Lanjutan bagian dua puluh

9K 286 8
                                    

Ilham duduk gelisah di gelapnya ruangan. Dari sejak sore tadi matanya terasa panas . Ia merasa tidak kuat. Ini pertama kali untuknya. Sebagai laki-laki ia merasa kalah, hatinya tidak terselamatkan. Begini ternyata rasanya patah hati. Tidak berdarah namun segala terasa di dalam dada.

Ya, hatinya patah saat mendengar jawaban dari nadine atas semua keingintahuannya. Bagai mimpi buruk, semua ternyata sangat diluar perkiraannya. Ia sungguh tidak menyangka bila hubungan Nadine dengan Bagas sudah sejauh itu.
Ilham sangat menyesal akan langkahnya. Padahal seharusnya ia tidak usah banyak tanya pada nadine. Padahal seharusnya ia abaikan saja rasa penasarannya pada cincin yang dipakai oleh nadine. Padahal seharusnya ia tidak perlu tahu agar bisa tetap berharap pada Nadine.

Bodoh, bodoh benar, maki hatinya pada diri sendiri. Remuk, perasaan Ilham berantakan kala melihat binar bahagia di mata Nadine ketika membicarakan hubungannya dengan pria bernama Bagas. Bagas begini, Bagas begitu, wanita pujaannya memuji-muji pria lain di depannya. Hati Ilham terasa panas.

Bila sudah seperti ini bagaimana? Pikirnya. Sanggupkah dirinya merelakan wanita yang tengah diperjuangkannya ini? Ataukah dirinya harus tetap bertahan, mengesampingkan harga dirinya, menjadi lelaki yang tidak tahu malu karena tetap menyukai tunangan orang.

"Hah..." Ilham menghela nafas dalam kegelapan. Dengan segala kekuatan ia berusaha untuk mendinginkan pikiran. Menenangkan perasaannya yang tidak karuan. Seandainya wanita itu tahu bagaimana perasaannya, Ilham mengeluh di hati. Seandainya Nadine tahu seberapa besar rasa sukanya dan seberapa lama ia memendamnya, akankah Nadine menerimanya? Akankah Nadine memilihnya?

Kini Ilham menyesal karena tadi hanya diam pasrah mendengarkan. Seharusnya ia katakan saja perasaannya pada Nadine. Ya, setelah selama ini kenapa baru terpikir?
Ilham meremas rambutnya. Ia harus mencari Nadine sekarang. Ya, ia akan memanggil Nadine sekarang. Cepat-cepat Ilham memencet tombol bel di dekat tempat tidurnya.

Tak lama kemudian pintu ruang perawatannya terbuka. Tanpa berpikir lagi Ilham bergegas menarik tangan wanita yang hendak masuk ke ruangannya lalu menutup pintu.

"Nad, udah lama mas mau ngomong. Mas sayang banget sama kamu," ucap Ilham dalam kegelapan ruangan. "Mas akan lakukan apapun untuk ngebahagiain kamu, apa pun. Tinggalin Bagas, Nad. Lihat Mas, hanya Mas jangan pria lain." Ilham memelas, "Mas enggak akan kuat ngeliat kamu sama yang lain, please, Nadine. Jadilah istri Mas ...."

"Ilham," potong wanita itu kemudian lampu ruangan dinyalakan.

"Mi-Mitha?" Kaget Ilham.

Dokter Mitha juga kaget melihat wajah Ilham yg merah dan mata yang berkaca-kaca.

"Jangan liat aku Mit," kata Ilham sambil memunggungi. Pria tampan itu menengadahkan kepalanya, berharap air mata tidak jadi jatuh. Sejujurnya ia malu ketika mantan calon tunangannya melihat kondisinya yang menyedihkan seperti ini.

Mitha menghela nafas, ia dorong pelan punggung llham menuju ke sofa, "aku juga kuat Ilham. Kamu juga harus."

Bagai diingatkan, Ilham langsung menggenggam kedua tangan Mitha, "kamu udah maafin aku 'kan Mit?"

Mitha tersenyum kecut. Sejak kecil ia menyukai pria tampan ini. Sampai sekarang perasaannya tidak berubah walaupun dirinya telah bertunangan dengan orang lain.

"Mitha, maafin aku," Ilham kembali memelas. Mungkin seperti ini sedih dan hancurnya perasaan Mitha sewaktu dirinya mengatakan tidak mencintainya dan membatalkan rencana pertunangan yang telah diatur sejak mereka remaja. Inikah balasan atas keputusannya? "Maafin aku," ulang Ilham sepenuh hati.

"Enggak," Mitha melepas genggaman tangan Ilham.

Ilham bersandar lemas mendengarnya.

"Sebelum aku liat kamu bahagia, aku enggak akan maafin kamu." Mitha mencubit kedua pipi Ilham dengan gemas, "ngerti?"

Ilham tidak dapat menahan haru. Ia menangkupkan kedua tangan diwajahnya karena kini air matanya tidak dapat ditahan lagi. "Shit! Aku nangis Mit."

Diam-diam Mitha menyusut air mata yang ada di sudut matanya sendiri. Melihat pria yang dicintainya seperti ini membuat hatinya sakit juga. "Cuma sekarang kamu boleh nangis di depan aku, besok-besok kalau aku liat kamu kayak gini lagi, awas aja," ancam Mitha. Tangan gadis bersuara lembut itu menepuk-nepuk pundak Ilham.

Tanpa melepas tangan dari wajahnya, Ilham menjawab dengan anggukan. Hati kamu terbuat dari apa Mit? Tanya hatinya. Kalau dirinya, bisakah bersikap seperti Mitha pada Nadine?

***

"Bi," panggil Arfan membangunkan mbok Inah yang tertidur di sofa tempat irma dirawat, "Bi, sudah hampir subuh."

"Iya den, aduh Bibi ketiduran." Cepat-cepat mbok Inah berdiri dari duduknya.

"Irma sudah sadar?"

"Sudah, Den. Tadi sudah diperiksa dokter. Katanya non Irma masih lemah. Lalu tadi disuntik obat, Non Irma terus tidur belum bangun lagi."

Arfan terdiam sejenak, memandangi Irma yang terbaring, mata gadis itu terpejam. "Bibi bawa uang?"

"Bawa den," jawabnya sedikit heran dengan pertanyaan majikannya. Mbok Inah yang kesadarannya mulai penuh memandangi Arfan yang terlihat lusuh. "Ada apa, den? Aden dari mana saja?"

Arfan menggeleng enggan menjawab.

"Aden habis berantem? Tangannya kenapa berdarah?"

"Jatuh Bi," dustanya sambil menyembunyikan telapak tangan diujung kemejanya. "Bi, tolong siapin baju, sekalian sama baju irma, baju bibi juga."

"Ke-kenapa den?" Tanya Mbok Inah, hatinya mulai tidak enak.

"Engga apa-apa bi, pokoknya siapin aja."

"Aduh, ada apa den? Bibi jadi takut." Tanya Mbok Inah mulai panik. " Kita mau kemana?"

Arfan menggeleng pelan. "Ayo bi cepet, keburu siang."

Mbok Inah yang melihat kekhawatiran di wajar Arfan menahan diri untuk tidak bertanya lagi. Walau masih bingung wanita paruh baya itu segera pamit.

Setelah Mbok Inah pergi, Arfan bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka. Ia sedikit meringis ketika air menyentuh luka yang ada di tangannya. Bang Samir itu ternyata bukan preman biasa. Tadi Arfan sempat dihantam kayu karena enggan memberikan ponsel dan dompetnya.

"Loe tau apa tentang Si Irma?!" Bang Samir membentak. "Denger ya, Gara-gara perek itu gue udah rugi banyak."

Arfan kembali membasuh wajahnya, terngiang-ngiang ancaman Bang Samir ditelinganya.

'Bruk'

Arfan yang mendengar bunyi pintu ditutup segera keluar dari kamar mandi. "Irma?" Panik Arfan, wanita berambut sebahu itu sudah tidak ada di tempat tidur.

"Argh!" Geram Arfan. Ia berlari keluar menyusul. Terlihat Irma mencoba berjalan tidak jauh darinya.

Berjalan terseok-seok kemudian ambruk jatuh di dekat pilar.

"Irma!" Arfan bergegas mendekat, ia hendak membantu namun ditepis oleh gadis itu.

Sedikit memaksa, Arfan mencoba membangunkan namun Irma malah memukulinya. Gadis itu memukulinya hingga dari pergelangannya yang terluka mengucur kembali darah. "Stop, berhenti Irma!"

Namun gadis itu tidak mendengar.

"Irma!" Bentak Arfan. Ia tangkap pergelangan gadis itu.

Irma menangis keras, "aku enggak mau hidup begini, Fan. Aku enggak mau. Aku malu sama kamu, Fan. Jangan peduliin aku. Biarin aku bebas, Fan. Biarin aku ma ...."

"Bunuh diri itu dosa, Irma. Istighfar," Potong Arfan.

"Ka-kamu enggak tahu siapa aku. Kamu enggak tahu seberapa kotornya aku ..."

"Aku tahu," Arfan mendekap Irma dalam pelukannya. "Sekarang aku tahu siapa kamu," kata Arfan sedih. "Kita pergi, kota ini enggak aman buat kamu." Arfan memperlihatkan selembar kertas pada Irma. Disana tertulis perjanjian Arfan dengan Bang Samir di atas materai.

Flash back

"Kalau sampe gue ketemu sama perek itu lagi, perjanjian ini enggak berlaku," ancam Bang Samir pada Arfan. "Gue kagak akan baik-baik lagi."

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang