Lanjutan bagian tujuh belas

18.6K 591 25
                                    

Arfan melipat tangan di dada. Dari tempatnya berdiri, terlihat Irma mengendap masuk ke ruang dapur tanpa menyadari kehadirannya. Kedua tangan gadis berambut sebahu itu menjinjing kantong keresek putih berukuran sedang.

"Jam berapa sekarang?"

Irma menoleh kaget ke arah tangga. Tepat di ujung anak tangga terbawah Arfan menatap kesal pada dirinya. "Maaf, harusnya aku enggak pulang terlalu malam begini ...."

"Dari mana?"

Irma mengigiti bibirnya sendiri. Bingung, haruskah ia memberitahu Arfan? "Emm, jalan-jalan," jawabnya agak tergagap.

"Sampai malam begini?" Arfan tidak percaya. Gadis ini pergi pagi lalu pulang hampir pukul sepuluh malam dengan alasan jalan-jalan? Mustahil pikirnya. "Bisa, jangan bohongin aku?"

"A-aku beneran jalan-jalan," Irma keukeuh dengan jawabannya. Sedikitpun ia tidak berani menatap Arfan.

"Tadi pagi ponsel kamu bunyi," Arfan memperlihatkan benda yang dipegangnya.

Terkejut membuat Irma tidak berkata-kata. Pantas seharian ini ponselnya tidak terdengar bersuara. Tapi ... Cepat-cepat gadis itu memeriksa tas tangannya. Berharap ponselnya ada di dalam tas dan benda yang Arfan pegang bukan miliknya.

"Siapa Bang Samir?"

"Y-ya?" wajah Irma pucat sekarang.

"Bang Samir," ulang Arfan, "waktu ponsel kamu bunyi ada nama itu di layar,"

"Bu-bukan siapa-siapa," tergagap parah Irma menjawab. "Y-ya, bukan siapa-siapa."

Meleguh jengkel, Arfan tahu Irma menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi terserahlah, ia tidak mau peduli dan tidak akan memaksa mencari tahu. Masalahnya sendiri saja sudah banyak, ia pikir kenapa mesti repot mengurusi urusan Irma. Toh gadis itu tidak mau terbuka padanya.

Melihat Arfan diam saja membuat Irma bertanya, "ka-kamu enggak percaya?"

pemuda itu mengangkat bahu tak peduli, "percaya atau enggak, enggak ada untungnya buat aku." Ia berjalan mendekati meja makan dimana Irma meletakan bawaannya. "Hati-hati saja, sekali main api, jangan pernah coba-coba kabur dari panasnya," Arfan sedikit menggertak.

Tanpa sadar Irma bergidig takut. Gadis itu semakin tidak berani memandang Arfan.

Pemuda itu mendengus pelan. Matanya teralih pada bawaan Irma. Penasaran dengan isi kantong keresek yang gadis itu bawa tadi. Perlahan ia keluarkan isi keresek itu satu persatu. Sate, es cendol, pecel lele, jambu air, tiramisu, martabak telor, kurma.

"U-udah beberapa hari aku pengen banget makan itu," Irma masih tidak memandang wajah Arfan, "makanya tadi pas nemu aku beli semua."

Kening Arfan berkerut sejenak. Ia teringat cerita Mbok Inah tadi pagi tentang pesanan aneh Irma setiap wanita paruh baya itu pergi ke pasar. "Ngidam?" tanya Arfan memastikan.

Wajah Irma memerah seketika. Ia mengangguk cepat biarpun hatinya mendadak jadi gelisah.

Arfan menepuk keningnya sendiri. Ia hampir lupa kalau wanita hamil itu kebanyakan suka mengidam. Ummi sering menceritakan tentang kehamilan dan masa mengidamnya dahulu ketika ia dan adik-adiknya berada di dalam kandungan sehingga, sedikit banyak ia tahu tentang itu. Dilirik gadis itu sekilas, kepalanya masih menunduk seolah takut kepadanya. Arfan menghela napas, gadis itu tengah hamil karena dirinya, pikirnya. Ia tidak tega melihat Irma menciut seperti itu, wanita hamil tidak boleh stres bukan? Janinnya tidak bersalah, dirinyalah yang bersalah. "Denger," Arfan berusaha agak melembut, "jangan diulangi, pergi seharian enggak ngasih kabar itu bikin khawatir."

Khawatir? Dalam hati Irma bersorak mendengarnya. Arfan mengkhawatirkannya? Berarti pemuda itu masih punya perasaan kepadanya. Yes, dirinya memang tidak salah memilih Arfan.

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang