Bagian delapan

30.3K 967 6
                                    

"Ini cuma mimisan, Irma."

"Iya, tapi kok banyak begini?" gadis berambut sebahu itu sibuk membuka kemasan tissu baru.

Kepala Arfan menengadah. Ia tengah berusaha menghentikan darah yang keluar dari hidungnya sambil memandangi langit-langit dalam mobil. Di luar sana hujan masih turun dengan deras. Sarah ... Gadis itu, bagaimana keadaannya sekarang? Batin Arfan. Hatinya masih terasa tidak enak.

"Periksa ke rumah sakit, yah?"

"Hm," pemuda itu terkejut dari lamunannya. "Enggak usah, nanti juga darahnya berhenti."

Irma menghela napas seraya menghentikan gerak tangannya yang hendak membersihkan noda darah di hidung mancung Arfan. Ia pandangi mata hitam pemuda itu yang tampak kembali menerawang kosong ke luar jendela mobil. "Maafin aku, Fan. Harusnya, aku enggak ngehubungi kamu lagi," batinnya dalam diam.

Bermenit-menit pemuda itu mematung tidak bergeming. Ia acuhkan gadis yang duduk disampingnya. Lama-lama gadis itu mulai gelisah dan berpikir untuk mencari perhatian.

"Haciww ...!" gadis berkulit kuning langsat itu bersin. Arfan sedikitpun tidak menoleh. Irma melirik kecewa. "Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ..." kemudian gadis itu sengaja terbatuk. "Uhuk ... Uhuk ..."

Akhirnya Arfan menoleh. Dengan malas ia memerhatikan Irma yang tampak agak menggigil sambil merapatkan jas miliknya yang menutupi pakaian basah gadis itu.

"Periksa ke dokter?"

"Enggak-enggak," tolak Irma cepat. "Aku cuma perlu ganti baju."

Arfan mengalihkan pandangannya dari gadis itu. "Nih, buat cari baju ganti," katanya seraya mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari dompetnya. "Jangan lama."

Irma mengangguk kemudian menerima lembaran uang-uang yang diberikan oleh Arfan. "Uang ini ... Nanti kuganti," kata gadis itu sebelum turun dari mobil.

"Enggak perlu," tanggap Arfan datar. "Kamu dan janin itu ... Tanggunganku sekarang."

Tanpa sadar Irma meraba perutnya sendiri. Ia redam rasa bersalah dan kasihan yang mulai berontak di dalam hatinya kini. "hhh ..." Biarlah sekarang ini yang diketahui Arfan, pikir Irma sebelum melenggang pergi.

***

Bulan bersinar terang. Tidak terlihat sisa-sisa awan yang telah menurunkan air sepanjang sore tadi. Bagai senyuman setelah tangis. Benar-benar bertolak belakang dengan keadaan pemuda berkemeja putih yang tengah duduk sendiri.

Ia tampak termenung berjam-jam di salah satu bangku panjang yang berderet di lorong rumah sakit dengan wajah kusut. Entah sudah berapa lama dirinya diam disana. Ia tidak sadar, pikirannya bagai sedang tidak bersama dengan raganya.

Tak terhitung berapa banyak jumlah ranjang dorong yang berlalu-lalang dihadapannya. Semua orang bagai angin yang berlalu saja bagi Bagas. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Bingung, kesal, sedih. Berantakan sudah semuanya. Ia merasa sudah sangat menyakiti Nadine. Gadis yang dicintainya menangis karenanya. Argghh ...! Kenapa jadi begini?

Oh ... Dunia bagai menghimpitnya sekarang. Rumah sakit, itu yang ada dibenaknya kala memikirkan kemana Nadine pergi. Gadis itu berlari begitu saja saat melihatnya dipelaminan tadi. Dirinya yang tanpa sadar mengejar gadis keturunan timur tengah itu, diburu orang-orang yang kaget karena melihatnya berlari menuju gerbang sambil masih memangku Sarah. "Rumah sakit!" kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya saat orang-orang bertanya ia akan kemana. Jadilah Sarah yang pingsan masuk ke rumah sakit ini. Orang-orang salah menyangka maksud kata 'rumah sakit' yang keluar dari mulutnya. Ah ... Good Bagas, hebat, sekarang benar-benar kacau semuanya,ledek hatinya pada diri sendiri.

"Hhh ... Nadine ..." guman Bagas. Tidak tahu ada dimana gadis itu sekarang. Ia sudah lelah berkeliling mencarinya ke seluruh penjuru rumah sakit ini. Dari informasi yang di dapat, seharusnya gadis itu bertugas malam ini. Tapi mengapa ia tidak juga menemukannya? Tidak masuk kerja kah? Atau ....

"Bagas? Masih disini?" tanya Om Daud heran karena melihat pemuda berkulit manis itu duduk melamun sendiri. Beliau mengira pemuda itu telah pulang bersama keluarganya tadi sore.

"Eh, e ... Bagaimana Sarah?" Bagas reflek bertanya. Padahal, bukan gadis itu yang ada dipikirannya saat ini.

"Ia baik-baik saja, hanya ... Dokter menyarankan agar Sarah dirawat semalam atau dua malam di sini."

Pemuda itu sedikit lega mendengarnya. Syukurlah, tidak ada hal buruk yang menimpa gadis malang itu, pikirnya. "Dirawat di ruang mana, Om?" tanya Bagas basa-basi.

"Ruang Teratai. Ayo, ikut Om," ajak Om Daud seraya menepuk pundak Bagas.

Mau tidak mau, Bagas mengikuti Om Daud. Sambil mengobrol ringan, diam-diam mata pemuda itu sibuk mencari sosok Nadine.

"Ini kamarnya," Om Daud membuka sebuah daun pintu ruang perawatan kelas satu sejenak kemudian menutupnya lagi karena melihat Sarah sedang tertidur.

"Dokter memberinya obat penenang. Hari ini ... sangat berat untuknya." Lelaki paruh baya itu duduk lemas di bangku kayu yang ada didekat pintu.

Bagas iba melihat wajah lelah Om Daud. Lelaki yang biasanya selalu humoris dan tampak bersemangat walau sudah berumur itu, kini terlihat sangat kusut dan lesu.

Semua ini gara-gara kakaknya. Dirinya saja kesal apalagi Om Daud ini, pikir hatinya.

"Om, istirahat," kata pemuda itu. Ia tidak tega melihat Om Daud yang sudah berkali-kali menguap. "Malam ini, biar Bagas yang jagain Sarah."

"Hoaamm ... Mending kamu saja yang istirahat, Nak." Om Daud menguap lagi. "Jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung. Pasti capek itu, apalagi abis gendong-gendong Sarah."

"Aduh, Om." Bagai diingatkan, wajah pemuda itu memerah malu.

-->

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang