Bagian Sembilan Belas

16.7K 504 5
                                    

"Irma! Irma!"

"Ada apa, Den?" tergopoh-gopoh Mbok Inah menghampiri majikannya yang tengah berteriak marah sambil melewati pintu masuk.

"Irma mana?"

"Non tidur dari tadi, enggak enak badan katanya."

Arfan melempar bantal-bantal sofa ruang tamu ke lantai dengan kalaf, membuat Mbok Inah kaget.

"Nyebut, Den. Nyebut," kata Wanita paruh baya itu menenangkan. Ia pungut bantal sofa itu, "Ada apa, Den? Aden kenapa?"

Arfan mengusap wajahnya. Napasnya naik turun, bila tak sadar dirinya seorang pria, ia akan menangis sekeras-kerasnya. Kalau perlu ia akan menangis sampai airmatanya kering untuk melampiaskan apa yang hatinya rasakan. Sarah, Bagas ... "Aaargh!"

Mbok Inah yang khawatir melihat Arfan cepat-cepat berkata, "duduk, Den. Duduk ...."

"Aku perlu bicara dengan Irma, Mbok. Sekarang."

"Sebentar, Aden," cegah Mbok Inah hampir kewalahan menghalangi Arfan. "Duduk dahulu," pintanya dengan nada suara sabar, "Nyebut, Den. Aden sudah shalat isya?"

Arfan diam memalingkan muka.

"Amarah tidak akan menyelesaikan masalah," Mbok Inah menasehati. "Duduk, redakan dahulu amarah Aden. Kalau masih belum tenang, wudhu lalu shalat Isya," kali ini Mbok Inah memaksa majikannya duduk. Arfan telah diasuhnya sedari kecil. Mbok Inah tahu bagaimana watak Arfan bila sedang kalaf. Walau dihati ia sangat ingin tahu mengapa majikannya bisa seperti ini, Mbok Inah enggan bertanya ini-itu dulu. "Mbok ambilkan minum ya, Den?"

Arfan diam tidak menjawab. Daun telinganya masih tampak merah. Irma, gadis itu, ia harus menanyakan kebenaran tentang kata-kata Bagas di rumah makan tadi. Tidak mungkin adiknya itu bicara mengada-ngada tentang apa yang telah dilihatnya. Pria bejat brengsek serta sumpah serapah yang Bagas layangkan padanya sebelum adiknya itu meninggalkan rumah makan membuat Arfan merasa otaknya panas. Mana mungkin ia telah melakukan dosa itu lagi tanpa sedikitpun mengingatnya. Mana mungkin? Arfan bingung, gelisah, kesal, marah mempertanyakan dimana kesadaran dirinya ketika melakukan hal bejad itu lagi. Hal dosa yang tidak akan pernah diulang lagi olehnya. Irma kah yang menggodanya ketika ia lepas kendali atau dirinya yang sudah sinting sampai-sampai tidak ingat pada perbuatannya? Ah, Arfan mendesah lalu kembali mengusap wajah lelahnya. Ia merasa hampir gila. Otak dan hatinya benar-benar panas sekarang. Masalahnya dengan Sarah, orang tuanya, Om Daud, Bagas, Irma bagai benang-benang yang semakin kusut ketika otak Arfan berusaha untuk mengurainya.

"Den, minum," tawar Mbok Inah pelan. Kepala majikannya itu terlihat bersandar lemas di sofa dengan mata kosong memandang langit-langit ruang tengah.

"Mbok ...."

"Iya, Den."

"Apa aku pantas mendapatkan maaf?"

Mbok Inah memandang bingung tak mengerti, namun beliau berusaha menjawab, "tentu saja, Den. Aden pantas mendapatkan maaf."

Arfan tersenyum miris merasakan panas di hatinya. Kalau memang dirinya pantas mendapat maaf berarti ia harus rela melihat Sarah-gadis yang dicintainya-hidup bersama Bagas. Bukankah dengan begitu Om Daud akan memaafkannya, Ayah akan menerimanya kembali di rumah dan ia dapat kembali bebas bertemu dengan Ummi.

"Den, kenapa nanya begitu?" tanya Mbok Inah membuyarkan lamunan Arfan.

"Enggak apa-apa, Mbok," dusta Arfan. Ia bangkit berdiri dari duduknya.

"Aden mau kemana?"

"Mandi, Mbok," katanya sambil berjalan lunglai menuju tangga, "gerah." Arfan naik ke lantai dua rumah seraya melepas satu persatu kancing kemejanya. Kepala dan hatinya butuh disiram air sekarang juga.

*

*

*

Dari lubang pintu kamarnya Irma mengintip. Terlihat olehnya Mbok Inah mematikan lampu ruang tengah. "Huh ...," gadis itu menghembuskan napas lega. Tadi ia sempat takut Arfan akan mendobrak pintu kamarnya. Melihat Arfan datang dalam keadaan marah-marah begitu membuatnya bertanya-tanya. Kenapa Arfan? Padahal saat pergi keluar rumah sore tadi pemuda itu terlihat baik-baik saja kepadanya. Tapi kenapa sewaktu pulang malah berteriak-teriak memanggilnya begitu? Irma gemetar. Ia jadi ragu untuk melaksanakan rencana daruratnya. "Sekarang apa?" tanyanya pada diri sendiri. Sebelah tangan gadis itu memijit keningnya pelan. Berpikir Irma Dwi Putri, saat ini ia harus berpikir cepat. Cepat dan tepat demi masa depan serta kebebasannya.

Sebenarnya rencana awal gadis berambut sebahu itu belum gagal. Ia yakin cepat atau lambat Arfan akan menikahinya setelah semua yang terjadi namun Bang Samir yang terus menerus menerornya membuat ia terpaksa membuat rencana darurat. Besok adalah waktu jatuh tempo yang Bang Samir berikan padanya untuk menyetor sejumlah uang. Tidak ada pilihan lain, hanya Arfan yang bisa ia harapkan saat ini walau konsekuensinya ia akan kehilangan pemuda itu. Demi bebas dari belenggu preman seperti Bang Samir, apapun akan ia lakukan meskipun berat. Meskipun ia tidak yakin akan sanggup kehilangan Arfan.

Irma bergegas memasukan barang-barangnya ke dalam koper. Tidak ada yang tertinggal. Pergi dari rumah Arfan setelah apa yang akan dilakukannya adalah bagian dari rencana darurat gadis berkulit putih itu.

Cukup lama Irma duduk menunggu di dalam kamarnya sebelum mulai beraksi. Ia yakin Mbok Inah atau Arfan sekarang sudah tidur setelah masuk ke kamar dua jam yang lalu.

--->

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang