Lanjutan bagian Sembilan Belas

16.8K 513 3
                                    

--->

Cukup lama Irma duduk menunggu di dalam kamarnya sebelum mulai beraksi. Ia yakin Mbok Inah atau Arfan sekarang sudah tidur setelah masuk ke kamar dua jam yang lalu.

Pertama-tama gadis itu mulai mengendap-ngendap keluar dari kamarnya. Waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Dengan cepat Irma menaiki tangga kemudian membuka pintu kamar Arfan hati-hati. Tidak terkunci, seperti biasa Arfan memang jarang mengunci pintu kamar tidurnya.

Jantung Irma berdegup kencang ketika melihat pemuda berambut pendek itu berbaring tidur dengan lengan kanan menutupi kedua matanya.

Ragu sejenak namun akhirnya Irma melangkah masuk juga. Ia merasa lega ketika tahu gelas berisi minuman buatannya yang ia letakan di atas nakas sebelum Arfan datang telah kosong. Tanpa mengendap-ngendap lagi Irma langsung melangkah menuju ke lemari. Setelah membuka pintu lemari itu, terlihat olehnya tumpukan uang yang tempo hari Arfan tawarkan kepadanya. Jumlahnya masih sama. Irma merasa berat menyentuhkan tangannya pada uang-uang itu, ada rasa tidak tega mengingat pasti uang itu adalah hasil jernih payah Arfan, tapi ..., ambil-tidak-ambil-tidak-ambil-tidak-ambil, rasa ragu kembali mengganggu Irma.

Ia pejamkan mata sejenak kemudian menghembuskan napas. "Maafin aku, Fan ...," gumannya sambil mengambil semua uang-uang itu beserta BPKB mobil Arfan kemudian memasukannya ke dalam tas selempang. Setelah itu Irma mengeluarkan sebuah amplop coklat dari saku celana jeans tiga perempatnya. Ia keluarkan isi amplop itu pelan-pelan kemudian ....

"Ngapain kamu di situ?"

'Blaarr!' bagai tersambar petir Irma melompat terkejut. isi amplop yang hendak Irma letakan di dalam lemari jatuh berserakan di lantai. "A-a-arfan ...."

Tanpa memedulikan kegagapan Irma, Arfan berjongkok memunguti lembaran foto-foto yang berserakan di dekat kakinya. Irma yang panik langsung hendak melarikan diri namun Arfan berhasil menangkap lengannya. "Mau kemana?" tanya Arfan dingin.

Irma menunduk dalam ketika Arfan menatap matanya tajam. Meringis, pemuda itu terlalu keras mencekal lengannya.

"Apa maksudnya ini?!" bentak pemuda itu sambil menunjukan foto yang ada di gengamannya. Dalam foto itu tampak dirinya tanpa mengenakan pakaian tengah tidur sambil memeluk mesra Irma. "Jawab?!"

"Fa-fan a-a-ku ...," Irma gelagapan.

"Jawab?!"

"A-a-ku ... maaf, Fan ...."

"Kapan aku ngelakuin ini?!" Arfan kembali bertanya tidak sabar. "Jawab Irma, kapan?!"

Irma meringis ketika Arfan mengguncang bahunya. Menangis, ntah mengapa bukannya menjawab, air mata malah jatuh membasahi pipi Irma. "Ma-maaf, Fan. A-a-ku ...."

"Jawab?!" Kalaf, Arfan mendorong Irma dengan keras sampai gadis itu jatuh tersungkur di lantai. Satu persatu ia lihat foto-foto nista yang ada di tangannya. Sungguh sedikitpun ia tidak ingat telah melakukan hal bejat seperti di dalam foto-foto ini. Arfan menggeram marah, ia benar-benar tidak ingat walau kepalanya telah ia pukul beberapa kali.

Irma menangis sambil meringis menahan sakit dipinggangnya, "Fan ...."

"Jawab Irma?!" kali ini Arfan berteriak frustasi. "Kapan kita ngelakuin ini lagi?! Kapan?!"

"Se-sehari setelah kamu bawa aku ke rumah ini," jawab Irma disela isak tangisnya.

"Lalu kenapa aku enggak ingat?!" Arfan terus memukul kepalanya sendiri dengan kalaf. Berharap dengan cara itu ia akan ingat. "Kenapa Irma, kenapa aku enggak ingat?!"

"Fan, berhenti." Irma merasa sedih dan sangat bersalah melihat Arfan memukuli kepala seperti itu. "Jangan ...."

"Jawab?!"

Irma menelan ludah dengan susah payah, "ka-kamu tidak sadar karena obat tidur," lirih Irma.

"Apa?" terperangah, Arfan tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan setelah mendengar semua ini.

"Aku masukin obat tidur ke dalam minuman kamu malam itu," Irma menunduk dalam. Masih teringat olehnya wajah Arfan kala menahan sakit kepala ketika bangun tidur pagi harinya karena pengaruh obat tidur itu. "Lalu ...."

"Lalu apa?" suara Arfan melemah, kakinya nyaris lemas. Ia menjatuhkan lututnya di hadapan Irma

"A-aku buka pakaian kita kemudian mengambil foto itu," jawab Irma jujur. Rasa bersalah yang terus ia pendam dalam hati meledak sudah. Irma tidak tega bila harus terus membodohi Arfan.

Arfan terperangah. Ia merasa gila sekarang. Lega, marah, kesal, sedih semua menjadi satu hampir meledakan hatinya. "Ja-jadi kita enggak ngelakuin ...."

Irma menggeleng pelan, kepalanya terus menunduk.

"Ja-jadi aku enggak ...."

"Fan, maafin aku," Irma sedih melihat Arfan jadi seperti orang linglung.

"Aku enggak bejat," Arfan mengusap wajahnya. "Agas, aku enggak bejat. Agas! Agas!" setelah menyambar kunci mobil pemuda berambut pendek itu berlari keluar kamar mengabaikan panggilan Irma. Ia harus cepat menyusul adiknya. Ia harus cepat sebelum Adiknya sampai ke Bandung. Sekarang juga Bagas harus tahu bahwa kakaknya bukanlah manusia berengsek, bejat atau binatang. Arfan terus berjalan cepat menuruni tangga kemudian melewati pintu utama rumahnya.

"Aden! Den Arfan!"

Arfan yang hendak masuk ke dalam mobil menoleh.

"Non Irma, Den. Non Irma!"

Arfan memandang Mbok Inah yang panik dengan heran.

"Non Irma berdarah. Cepat Den!" panik Mbok Inah sambil menarik-narik Arfan masuk.

***

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang