bagian enam - siapa yang hancur?

32.4K 1K 12
                                    

"Jangan ...!" suara lantang itu menarik perhatian orang-orang sekitar. "Turun, Irma ...! Turun ...!"

"A--Arfan ..."

"Turun! Kamu denger aku, Irma? Kumohon, turun! Nanti kamu jatuh ...!"

Tangan gadis berambut sebahu itu gemetar berpegangan pada tiang baliho yang ada di pagar pembatas jembatan layang. Sedikitpun wajahnya tidak menoleh. "Biarin ...! pergi sana, jangan peduliin aku ...! Aku udah hancur, Arfan. Hancur ...!"

"Siapa yang hancur?!" pertanyaan Arfan membuat Irma menoleh. Wajah cantik gadis itu terlihat sembab. Kulit wajahnya yang putih jadi memerah karena sengatan sinar matahari. "Aku tanya, siapa yang hancur?"

Selangkah demi selangkah Arfan mendekat. Berusaha tenang padahal hatinya kalaf berteriak dirinya-lah orang yang paling hancur.

Orang-orang yang sedari tadi berkerumun menonton seorang wanita muda yang berdiri di pagar pembatas jalan layang kini mengalihkan pandangan mereka pada Arfan. Pakaiannya berantakan.

"Kamu jangan egois," suara Arfan melemah. Kini jaraknya dengan Irma hanya tinggal satu langkah saja. "Kalau kamu jatuh, bagaimana dengan bayi yang ada diperutmu?" Arfan mengapai kedua lengan Irma dari belakang, memegangnya erat-erat. "Bayi kita ...."

Tangis Irma pecah mendengarnya. Lututnya bergetar sedang wajahnya jadi tertunduk. Dengan cepat Arfan menarik Irma ke belakang membuat tubuhnya tertimpa tubuh Irma dalam posisi duduk.

"Aku enggak mau nambah dosa lagi dengan menyia-nyiakan kamu dan bayi kita," Arfan melingkarkan tangannya dipundak Irma. Menenangkan gadis itu sambil menangisi kekhilafannya. "Aku bertobat ...."

Gelegar petir menyambar. Kemudian tetesan-tetesan air turun dari langit yang cerah. Irma menengadah memandang langit dan matahari.Hujan di siang bolong. Apakah langit marah atas perbuatannya? Irma kembali tertunduk, terisak kemudian terkejut melihat ada bercak darah di lengan kemeja yang melingkari pundaknya.

"Arfan ... Kamu ...?"

***

Suara gamelan sudah terdengar sejak satu jam yang lalu. Namun, pelaminan yang megah dengan ukiran beserta untaian melati yang indah masih kosong, padahal para tamu sudah banyak yang datang.

"Mas, gimana nih? Sekarang sudah siap?"

Bagas terdiam mendengar pertanyaan seorang pria berjas hitam, salah satu petugas yang mengurus jalannya acara resepsi pernikahan. Ia bingung harus menjawab apa. Jarinya tanpa sadar diketuk-ketuk pada pegangan kursi sofa yang didudukinya, pertanda dirinya tengah berpikir keras.

"Udah satu jam ngaretnya nih, mas. Kasihan tamunya." kata pria itu lagi.

Bagas menghela napas pelan. Dipandangnya pintu kamar pengantin yang sudah berjam-jam ditunggunya terbuka, tapi entah kenapa tidak juga terbuka. Dirabanya kotak cincin untuk Nadine yang masih tersimpan disaku celananya. Om Daud, orang tuanya bahkan adiknya, Intan, yang dari tadi duduk dengannya kini entah ada di mana sekarang.

"Mas?" tanya pria itu tidak sabar. "Gimana?"

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang