Bagian tujuh belas

18.4K 547 7
                                    

Kita harus bicara

Pengirim : Agas

Itu pesan yang pertama Arfan baca ketika menyalakan ponselnya pagi ini. Sisanya pesan-pesan dari Intan. Adik kecilnya, ia bertemu muka dengan remaja itu ketika ke rumah orang tuanya tempo hari. Intan yang membukakan pintu untuknya.

"Kakak kemana aja, sih? Ummi sakit, Kak Sarah sakit, semua sakit, gara-gara kakak!"

Arfan tersenyum miris mengingat makian Intan. Gadis remaja itu bahkan memukulinya ketika hendak ia peluk. Yah, ia merasa pantas menerimanya, bahkan bila lebih kasar daripada itu.

"Teh manisnya, Den."

Arfan tersentak dari lamunan. Mbok Inah terlihat memasang senyum. Setelah meletakan cangkir yang dibawanya, Mbok Inah mulai memijat kakinya yang tertutup selimut. "Jangan Mbok, aku udah sembuh."

Wanita paruh baya itu mundur ketika Arfan menurunkan kaki dari tempat tidur.

"Irma kemana?" tanyanya heran. Ia bangkit berjalan menghirup udara pagi dari jendela kamar. Biasanya gadis itu yang membawakannya minuman.

"Non Irma pamit pergi, Den," kata Mbok Inah. "Tadi subuh-subuh."

Pergi? Arfan tidak percaya. Bukankah ia sudah mengatakan pada gadis itu untuk tidak kemana-mana? Bergegas ia membuka lemarinya. Berbagai prasangka mulai membuatnya berang. Disibakan jasnya yang menggantung dengan kasar. Mulutnya sedikit ternganga.

"Ke-kenapa, Den?" Mbok Inah bertanya, "ada yang hilang?"

Arfan menggeleng cepat. Tidak satu lembarpun uangnya bergeser dari tumpukannya. Bertanda gadis berambut sebahu itu tidak menyentuhnya. Uang sebanyak tiga puluh jutanya utuh. Kenapa Irma tidak mengambilnya? Tanya Arfan di hati. "Mbok, ia bilang mau kemana?"

"Tidak, Den. Non cuma bilang enggak akan lama."

Arfan kesal mendengarnya. Pemuda berambut pendek itu meraih ponsel untuk menghubungi Irma. Ketika sudah tersambung, nada dering yang dihafalnya terdengar di dalam kamar. Arfan dan Mbok Inah mencari-cari.

"Ini, Den," Mbok Inah mengacungkan benda yang tergeletak di sudut dalam kursi. Sepertinya Irma tidak sengaja meninggalkan benda itu di sana semalam.

"Siniin, Mbok." Arfan menimbang ponsel Irma berbarengan dengan nada dering yang kembali terdengar dari benda itu. Melihat nama yang tertera di sana membuat kening Arfan berkerut dalam. "Bang Samir?" siapa, pikirnya.

***

Kemeja putih berlengan pendek, celana katun hitam, rambut bagian atas yang sengaja dibuat berdiri oleh gel. Gaya seperti biasa, yang tidak biasa adalah kacamatanya yang pagi ini tidak ia pakai. Hari ini Ilham memakai kontak lens sebagai gantinya. Setelah memarkir mobil Mercy di tempat biasa, pemuda tampan itu berjalan melewati parkiran umum sepi menuju pintu masuk rumah sakit. Senyum cerianya terpancar full, menyapa orang yang berpapasan dengannya.

'tidiin ...!'

Suara klakson membuat Ilham kaget. Lengannya yang terserempet stang motor membuat tas yang dibawanya jatuh. Tubuhnya terbanting membentur pot besar yang terbuat dari batu.

Motor matic berwarna biru yang tadi menyerempetnya terlihat berhenti beberapa meter dari tempatnya terjatuh. Orang yang duduk diboncengan tampak berlari-lari menghampiri. "Ya Ampun, enggak apa-apa, pak?" tanyanya panik.

"Nadine?"

"Do-dokter?" tanya gadis itu terkejut. "Dokter Ilham?"

Ilham berusaha tersenyum lalu meringis ketika gagal bangun dari duduknya. Sepertinya tangan kanannya terkilir.

"Gimana, Nad? Enggak apa-apa?"

"Enggak apa-apa gimana?!" sewot gadis itu pada orang yang bertanya. "Berdarah gini," tunjuknya pada luka panjang di lengan Ilham. "Aku bilang jangan ngebut, jangan ngebut!"

Ilham kaget melihat Nadine. Gadis pendiam dan anggun itu, ternyata bisa mengomel juga. Matanya jadi tidak berkedip memandang wajah panik gadis itu yang tetap terlihat cantik. Rasa perih dan sakit di tangan serta pinggangnya mendadak hilang.

"Bisa bangun?" tanya Nadine khawatir. "Dok?"

"Eh," Ilham gelagapan. "Bisa-bisa," ia kembali mencoba berdiri namun gagal ketika tangan kanan dan punggungnya terasa amat sakit.

"Bagas, bantuin cepet." Nadine menarik tangan pemuda jangkung yang berdiri diam di sampingnya. "Kamu yang nambrak, minta maaf terus bantuin."

"Maaf," kata Bagas singkat. Sinar cemburu tidak bisa ia sembunyikan dari matanya. Ia tidak suka melihat cara orang yang ditabraknya ini memandang Nadine.

Ilham membalas pandangan tajam Bagas, tidak mau kalah.

Nadine tidak menyadari perang mata kedua laki-laki di hadapannya karena panik ketika tidak mendapati orang di sekitar mereka. "Kenapa diem aja, sih? Cepet, Agas!"

"Iya-iya," dengan kesal Bagas membantu Ilham berdiri.

"Ah!" ringis Ilham karena Bagas menariknya sekaligus dengan kasar.

"Pelan-pelan, Agas," Nadine sibuk membantu membawa tas Ilham.

Ilham kembali tersenyum sambil memandang Nadine yang ikut memapahnya. "A-aduh!"

Bagas menyenggol lengan kanan Ilham. "Maaf, enggak sengaja," katanya berbohong. Pemuda jangkung itu melihat Nadine medelik kepadanya.

"Tahan ya, Dok," kata Nadine pada Ilham tanpa memedulikan Bagas.

***

Haji Bachtiar berdiri di ambang pintu kamar. Matanya tidak lepas dari sosok wanita berkerudung yang tidur menyamping, memunggunginya. Baju hangat rajutan berwarna hijau lumut-pemberian Arfan-nyaris tidak pernah lepas dari tubuh istrinya. "Mi ...."

Hening tidak ada jawaban.

Istrinya masih saja menolak bicara padanya. "Bagas belum pulang dari mengantar Intan sekolah, kalau Ayah pergi sekarang tidak apa-apa, Mi?"

Ummi diam tidak menjawab. Beliau masih sangat kesal pada suaminya.

"Om pergi saja, Tante Mira biar saya yang jaga."

Mendengar suara itu membuat Ummi membalikan badan. Seorang gadis berbalut kerudung kuning berdiri di samping suaminya. "Sarah?"

Gadis berwajah oval itu mencoba tersenyum, "Iya, Tante." Setelah meminta izin kepada Om Bachtiar, ia melangkah masuk ke dalam kamar. "Enggak apa-apa 'kan kalau hari ini Sarah nemenin Tante?"

Setetes demi setetes air mata turun membasahi pipi Ummi. Beliau bangun terduduk kemudian meraih Sarah ke dalam pelukannya. Tangisnya pecah. Sarah yang dari rumahnya bertekad tidak akan menangis jadi ikut menangis.

Di luar kamar tidur, Haji Bachtiar menahan haru. Sebuah tangan menepuk-nepuk pundaknya menenangkan. Pria berkumis itu menoleh, "Terimakasih, Daud."

Om Daud mengangguk. Biarpun hati kecilnya khawatir pada kondisi Sarah, ia yakin putrinya akan kuat. Makannya tanpa ragu ia membujuk Sarah agar mau menemui istri sahabatnya ini setelah mendengar kata-kata Intan kemarin. "Ayo," ajaknya pergi pada Haji Bachtiar. "Kita masih ada urusan."

***

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang