Lanjutan bagian enam belas

19.3K 538 7
                                    

Uang-uang-uang, di mana ia bisa mendapatkan uang banyak dengan cepat? Irma duduk di tepi tempat tidurnya seraya meremas jari gelisah. Selama berada di rumah Arfan, gadis itu sulit pergi kemana-mana. Pekerjaan di tempat karaoke dan salon jadi terpaksa ditinggalkan. Membuat pemasukannya lumpuh total. Ia sangat butuh uang sekarang. Bang Samir sudah mengancamnya terus. "Berpikir Irma, berpikir!" ia gigiti kuku telunjuknya. Saat ini Arfan sepertinya tidak bisa diharapkan. Rencana kurang matang memang rawan gagal. Irma merasa agak menyesal memilih Arfan. Gadis cantik berambut sebahu itu meraih ponsel yang ada di atas nakas. Sudah beberapa nomor telepon yang ia coba hubungi untuk mendapatkan uang, namun hasilnya masih nihil.

"Hallo, Koko, apa kabar? ...." suara manja Irma berbicara dengan orang yang diteleponnya. "Apa? Sibuk? Ko? Koko?!" nada putus terdengar dari ujung ponselnya. "Sialan!" Irma membanting benda yang dipegangnya ke atas kasur.

"Non Irma?"

"Ya, Mbok!"

Mbok Inah kaget mendengar teriakan kesal dari dalam kamar itu. "Anu, Non. Sudah waktunya Den Arfan makan malam." Wanita setengah baya itu bicara hati-hati. Sore tadi Irma memintanya diingatkan waktu makan majikannya. "Kalau Non ngantuk biar Mbok saja yang nganterin ke kamar Aden ...."

"Jangan-jangan," Irma muncul dari balik pintu. Cepat-cepat ia rapikan rambut serta pakaian tidur satin selututnya yang berwarna merah muda, "Sama aku aja, Mbok. Mana makanannya?"

Mbok Inah menyerahkan nampan yang dipegangnya. Gadis yang mengaku tengah hamil padanya ini terlihat berlatih tersenyum sebelum menaiki anak tangga. Mbok Inah menggelengkan kepalanya pelan. Sering ia mendapati, gadis yang dibawa oleh majikannya ke rumah beberapa minggu yang lalu uring-uringan tidak jelas. Mungkin pengaruh si jabang bayi, pikirnya.

"Mbok, besok beli buah kedondong ya?" kata Irma dari ujung tangga atas. "Lagi pengen asinan, nih."

"Iya, Non. Besok Mbok beli."

Irma tersenyum senang mendengarnya. Dengan riang ia berjalan menuju ke kamar Arfan. Mengetuk pintu sekali-dua kali untuk sekedar tanda kesopanan. Irma memutar pegangan pintu yang tidak terkunci sebelum masuk ke dalam. Nampan yang dibawanya berisi segelas jus alpukat, sepiring nasi dan semangkuk sayur sop bening tanpa daging, sesuai keinginan Arfan.

"Fan," Irma memasang senyum manisnya. "Makan sekarang?"

Tanpa menjawab pemuda itu bangun terduduk dari sikap berbaringnya. Ia sudah tidak selemas tadi pagi sehingga bisa melakukannya sendiri walau harus perlahan-lahan.

Irma dengan cekatan langsung menumpuk bantal untuk dijadikan sandaran Arfan. "Obat maag-nya udah dimakan?"

Pemuda itu mengangguk pelan.

"Kalau gitu, aku suapin sekarang, ya?"

Arfan diam saja tidak menjawab. Ia pandangi wajah Irma seperti tadi pagi dan siang, membuat gadis itu sedikit risih dan bertanya-tanya di hati tentang kejanggalan sikap Arfan.

Untuk menutupi rasa risihnya, Irma mulai sibuk menyiram nasi dengan sayur yang ada di mangkuk. Kemudian ia mulai menyuapi Arfan. Seperti tadi siang, malam ini Arfan juga tidak menolak disuapi olehnya. Gadis itu tersenyum melihat lahapnya Arfan makan. "Kalau seperti ini setiap hari, kamu bakalan cepet sembuh, Fan."

Pemuda itu meminum jus Alpukatnya tanpa menanggapi perkataan Irma. Ia memang ingin segera sehat, urusannya menanti untuk ia selesaikan. Ia tidak boleh lemah seperti ini. Arfan bersandar di ranjangnya setelah meminum obat. Ia mulai menyusun rencana, hal apa dahulu yang harus dilakukannya? Mendatangi Sarah langsung atau menghubungi Bagas dahulu? Ponselnya sudah lama ia matikan.

"Fan ...."

Lamunan pemuda berambut pendek itu buyar ketika Irma memanggil namanya pelan. Dilihatnya gadis itu memutar-mutar ujung baju tidurnya dengan jari. Pasti ada yang diinginkannya, batin Arfan.

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang