Lanjutan bagian tiga belas

21.9K 598 6
                                    

***

"Arfan ...?"

"Bukan, Mi, ini Bagas."

Wanita yang berbaring di tempat tidur itu membuka matanya yang tadi terpejam dengan kecewa. Dipandangi putra keduanya sedang berusaha memasang senyum di hadapannya. Pemuda yang paling tinggi di antara putra-putri Haji Bachtiar ini duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tangan ibunya. Perlahan wanita itu meminta putranya untuk mendekat. Tangannya yang dingin menyentuh wajah Bagas yang terlihat kusut. Setelah memastikan suaminya tidak ada di dalam kamar, wanita berumur empat puluh lebih itu berbisik. "Cari kakakmu, Bagas. Lalu bawa pulang ke sini."

"Iya, Mi." Bagas mengangguk cepat tanpa mengatakan dirinya sudah pergi ke tempat Arfan kemarin malam. Ia juga memilih merahasiakan kelakuan brengsek Arfan-saat dirinya ke sana waktu itu-karena takut menambah beban pikiran Umminya. Sudah dua hari berlalu. Kakaknya itu, entah kenapa tidak juga pulang. Menghubunginya pun tidak. Padahal biasanya Arfan selalu mengutamakan segala hal yang menyangkut dengan Ummi. Apa Bi Inah tidak menyampaikan pesan darinya? Atau ... Bagas mulai bertanya-tanya.

"Agas?"

"Ya, Mi."

"Ummi pengen ketemu Sarah," pintanya.

Bagas segera menutupi rasa kagetnya dengan memerhatikan wajah ibunya yang pucat. Ia harus berusaha bersikap senormal mungkin supaya tidak menambah beban pikiran ibunya. Sudah beberapa hari sejak pulang dari rumah Om Daud hari itu, ibunya sakit sampai-sampai tidak mau bangun dari tempat tidur. "Sekarang, Mi?"

Ummi Bagas menjawab dengan anggukan pelan.

"Kalau gitu ... Ummi sekarang harus bangun ...," pemuda itu tersenyum jenaka. Dengan sedikit memaksa, ia membantu ibunya duduk. "Masa ... mau ada Sarah, Ummi tiduran terus di sini," canda Bagas.

Melihat senyum khas ala Bagas kecil yang nakal itu membuat Ummi mau tidak mau tersenyum. Tangan lemasnya mengacak rambut pemuda itu yang agak ikal dengan sayang. Beginilah watak putra keduanya sedari kecil, selalu mencoba menghibur.

Bagas yang senang melihat senyum ibunya beranjak cepat menuju pintu untuk memanggil Intan yang berada di lantai dua rumah. "Bagas pergi dulu ya, Mi. Takut keburu siang."

"Hati-hati," Ummi mengingatkan.

"Ok, Mi." Bagas mengecup punggung tangan ibunya kemudian meninggalkan kamar setelah kepala Intan muncul dari balik pintu.

"Emang Kak Sarah bakal mau?" bisik Intan agak keras ketika Bagas memakai jaketnya. Seperti biasa, gadis remaja itu mengekori kakaknya yang berjalan menuju pintu rumah mereka.

"Hus, nanti Ummi denger." pemuda itu menempelkan telunjuknya di bibir. "Kak Sarah mau apa enggak itu urusan nanti. Yang penting sekarang Ummi udah mau bangun. Kakak sedih liat Ummi murung terus."

Intan setuju dengan kakaknya. Dipikir-pikir, ia stres juga melihat keadaan orang tuanya di rumah. Ayahnya yang lebih banyak menghindar dengan sering keluar mengurusi restoran dan ibunya yang sakit sambil mengurung diri saja di kamar. Ckckck ... gara-gara Kak Arfan, pikirnya kesal.

"Hmm ... ngelamun," Bagas menoyor kepala Intan pelan. "Pergi dulu ya, De. Assalaamualaikum ...."

Intan cemberut sambil mengusap kepalanya, "Wa'alaikumsalaam ...!" katanya sebal. "Kak Bagas itu ... kalau enggak ngejitak, noyor. Ih, emang kepala Intan apa?" gerutunya sambil menutup pintu rumah.

---------------------------

'Kak Bagas enggak nikah, itu cuma boongan!'

Nadine yang tengah berdiam di kamarnya teringat kata-kata Intan waktu itu. Sekarang ia sudah cukup tenang untuk berpikir dengan kepala dingin. Berpikir memang harus tanpa emosi. Setiap hari menangis membuatnya lelah. Sambil tidur menelungkup di atas permadani, ia mengamati ponsel 3G miliknya yang sudah lama sengaja dimatikan untuk menghindari Bagas. Setelah berpikir sejenak, ia menghidupkan ponsel yang ada digenggamannya itu. Berpuluh-puluh pesan masuk, ternyata sudah mengantri untuk ia baca.

Gadis berkerudung itu memberanikan diri untuk membuka kotak pesan masuk. Pesan dengan nama pengirim Bagas terlihat paling banyak berjajar di layar itu.

Dari Bagas:

Nadine km dimana? Please jangan sembunyi. Aku mau ngomong.

Dari Bagas:

Maafin aku, Nad '_' ini slh paham. Km jgn marah. Aku mau jelasin semua, km dmn?

Dari Bagas:

Nad, ini ga sprti yg km liat. Aku terpaksa gantiin Arfan di pelaminan. Aku ga bneran nikah. Please Nad, percaya sama aku.

Dari Bagas:

Sarah bukan istri aku. Gmn caranya biar kamu percaya? Aku maunya km yg jd istri aku. Nad,tolong aktifin tlpnnya.

Dari Bagas:

Aku mau nglamar km skrg. Aku tunggu di depan rumah.

Nadine terkejut ketika membaca pesan-pesan itu. Antara percaya dan tidak. Apalagi ketika membaca pesan teratas yang ada di kotak masuk itu. Hatinya sudah menang dari rasa egonya. Bohong kalau ia bilang tidak mengharapkan pemuda itu lagi. Cepat-cepat ia berlari ke jendela kamarnya yang menghadap tepat ke pagar depan rumah. Gadis cantik itu menyibakan tirai tipis kemudian mencari-cari keberadaan Bagas. Tapi ... tidak ada. Pemuda itu ... tidak ada. Ya, benar-benar tidak ada. Nadine kecewa, ia berpikir untuk mengecek tanggal pengiriman pesan itu. Mungkin saja pesan itu dikirim oleh Bagas beberapa hari yang lalu. Ketika tangannya berhasil meraih ponsel yang tergeletak di permadani, saat itulah pintu kamarnya diketuk.

"Nad, ada nyariin di depan. Tante suruh masuk yah?"

"Cewek atau cowok, Tan?" tanya Nadine penasaran. Jantungnya mendadak tidak karuan.

"Cowok, Nad. Ganteng."

Jawaban Tantenya membuat Nadine kaget. Ia jadi deg-degan sampai perutnya mulas. Siapa yang datang? Tanya hatinya. Apa ....

--->

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang