Lanjutan bagian lima belas

19.2K 576 3
                                    

"Kak?"

Bagas yang tengah memberi makan burung merpati di taman belakang langsung menoleh. Adik perempuannya berdiri tidak jauh darinya. "Mau pergi sekarang, Tan?"

Remaja itu mengangguk, kerudung dan pakaian putih abunya dirapi-rapi. "Pulang sekolah Intan mau maen sama Vina," lapornya. "Entar sore jemput ya, Kak?"

"Maen kemana?"

"Ke rumah Om Daud."

"Ngapain maen ke sana?" tanya Bagas enteng berusaha biasa-biasa. Tangannya kembali sibuk melempar butiran-butiran jagung yang langsung diserbu oleh beberapa ekor merpati. "Mau gangguin Kak Sarah, Yah? Jangan, Tan. Kasian, Kak Sarah sibuk."

"Masa sih, kemarin sibuk sekarang sibuk," Intan tidak percaya. "Siapa tahu hari ini atau besok Kak Sarah enggak sibuk, jadi bisa cepet ketemu Ummi."

Percuma, Tan, Bagas membatin. Kemarin Sarah jelas-jelas menunjukan sikap menolak-biarpun secara halus-ketika ia meminta kesediaan gadis itu untuk bertemu dengan orang tuanya. Sikap yang menurut Bagas wajar setelah semua yang terjadi. "Awas jangan maksa-maksa ya, De," ingat pemuda itu pada adiknya. "Kalau Kak Sarah sibuk kamu harus ngerti."

"Iya, sip deh!" dua jempol Intan terangkat ke atas. Bagas geleng-geleng kepala melihatnya, dasar anak ABG.

"Agas."

"Iya, Yah," pemuda itu bergegas mendekati Ayahnya. Pagi ini Haji Bachtiar sudah tidak sekusut hari kemarin. Wajahnyapun terlihat lebih tegar, namun begitu kantung-kantung hitam di bawah matanya menunjukan semalam beliau kurang tidur.

"Bujuk Ummi supaya mau makan," Haji Bachtiar merangkul pundak Intan. Mengusap kepala gadis itu dengan sayang. Kesedihan masih terpancar dari matanya. "Kami pergi dulu."

Bagas mengiyakan dengan senyuman. Ia tahu Ummi masih marah pada Ayah karena telah mengusir dan memukuli Arfan kemarin.

"Inget, Kak, jemput Intan."

"Heem," jawab Bagas malas, "bawel banget."

"Ayah ...," rengek Intan mengadu. Sambil mendelik bibirnya maju beberapa senti.

"Ayo-ayo, nanti telat," Haji Bachtiar berlalu tanpa melepas tangannya dari pundak Intan. "Sebelum Ayah pulang jangan kemana-mana, Gas." Seperti biasa setiap pagi sampai menjelang sore nanti beliau pergi mengurusi rumah makan sate miliknya.

Sementara itu sejak Arfan diusir kemarin, Ummi jadi kembali tidak mau keluar dari dalam kamar. Sejak Bagas tiba di rumahnya yang dilakukan Ummi adalah memandangi foto putra pertamanya sambil memeluk bantal. Pilu Bagas melihatnya.

"Mi, jendelanya Agas buka, yah?" tanyanya memancing. Ia matikan lampu kamar yang masih menyala.

Seperti tidak mendengar, Ummi tidak menjawab. Arfan dan Arfan yang ada dipikirannya. Beliau terus mengingat saat tubuh putra pertamanya itu gemetar kemarin.

Bagas menunggu beberapa menit, ketika Umminya tidak merespon apa-apa ia bergegas membuka tirai seluruh jendela kamar orang tuanya. Ia juga membuka lebar-lebar kaca jendela itu, membuat sinar matahari pukul sembilan pagi berlomba-lomba masuk menerangi ruangan. "Hmm ... seger," katanya seraya pura-pura mengeliat. Berharap Ummi meliriknya sedikit saja, tapi ternyata tidak. Beliau terus saja seperti itu. Bagas mulai kehabisan akal.

"Mi," panggil pemuda berambut ikal itu manja. Pelan-pelan ia menarik bantal yang ada dipangkuan ibunya. "Peluk Agas aja, Mi. Jangan meluk bantal begitu," rajuk pemuda itu seolah sirik melihat bantal.

Mata sedu Ummi bergerak memandang putra keduanya. "Cari Arfan, Agas. Cari Arfan."

Bagas diam saja bagai membeku. Ia teringat kelakuan bejat kakaknya ketika diam-diam menyusul Arfan ke Tanggerang waktu itu.

"Agas, susul kakakmu, bawa pulang," Ummi memaksa.

Bagas bingung sekarang. Ia tahu pagi ini dari Mang Ujang kalau Arfan sudah sampai di Tanggerang dan sedang sakit. Wanita di rumahnya yang mengurus. Haruskah ia pergi lagi ke sana untuk menyusulnya? Sementara dirinya masih jengkel pada kelakuan Arfan dan wanita bernama Irma itu. Tinggal bersama, tidur bersama, pikir Bagas, benar-benar brengsek.

***

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang