Bagian dua puluh

38.8K 841 103
                                    

"Agas?"

"Hmm?"

"Kangen," manja Nadine. "Cepet pulang."

"Ok."

"Awas, jangan lirik-lirik gadis Tangerang."

Ancaman Nadine membuat Bagas mau tidak mau tertawa, "siap Nyonya."

"Ya udah, aku kerja dulu."

"Ok."

"Hati-hati."

"Hmm," guman Bagas. "Bye."

"Kok bye?" protes Nadine, "assalaamu'alaikum."

Bagas tersenyum getir, "wa alaikumsalaam."

Klik, Bagas menekan tombol merah pada ponselnya. Tersenyum tapi matanya nanar. Jauh di hadapannya seorang gadis berkerudung putih juga tengah mematikan ponselnya. Senyum cantik gadis itu membuat Bagas sedih. Ia terus memandang sambil sesekali tersenyum ketika melihat tingkah gadis itu.

Sejak pulang dari Tangerang pagi tadi Bagas terus mengikuti gadis itu. Mulai dari rumah sampai di rumah sakit ini. Hanya melihat Nadine dari jauh. Ia tidak berani mendekat. Bagas bahkan tidak berani jujur bahwa dirinya sudah ada di Bandung sejak pagi. Ia belum sanggup berbicara sambil bertatapan wajah dengan Nadine. Ia tidak akan bisa menyembunyikan kesedihannya bila mata gadis cantik itu menatapnya. Tidak akan bisa. Bagas berbalik pergi setelah beberapa saat memandang wanita yang sangat disayanginya itu. Awal atau akhir, manis atau pahit keputusan harus segera diambilnya. Sepertinya ia tidak bisa egois walau ingin. "Bye-bye, my Nadine," gumannya sedih.

***

Arfan duduk di samping Irma yang terbaring dengan selang-selang infus dan oksigen. Pergelangan tangan kiri gadis itu dibalut kain kasa.

Sudah sehari semalam mata gadis berambut sebahu itu terpejam belum sadarkan diri. Dokter bilang Irma kehabisan banyak darah.

Malam itu Arfan yang ditarik-tarik Mbok Inah masuk, melihat Irma tergeletak di dekat tangga dengan pergelangan tangan terluka. Darah menggenang karena kepalanya pun ikut terluka. Irma jatuh dari tangga setelah Mbok Inah mencoba merebut pisau yang gadis itu pegang. Malam itu Irma mencoba mengiris nadinya sendiri.

Arfan menangkupkan tangan di wajah. Apa yang gadis ini pikirkan? Tanya Arfan pusing. Lagi-lagi gara-gara gadis itu semuanya jadi terhambat. Seharusnya dirinya sudah ada di Bandung menyusul Bagas atau bahkan sudah menemui Sarah. "Ck," pemuda itu berdecak. Rasa kesal di hati Arfan bercampur aduk dengan kekhawatiran. Sebenarnya ada apa dengan Irma? Kenapa ia bisa senekad itu? Apa gara-gara hutangnya pada Bang Samir. Arfan bertanya-tanya di hati sambil mengotak-atik ponsel Irma. Pemuda itu cukup terkejut melihat isi kotak masuk yang ada di ponsel Irma. "Sepuluh juta?" Arfan melirik jam tangannya, sekarang sudah pukul 11:00 malam. Masih ada waktu, Arfan berjalan cepat keluar dari kamar perawatan.

"Den, mau kemana?" tanya Mbok Inah yang sedang duduk di luar kamar.

"Duduk di dalam, Mbok."

"Den?" Mbok Inah mencoba memanggil Arfan, tapi pemuda itu pergi tanpa menoleh lagi.

Di lenggangnya jalanan Malam kota Tangerang, Arfan mengemudikan mobilnya dengan cepat. Bahkan lampu merah pun tidak ia hiraukan. Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, sampailah Arfan di halaman pertokoan yang sepi. Tidak jauh dari mobilnya terlihat beberapa orang berbadan kekar layaknya preman berdiri menantang.

Arfan segera turun, dalam hati ia membatin. Benarkah Irma berurusan dengan orang-orang seperti ini? Tidak dapat dipercaya.

"Loe jongosnya Irma?" tanya seorang di antara mereka menghina Arfan.

"Mana Bang Samir?"

Suara tawa mengejek terdengar, seorang pria berkepala plontos bertato maju ke depan. "Gue," katanya sambil menepuk dada. "Mana uangnya?" tanya Bang Samir galak.

Arfan segera melempar amplop yang ada di tangannya, "sepuluh juta," kata Arfan ketika melihat Bang Samir hendak menghitung uang yang ada di dalam amplop. "Lepasin Irma, tolong jangan ganggu dia lagi." Arfan berusaha menjaga nada suaranya. Salah bicara tentu bisa membuatnya habis dikeroyok.

Alih-alih menjawab, Bang Samir malah tertawa keras. "Sepuluh juta bukan jumlah hutang-hutang perek itu, Bung. Uang segini cuma setorannya per-bulan."

Arfan berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Setoran? Gila! Maki Arfan di hati. Sebenarnya apa yang telah dilakukan Irma? Arfan tidak habis pikir. "Jadi berapa hutang-hutangnya?"

Wajah Bang Samir berubah serius. Ia berjalan ke hadapan Arfan. "Handphone loe, jam tangan, jaket, sepatu, dompet, sama ...," mata pria bertato itu belirik ke belakang Arfan, "mobil loe. Kayaknya itu lumayan cukup buat ngelunasin semua hutang si Irma."

Arfan kembali terkejut. Ia melirik mobilnya dan mulai berpikir.

"Gimana?" tanya Bang Samir tidak sabar. "Jangan kelamaan mikir. Loe setuju kagak?"

Arfan diam belum menjawab. Otaknya masih berpikir keras.

***

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang