Bagian sembilan

28.3K 823 6
                                    

"Pagi, suster," sapa seorang pria muda berkacamata pada gadis berkerudung putih yang tengah berjalan sambil melamun. Bagai tidak mendengar gadis itu berjalan terus melewati dirinya yang baru keluar dari sebuah mobil sedan Mercy putih.

"Suster Nadine!" panggilnya lagi. Setengah berlari pria muda itu mengejar kemudian menghadang langkah Nadine. "Sakit?" tanyanya sambil memandang wajah cantik gadis itu lekat-lekat. Sembab, sayu dan pucat.

Nadine menggeleng pelan. Dipaksakan bibir merah mudanya membentuk sebuah senyuman.

Pria muda itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Sekian lama ia mengenal gadis pendiam dan agak tertutup itu tentu membuatnya tidak mudah ditipu begitu saja dengan sebuah senyuman. "Mau aku periksa?" tawarnya.

Nadine kembali menggeleng.

"Emm ... Kalau gitu, sarapan bareng, yuk?"

"Terimakasih, Dok. Aku bawa bekal dari rumah."

Dokter Ilham kembali memerhatikan wajah Nadine, membuat gadis itu agak risih. Matanya yang terlihat seperti habis menangis membuat pria berkacamata itu penasaran. Kamu kenapa? Ingin Ilham bertanya demikian, namun urung karena takut membuat gadis itu malah menjauh darinya.

"Dok, duluan," kata Nadine berusaha menghindar secara halus.

"Eh, tunggu," cegah Ilham cepat. "Mau minum kopi bareng?"

Nadine kembali menggelengkan kepalanya, "makasih, Dok. Lain kali aja, udah telat, nih." Gadis bermata besar itu beralasan. Dilirik sesaat jam silver yang melingkari tangan kirinya.

"Ok," Ilham mengangkat bahu. "Kalau gitu, boleh minta tolong?"

Ragu-ragu Nadine mengangguk.

"Ini, tolong dibawa ke ruanganku," pria berkulit bersih itu menyerahkan jas putih beserta tas hitam yang dibawanya. "Terimakasih," katanya lagi sebelum berlalu masuk ke dalam bangunan rumah sakit.

Nadine terpaku sesaat melihat barang-barang yang ada di tangannya. Aneh, dasar. Kenapa tidak dibawa sendiri, sih, pikirnya heran. Bisa berabe-kan kalau sampai teman-temannya melihat. "Hhh ..." Siap-siap saja jadi bahan gosip rekan-rekannya satu rumah sakit.

Nadine memandang gedung di hadapannya dengan malas. Andai tidak ingat akan profesinya tentu ia tidak ingin masuk kerja hari ini. Andai tidak ingat jadwalnya tadi malam yang sengaja ditukar dengan jadwal temannya yang bertugas pagi ini, tentu ia tidak akan mau keluar dari kamarnya. Badannya lelah dan hatinya masih sakit, sepertinya kemarin ia terlalu banyak menangis.

**

Segelas teh susu hangat dan selembar koran bekas. Bagas membaca dengan serius sambil sesekali meminum isi gelasnya. Tidak ada yang menarik, sih. Berita yang ada di koran itu sudah sangat basi. Tapi Bagas membacanya dengan teliti. Dibolak-balik, dilihat-lihat, bahkan kolom iklan pun tidak ia lewatkan.

Yah, apa pun-lah, yang penting ia punya kesibukan walau hanya membaca. Diam berdua bersama gadis yang masih tidur di dalam ruang perawatan membuatnya agak serba salah. Belum lagi jarak antara ranjang dan kursi sofa yang ia duduki terbilang dekat.

"Hhh ..." untuk kesekian kalinya mata hitam pemuda itu repleks melirik. Masih tidur, batinnya. Wajah Sarah terlihat jelas karena ia tidur menyamping menghadap ke arah Bagas.

Hidungnya tidak semancung hidung Nadine, bibirnya tidak semerah bibir Nadine, kulitnya tidak seputih kulit Nadine. Gadis ini manis, pikir Bagas. Tidak terlalu cantik tapi menarik. Berbeda dengan Nadine yang cantik ber-aura kalem. Tidak-tidak, Nadine sangat cantik walau agak pasif, ralatnya. Tanpa sadar pemuda itu mulai membandingkan.

Dilupakan koran lusuh yang tengah dipegang oleh tangannya. Pemuda itu terlalu asik memandangi wajah polos yang ada di dekatnya.

Ketika mata Sarah tiba-tiba terbuka, Bagas bagai tertangkap basah. Sekian detik mata mereka beradu sebelum keduanya sadar.

Sarah yang terkejut langsung bangun terduduk. Jantungnya deg-degan. Cepat-cepat ia meraba kepalanya. Syukurlah, rambutnya tertutup kerudung pikirnya lega.

Lain lagi Bagas yang sama-sama terkejut. Ia langsung berdiri dari duduknya. Pemuda itu merasa malu sekali karena kepergok tengah memerhatikan, membuatnya jadi salah tingkah sampai kakinya menyenggol meja, membuat isi gelasnya tumpah semua.

Sambil sibuk mencari lap diruangan itu, Bagas memarahi dirinya sendiri. Untung saja warna kulitnya manis, kalau tidak, mungkin wajahnya akan terlihat sangat merah sekali.

Oh, begini akibat tidak menjaga mata, batinnya dihati. Makanya ia pernah mendengar nasehat kalau laki-laki dan perempuan yang tidak ada ikatan dilarang berdua-duaan di tempat sepi karena setan akan menjadi yang ketiganya.

"Ma-mana Ayah?" tanya Sarah pelan. Dirinya gugup saat menyadari mereka hanya berdua.

"Beli sarapan ke luar," Bagas mengelap meja. "Akan kupanggil," katanya tanpa memandang wajah Sarah.

Baru juga melangkah, pintu ruangan itu terbuka.

"Selamat pagi, gimana? Masih pusing?" tanya seorang dokter muda yang masuk begitu saja.

"Sedikit, Dok," jawab Sarah lemah.

"Tapi semalam tidurnya enggak gelisah, kan?" kali ini dokter itu bertanya pada Bagas.

Pemuda itu bingung sesaat. Dirinya harus menjawab apa? "Enggak, Dok." katanya setelah mengingat semalam Sarah tidur dengan sangat nyenyak bahkan gadis itu hanya satu kali merubah posisi tidurnya.

"Bagus," sang Dokter tersenyum.

"Dokter Ilham," seorang suster berkerudung masuk ke ruangan. "Ini stetoskop ...."

Kata-katanya tidak selesai diucapkan. Pemuda yang berdiri di samping Dokter Ilham membuatnya mematung. Matanya yang beberapa saat sempat tak berkedip seketika langsung jadi berkaca-kaca. Tanpa sadar suster itu membuang muka. Ia berusaha menahan air matanya dengan memandangi dinding putih di dekatnya.

->

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang