

Arfan tidak menghiraukan nada protes dari gadis itu. Ia berjalan cepat menuju kamarnya.

"Fan?! Kenapa, sih? Kamu enggak percaya kalau aku ini hamil? Aku kan udah ngeliatin hasil test packnya sama kamu."

"Aku cuma mau mastiin kalau 'itu' bener-bener gara-gara aku," jawab pemuda itu berusaha tenang.

Irma tampak tidak terima, "terus kalau memang bener, kamu mau apa?! Hah?!"

"Aku nikahin kamu!" seru pemuda itu kesal. "Puas?!" dipandangnya mata gadis itu lekat-lekat. Emosinya sudah tidak terbendung lagi.

Kini mulut gadis berambut sebahu itu tertutup rapat. Ia hafal benar watak pemuda pendiam ini bila sedang marah. Jika sekarang ia nekad bersuara lagi, isi kamar ini pasti akan hancur berantakan.

***

Hujan turun lagi. Sarah menyandar pada bantal yang sengaja ditumpuk tinggi. Sore yang sepi, acara televisi tidak ada yang menarik perhatiannya. Sebenarnya ia kesal karena berlama-lama tiduran di ruang perawatan ini. Tapi Ayahnya ingin dirinya dirawat satu malam lagi.

"Kak Sarah!" seseorang berteriak dari arah pintu. Membuat gadis itu melonjak kaget.

"Intan? Vina?"

"kakak gimana perasaannya?" tanya Vina polos.

Intan mendelik lalu menyikut Vina, "eh, bukan-bukan. Gimana keadaan kakak sekarang?" ralat Vina, adik sepupu Sarah.

"Baik," Sarah berusaha tersenyum. "Kalian ke sini sama siapa?"

"Sama Kak Bagas," celetuk Vina.

Sarah kembali terkejut mendengarnya. Pemuda itu ke sini lagi? Pikirnya. Ia jadi ingat pada suster yang tadi pagi.

"Sstt ... ih!" Intan menyikut teman sekolahnya itu.

"Eh, sama Mang Ujang, ding!" Vina nyengir kemudian mulai mengeluarkan isi tasnya.

Buku komik, bantal berbentuk love-nya, boneka panda dan berbagai cemilan.

"Hei, itu kok bawa bantal segala?" tanya Sarah heran, karena tas Intan pun isinya hampir sama. Dasar bocah.

"Kita mau nemenin Kakak malam ini," Intan memeluk boneka kucingnya. "iya kan, Vin?"

"Hooh," kini sekantung keripik singkong sudah dibuka oleh Vina. "Pokoknya malam ini Vina mau begadang jagain Kakak. Biar kakak enggak sedih terus gara-gara mikirin kak Arfan."

"ih ... Vina!" seru Intan gemas.

Vina menutup mulutnya dengan tangan. Ia kelepasan bicara. Mereka melirik Sarah yang tampak membeku di ranjangnya. Cepat-cepat kedua remaja itu berdiri kemudian, mereka berdua memeluk Sarah.

Terlihat air mata meluncur mulus melewati pipi Sarah. Pandangannya lurus dan kosong. "Arfan ..." lirihnya. Apa salahnya sampai pemuda itu meninggalkannya seperti ini? Apa salahnya? Hatinya kembali menjerit.

"Kakak, maafin Vina ..." gadis remaja itu ikut menangis karena melihat Intan dan Sarah yang berurai air mata.

***

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang