Lanjutan bagian empat belas

19.7K 625 10
                                    

Haji Bachtiar memandang sejenak istrinya yang menangis. Beliau juga melihat Arfan menenggelamkan kepala di bahu ibunya. Tubuh putranya itu tampak bergetar hebat dipelukan istrinya. Sebagai orang tua, beliau merasa tidak tega melihat keadaan putra pertamanya, tetapi beliau adalah kepala rumah tangga, pemimpin keluarga. Haji Bachtiar menguatkan hati untuk tegas. Putranya telah melakukan kesalahan. putranya harus tahu seperti apa tanggungjawab itu. Karena kelak ia akan menjadi pemimpin dari keluarga, sama seperti dirinya.

"Masuk, Mi!" tangan Haji Bachtiar menarik paksa istrinya ke dalam pelukan.

Mata Arfan yang basah menjadi sayu ketika tangan Umminya tidak lagi mengusap kepalanya. Kekuatan dan perasaan hangat terasa hilang seperti debu tertiup angin. "Mi," lirih suaranya.

"Pergi!" bentak Haji Bachtiar tegas.

Arfan memandang raut murka ayahnya dengan pandangan memelas. Dalam hati ia berharap ayah akan mengijinkannya memeluk Ummi sebentar lagi saja untuk menumpahkan segala beban, dan kesedihannya.

"Pergi!"

Bentakan itu membuat Arfan langsung menunduk. Langit dunia seakan turun dari kepala ke bahunya. Mau atau tidak ia harus pergi sebelum ayah semakin murka kepadanya. Langkah Arfan berat dan semakin berat ketika mendengar Ummi terus memanggil-manggil namanya. Ketika pintu rumah berbunyi keras karena ditutup secara kasar oleh ayah, tenaga pemuda berambut pendek itu menguap. Lutut Arfan gemetar lalu ambruk di halaman kecil keluarga Bachtiar. "Mi ... Ummi," lirihnya dalam tangis yang tertahan.

***

Sebuah motor matic berwarna biru melaju cepat. Masuk ke pekarangan luas kemudian berhenti tidak jauh dari undakan tangga yang mengarah ke pintu masuk. Tergesa-gesa helm yang dipakai pengendara motor itu dibuka. Langit kota Bandung mulai bergumpal suram. Entah karena waktu sore mulai tiba atau karena hujan akan turun. Pemuda yang masih duduk di jok motornya ini membuka jaket tanpa melihat sekelilingnya. Ia sibuk memerhatikan awan kelabu yang seperti hendak menaungi kepalanya.

"Bagas?"

Pemuda itu menoleh kaget. Terlihat seorang gadis berkerudung hitam berdiri di antara pot bunga tanpa tanaman yang ada di sisi pekarangan. "Assalaamu alaikum," sapa Bagas canggung.

"wa alaikumsalaam," jawab gadis manis itu tak kalah canggungnya. Ia memandang penuh tanya ketika Bagas berjalan mendekatinya. Hatinya mulai tidak enak.

"Ummi pengen ketemu, kamu enggak sibuk 'kan?" tanya Bagas langsung sambil melihat tangan gadis itu yang belepotan tanah.

Apa katanya? Sarah berdiri kaku. Ia tidak percaya pada pendengarannya. Diperhatikan kening Bagas yang tampak berkerut-kerut dengan bingung. Kenapa ibunya Arfan ingin bertemu? Sarah curiga, atau jangan-jangan, "Tante Mira sama Om sehat?" tanya gadis itu menebak.

Bagas tersenyum kecut, kepalanya menggeleng pelan. "Kamu enggak keberatan 'kan kalau ketemu mereka?"

Sarah memandang pemuda jangkung itu tanpa berkedip. Setiap ia melihatnya, ia pasti jadi teringat pada Arfan.

"Sarah?" Bagas menghentikan lamunan gadis itu. "Tolong, sebentar saja."

Sarah diam berpikir, akankah ia sanggup pergi ke rumah mantan calon suaminya? Sedangkan melihat wajah adik Arfan saja sudah membuat hatinya berdenyut sakit.

Di luar pagar, kaca jendela mobil Honda Jazz silver terbuka perlahan. Arfan merasa tidak percaya pada pemandangan yang dilihatnya. Tampak adiknya tengah berpandang-pandangan dengan Sarah. Terasa begitu lama mereka berdua berdiri. Rasa cemburu yang berkobar membuat ia meremas selembar foto pengantin yang ada di tangannya. Arfan menjatuhkan kepala ke atas stir mobil dengan frustasi. Maaf atas kesalahannya ternyata tidak bisa didapat dengan mudah seperti bayangannya. Sekali lagi Arfan merasa hatinya sangat sesak sampai bernapaspun seolah tidak dapat ia lakukan lagi.

***

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang