Bagian sepuluh

26.8K 728 10
                                    

***

"Kak Bagas, kok baru pulang, sih? Ummi sakit, tuh."

Baru juga masuk ke dalam rumah, adiknya sudah berkacak pinggang.

"Sakit?! Sekarang Umminya mana?"

"Tidur, setengah jam yang lalu baru aja minum obat."

Bagas menghela napas lega. Ia duduk di sofa ruang tamu kemudian membuka sepatunya.

"Kakak dari mana aja? Kok tadi malem enggak pulang? Kakak tidur dimana?" tanya adik perempuannya tanpa jeda.

"Dari rumah sakit," jawabnya pelan. Kini ia tengah berjalan menuju kamar ibunya yang berada di sekitar ruang keluarga. Perlahan ia membuka pintu kamar itu. Ibunya tampak tertidur dengan dua buah selimut yang menutupi tubuh.

"Rumah sakit? Abis ngapain? Nemenin kak Sarah?"

"Stt ...!" Bagas menarik adiknya menjauh dari kamar. "Ish, Intan berisik. Entar kalau Ummi bangun gimana?"

Intan menutup mulutnya dengan tangan, "Sorry."

"Huh ..." Bagas kini melangkah menuju dapur.

"Kakak ..." rengek Intan sambil mengekor. "Abis nemenin Kak Sarah, yah?"

"Bukan," katanya setelah meneguk air putih satu gelas penuh. "Nemenin Om Daud."

"Oh ..." Intan tersenyum geli. Bukankah itu sama saja, pikirnya. "Terus, kak Sarahnya gimana sekarang?"

"Ya ... Gitu, enggak gimana-gimana, mungkin. Tau ah!"

"Ih, ditanya kok jawabannya nyebelin," kata gadis belasan tahun itu kesal. "Yang jelas, dong. Enggak gimana-gimana, gimana?"

Pemuda itu menapaki tangga untuk menuju ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Adiknya masih setia mengikutinya. "Ya ... Kak Sarahnya kayak baik-baik aja, De."

"..."

"yeh ... Ngambek, jelek ah." Goda Bagas karena melihat Intan memanyunkan bibirnya.

"Kak Bagas yang jelek!"

"Iya deh, Kakak yang jelek." Pemuda itu mengalah. Ia masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua lalu menjatuhkan badannya di atas tempat tidur. Ia merasa lelah sekali. Setelah pamit pulang pada Om Daud tadi, ia langsung mencari Nadine di sekitar rumah sakit. Bahkan ia mencari ke rumahnya juga. Tapi ia tidak menemukannya. Pergi kemana gadis itu? Pikirnya.

"Kak?"

"Hmm?" Bagas memejamkan matanya.

"Kak, kasian yah kak Sarah? Pasti sedih banget. Emang bener, Kak Sarah enggak apa-apa? Ummi aja semalaman nangis ... Terus. Tau enggak, kan? Intan sampe bingung. Ayah juga jadi gampang ngambek kalau diajakin ngobrol. Kak, Kak Arfan ada dimana yah sekarang? Gara-gara Kak Arfan, Intan jadi malu nih, sama Vina. Kak?"

"..."

"Kak Bagas ...?"

"..."

"ih, Kakak ...?!" Intan menggoyang-goyang bahu Bagas.

"Aduh, De. Kakak ngantuk, nih."

"Nyebelin, ah! Ayah enggak mau dengerin Intan. Kakak juga sama aja."

Bagas memiringkan badannya lalu tangannya langsung mengacak-acak rambut panjang Intan, "Siapa yang enggak mau dengerin Intan? Kakak cuma mau tidur dulu. Bentar ... Aja. Kakak kan semalam abis nemenin Om Daud."

"..."

"Intan?" panggil Bagas karena adiknya itu malah memalingkan muka. "Intan ...."

Gadis remaja itu berbalik kemudian membenamkan wajahnya di lengan Bagas. Ia menangis, Bagas langsung bangun kemudian mengusap kepala adiknya itu.

"Hhh ..." sebenarnya hatinya pun dari tadi sedang menangis. Hanya ia tidak mau menunjukan kesedihannya di hadapan adiknya ini.

"Sstt ... Intan ..." lirihnya. Ia biarkan adiknya itu terus menangis sambil memeluk lengannya.

***

Arfan bersujud diatas sajadah. Beristigfar, memohon ampun atas perbuatannya. Perasaannya masih tidak tenang. Ummi dan Sarah. Bayangan ke dua wanita itu seakan tidak mau pergi dari pelupuk matanya.

"Maafin Arfan, Ummi," lirihnya. Ia merasa sudah menjadi anak yang tidak berbakti.

Seharusnya saat ini ia sudah berbahagia bersama Sarah. Dipandangi setiap sudut kamarnya. Dindingnya yang bercat biru, lemari pakaiannya, tempat tidurnya, bed cover berwarna kuning dan birunya, permadani kamarnya semua Sarah dan dirinya yang memilih. Setelah menikah, Arfan berencana membawa Sarah ke rumahnya yang ada di daerah Tangerang.

Rumah dari hasil keringatnya sendiri. Maka dari itu setelah bertunangan, mereka berdua bersama-sama memilih isi perabotan untuk rumah ini.

Andai pernikahan itu benar-benar terjadi, pemuda berambut pendek itu menangis. Dalam hati ia menyesal, akan tetapi mau bagaimana lagi. Nasi telah hancur lebur menjadi bubur.

Ia harus menjadi pria yang bertanggung jawab seperti yang Ayahnya ajarkan. Bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Pergaulan yang salah memang akan berbuah masalah.

'tok-tok-tok'

"Arfan, udah bangun? Makan, yuk. Udah siang, nih!" seru Irma dari balik pintu kamar.

"Aku masih ngantuk, kamu duluan, aja!" pemuda itu berbohong. Padahal dari usai shalat subuh, ia belum tidur lagi.

"Arfan ..." Irma bersuara manja. "Tapi aku mau makannya bareng sama kamu ...."

Pemuda itu tidak menjawab. Irma menempelkan telinganya di pintu.

"Fan ..." gadis berambut sebahu itu berusaha membujuk. Dari pagi pemuda itu belum keluar dari kamarnya. "Jabang Bayi, Ayah enggak mau makan bareng kita." Irma pura-pura bersuara sedih. "Sabar ya, nak? Jangan nendang-nendang gini, dong! Mama ...."

'Ceklek'

Arfan membuka pintu. Diperhatikannya Irma yang tengah mengusap-usap perutnya. Pemuda itu menghembusan napas panjang. Ia kesal pada gadis itu karena sudah mengganggunya tapi ia tidak bicara apa-apa.

Arfan segera berjalan ke ruang makan diikuti oleh Irma yang diam-diam tersenyum senang di balik punggungnya.

"Mau pake sayur?" tanya Irma. Ia meladeni Arfan di meja makan seperti seorang istri pada suaminya.

Arfan menggeleng. Ia tidak berselera makan padahal sayur lodeh itu adalah makanan favoritnya.

"ikan?"

Arfan menggeleng lagi.

"Terus kamu mau makan sama apa?" Irma jadi bingung.

-->

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang