Bagian tiga belas

23K 636 9
                                    

Bunyi-bunyi dari game yang Intan dan Vina mainkan di ponselnya seakan berusaha melenyapkan kesunyian. Dari sejak tadi, para penumpang mobil panther merah ini tidak ada yang bersuara. Bagas mengemudi dalam diam, sedangkan Sarah yang duduk di samping pemuda itu terlihat melamun sendiri. Untuk mencairkan suasana, jadilah kedua remaja itu pura-pura asik memencet ponselnya. Padahal bunyi ponsel mereka yang bervolume maksimal itu malah membuat Bagas sakit kepala.

Sabar, batin Bagas. Tinggal beberapa blok lagi mereka akan sampai. Tangan pemuda itu sudah gatal ingin menjitak Intan gara-gara di rumah sakit tadi ia ditinggalkan begitu saja berdua bersama Sarah. Dari kaca, pemuda berkulit manis itu melirik Intan dengan kesal.

"Om Daud? Eh, Kak, itu Om Daud bukan?" tanya Intan tiba-tiba. Matanya tanpa sengaja menangkap sosok pria bertubuh tambun itu tengah bekerja bakti membersihkan selokan bersama para tetangga di dekat rumahnya. "Katanya sakit, kok?"

Bagas dan Sarah sama-sama kaget melihatnya. Pemuda itu segera menepikan mobil yang dikendarainya. Dengan penuh kekhawatiran Sarah turun dari mobil.

"Ayah?" gadis berkerudung itu berjalan cepat. Om Daud terlihat kaget namum segera menyambut putrinya. "Katanya sakit, kok di sini?" tanya Sarah heran.

"Iya, cuma panas dingin. Sekarang udah sehat," Om Daud tersenyum ketika melihat Bagas ikut-ikutan turun dari mobil.

"Om," sapanya setelah mengangguk hormat pada bapak-bapak yang tengah bekerja bakti.

"Oaalah ... ini penganten baru. Udah sehat, Neng?" tanya salah satu tetanganya.

Bagas dan Sarah saling lirik. Mata gadis itu tampak panik dan sedih.

"Alhamdulillah, udah Pak," jawab Bagas sopan. Ia kemudian menatap Sarah beberapa saat, "yuk, panas."

Sarah yang menangkap kode dari tatapan Bagas mengangguk. Om Daud tersenyum penuh arti melihat keduanya lalu pamit pada para tetangga.

"Ayah, baru sembuh udah panas-panasan," Sarah protes. Dilihatnya matahari hampir tepat di atas kepala. Sebentar lagi waktu salat dzuhur tiba.

Lagi-lagi Om Daud tersenyum karena melihat putrinya sudah bisa mengomel. "Kerja bakti ini 'kan program warga, jadi enggak enak kalau enggak bantuin. Nanti Ayah dibilang enggak kompak."

"Tapi Ayah baru sembuh. Kalau sakit lagi gimana?"

"Sarah, Ayah cuma panas dingin gara-gara masuk angin." Om Daud berjalan bersama Sarah menuju rumah mereka yang berjarak hanya beberapa meter dari tempat kerja bakti. Mobil Panther merah yang dikendarai Bagas terlihat sudah masuk ke pekarangan rumah keluarga Om Daud. "Ayah harus berterimakasih pada Bagas."

Sarah yang bergelayut di lengan Om Daud menoleh dengan pandangan bertanya.

"Karena udah ngejagain permata Ayah," kata beliau cepat seolah tahu apa yang hendak ditanyakan putrinya.

Sarah diam saja tidak menjawab. Dilihatnya pemuda jangkung itu tengah menurunkan tas miliknya yang berukuran cukup besar. Kembali bayangan Arfan berkelebat saat melihat senyum di bibir pemuda itu. Kenapa begitu mirip, pikir Sarah sejenak kemudian tersadar sendiri ketika ingat kalau Bagas dan Arfan kakak beradik.

"Nah, sudah adzan." Om Daud berbicara ketika mereka sampai di dekat Bagas. "Kita berjamaah di mesjid, Nak," katanya sambil menepuk pundak Bagas.

Pemuda itu langsung menyetujui. Matanya diam-diam melirik Sarah yang dari tadi terus-terusan memandang dirinya.

---------------------------------------------------

Irma berdiri mengintip Arfan di balik pintu kamar utama yang ada di dekat kamarnya. Pemuda berhidung mancung itu tampak tengah berusaha duduk sambil menjawab suara adzan dzuhur yang berkumandang. Kemudian ia melihat Arfan duduk bersandar di tempat tidur sambil memijat-mijat keningnya sendiri. Tidak tega, Irma hendak masuk ke dalam namun urung karena ada keraguan di hatinya. Tadi pagi saja pemuda itu sudah dua kali mengusirnya agar jangan dekat-dekat. Entah Arfan akan bagaimana lagi kalau sekarang ia nekad mendekatinya.

Sementara itu, Arfan yang sebenarnya tahu gadis itu memerhatikannya mulai mendesah bingung memikirkan apa yang ada di otaknya. Membuat kepala pemuda itu berdenyut kembali.

"Den, makan." Bi Inah masuk tanpa mengetuk. Tangannya membawa makanan dalam nampan. Irma terlihat menguntit di belakang wanita paruh baya itu sambil membawa beberapa jenis air minum. Dari mulai air biasa, air teh, susu coklat dan jus alpukat.

"Taruh aja di situ," kata Arfan malas menunjuk meja rias yang ada di dekat tempat tidur. Melihat makanan dan minuman itu saja sudah membuatnya kenyang.

"Dari kemarin malam 'kan kamu belum makan," Irma memberanikan diri berbicara. "Minum teh manis ini dulu atau susu, yah?"

"Enggak!" nada kesal jelas terdengar dari suara pemuda itu. "Cerewet, bawa keluar sana."

Bi Inah mengurut dada sedang Irma mulai tidak terima.

"Fan?! Ayo, terus bentak-bentak aku. Bentak terus!" Gadis berambut sebahu itu terisak. "Katanya kamu enggak akan nyia-nyiain aku, tapi kenapa kamu marah-marah terus sama aku?! Kenapa kamu enggak ngebiarin aku di jembatan itu aja kalau kamu mau kayak gini sama aku?! Kenapa ...," Irma menangis sekarang.

Arfan tertegun melihat Irma. Kata-kata yang diucapkan gadis itu bagai mengingatkannya. Bukankah ia sudah berkata akan bertanggungjawab? Bukankah secara tidak langsung ia sudah memilih menebus kesalahannya dengan meninggalkan pernikahan dan gadis yang dicintainya?

Arfan sadar sekarang. Ia menutup wajahnya kemudian menggeram pelan membuat Bi Inah yang melihatnya jadi khawatir dan sedih.

"Maaf, Irma ... maafin aku." kata pemuda itu lirih.

***

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang