Bagian empat belas

22.3K 619 12
                                    

Dengan agak gugup Nadine merapikan penampilannya di depan cermin kamar. Blus kuning polos berbahan kaos, rok jeans biru panjang dan kerudung putih sudah melekat manis di tubuhnya. Ragu-ragu bercampur penasaran. Gadis cantik itu melangkah menuju ruang tamu untuk melihat siapa gerangan lelaki yang mencarinya itu.

Deg-deg-deg, suara jantung Nadine berdebar kencang. Ia melihat seseorang yang ada dipikirannya tengah duduk di sofa berukir ruang tamunya.

Celana jeans hitam, kaos abu dan jaket putih dengan garis hitam di bagian bahu terkesan santai di siang hari ini. Pemuda itu tampak fokus memutar-mutar sebuah kotak biru beludru berukuran kecil yang ada digenggamannya, sehingga tidak menyadari kedatangan Nadine.

"Mau apa ke sini?" tanya Nadine pura-pura ketus. Ia hanya melirik Bagas sekilas sebelum membuang wajahnya ke arah lain.

Pemuda itu menghentikan gerakan tangannya. Melihat Nadine mau menemui dan mengajaknya bicara membuat senyum sumringah terukir di wajahnya yang sedari tadi tampak kusut semrawut. Walau gadis berhidung mancung yang berdiri di hadapannya itu tidak memandang langsung, ia tahu gadis itu sudah tidak semarah hari-hari kemarin. Dan kenyataan ini membuat hatinya luar biasa lega.

"Nad, a-aku ...," pemuda itu mendadak gugup. Ia menggaruk rambutnya yang tidak gatal karena bingung memilih kata-kata. Harus mulai dari mana, pikirnya. "Nad, aku mau ... emm ...."

"Apa?"

Alunan musik Kenny.G yang terdengar dari ponsel membuat Bagas menelan kembali kata-kata yang hendak ia lontarkan pada Nadine. Sedikit kesal karena merasa terganggu, ia segera merogoh benda tipis berbentuk persegi empat itu dari saku celananya. "Apa De?" tanya pemuda jangkung itu malas. Ditatapnya Nadine yang kini sedang melihat ke arahnya. "Apa?! Siapa, De?" Bagas sangat terkejut mendengar apa yang disampaikan adiknya. "Iya, Kakak pulang sekarang," katanya cepat. Buru-buru ia pamit pada Nadine. "Nad, sorry banget. Aku mesti pulang sekarang."

"Ada apa?" tanya Nadine penasaran bercampur khawatir karena melihat wajah Bagas yang panik.

"Masalah keluarga, nanti aku cerita sama kamu." Bagas berlari pergi dari hadapan Nadine begitu saja.

Gadis keturunan timur tengah itu terpaku beberapa saat di tempatnya. Tanpa sengaja ia melihat kotak biru beludru berukuran kecil yang tadi sempat dimainkan oleh Bagas, tergeletak begitu saja di atas meja. Benda itu pasti tertinggal, pikirnya. Ia mengambilnya lalu mengejar pemuda itu keluar rumah, namun Bagas sudah keburu pergi dengan motor matic birunya.

Sementara itu Intan bersembunyi di balik tembok yang memisahkan antara ruang tamu dengan ruang keluarga. Menguping sambil sesekali menghapus air mata dengan tangannya.

'Plak'

Suara tamparan ketiga yang didengar gadis remaja itu membuatnya memberanikan diri untuk mengintip. Di sana, di ruang tamu terlihat kakaknya, Arfan, sedang menunduk di hadapan Ayah mereka. Sudut bibir pemuda itu sudah berdarah karena tamparan. Ummi terlihat duduk menangis di samping Ayah.

'Plak-plak'

Satu-dua tamparan lagi mendarat di pipi Arfan.

"Sudah, Yah ...," cegah Ummi. "Arfan sudah minta maaf."

"Anak ini enggak perlu dibela, Mi!" Ayah emosi. "Dari kecil dididik, diurus, disayang sekarang Ummi liat balasannya?! Melempar kotoran ke wajah orangtua!"

Sedikitpun Arfan tidak berani mengangkat kepalanya. Dirinya jelas salah. Sangat-sangat salah. Ia mengakui dalam hati, kesalahannya itu sangat-sangat besar sehingga dirinya tidak berani membantah atau membela diri. Ia terima semua kemarahan Ayahnya. Rasa sakit yang dirasakakannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa malu yang orangtuanya terima. Ia sudah pasrah pada apa yang akan dilakukan keluarganya gara-gara perbuatannya yang tidak bertanggung jawab itu.

Pagi tadi Bi Inah baru menceritakan dan menyampaikan pesan dari Bagas kepadanya. Begitu mendengar ibunya sakit, dengan pontang-panting ia memacu mobilnya dari Tanggerang ke Bandung. Arfan sangat sedih ketika membayangkan ibunya yang terbaring sakit gara-gara memikirkan dirinya.

"Apa alasanmu meninggalkan Sarah?" Dengan sangat kesal Haji Bachtiar menatap anak pertamanya. Arfan, putranya yang agak pendiam itu, bila telah berbuat salah biasanya tidak akan bersuara apalagi melawan walaupun misal dipukuli olehnya sampai mati. Semenjak datang anak itu hanya berkata maaf sebelum terus menerus menunduk dan bungkam. Di dalam hati beliau jadi merasa kesal sendiri. "Jelaskan alasanmu, Arfan?! Ayah tidak pernah mengajarimu bersikap tidak bertanggung jawab seperti itu!"

"...."

"Jawab, Arfan?!"

Pemuda itu masih bungkam. Bingung, alasan apa yang bisa ia berikan kepada ayah dan Umminya?

Haji Bachtiar membuang napas dengan kesal. Melihat putranya terus diam, membuat kesabarannya habis. "Baik, kalau tidak mau bicara. Pergi dari sini!!"

Arfan terhenyak mendengarnya.

"Jangan berani-berani menemui kami atau menginjakan kaki di sini sebelum kamu mendapat maaf dari Om Daud, Sarah dan keluarganya. Pergi!"

Kini Arfan terbelalak menatap Ayahnya. Maaf dari Om Daud? Ia tidak bisa membayangkan apakah dirinya masih punya muka untuk bertemu dengan Om Daud dan Sarah.

"Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Kalau tidak sanggup bertanggung jawab jangan berbuat! Memalukan, kamu sudah besar untuk mengerti. Ayah tidak sudi punya anak kurang ajar sepertimu yang tega menginjak-injak kepala orang tua begini. Pergi!"

"Ayah!" Ummi berdiri dari duduknya kemudian memeluk Arfan sambil menangis. "Maafin Arfan, Yah? Jangan usir Arfan seperti ini ...."

"Masuk, Mi!"

Ummi malah menggeleng.

--->

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang