Bagian delapan belas

17.2K 528 15
                                    

Berlari menembus hujan. Pagi ini, setelah sampai di rumah sakit, Nadine bergegas pergi ke toilet untuk mengganti pakaiannya yang basah.

"Haciiiw!" gadis cantik itu bersin tepat di depan pintu ruangan tempat Ilham dirawat. Ia gosok hidungnya sekilas sebelum membuka pintu. Ada Dokter Mitha di dalam ruangan itu.

"Maaf telat, Dok," kata Nadine pada mereka.

Mitha yang tengah duduk di sisi ranjang tempat Ilham berbaring tersenyum penuh arti. "Ah, untung Nadine cepet datang. Ini nih, Ilhamnya kamu bandel banget. Masa pengen pulang terus, padahal pinggangnya belum sembuh," adu dokter muda bersuara lembut itu pada Nadine.

Ilhamnya kamu? Nadine menyembunyikan rasa terkejutnya dalam senyuman. Ia tatap Ilham yang tengah memberi isyarat mata memohon padanya supaya ikut membantu membujuk Mitha, wanita mantan calon tunangannya yang menangani perawatan cederanya. Nadine tersenyum geli melihat wajah manja Ilham, "pasien yang baik harus dengerin apa kata dokternya, Mas."

Ilham yang sempat terpana melihat senyum cantik Nadine pura-pura menekuk bibirnya kecewa.

"Tuh ..." Mitha mendekati Nadine kemudian merangkul pundaknya, "dengerin apa kata Nadine. Obatnya diminum, jangan banyak gerak. Ok?" katanya pada Ilham.

Pemuda berkacamata itu mengangguk berat.

Mitha tertawa kecil melihatnya, "kayak kemarin, temenin Ilham ya, Nad? Tugas kamu hari ini biar di handle yang lain aja."

"Ta-tapi, Dok?"

"Udah," Mitha mengabaikan keberatan Nadine. "Nanti aku yang urus. Jaga Ilhamnya aja di sini."

Nadine sudah siap akan bersuara kembali namun Mitha malah pergi sambil tersenyum. Ah, ia takut teman-temannya semakin menyangka yang tidak-tidak padanya bila harus menjaga Ilham lagi. Gara-gara Nadine pergi dengan Ilham ke pesta pertunangan Dokter Mitha saja sudah membuat pegawai rumah sakit ini menggosipkannya. "Haaciww!"

"Kenapa, Nad? kamu kesini tadi ujan-ujanan?" tanya Ilham dengan nada khawatir. Suara petir menggelegar di luar sana.

Nadine mengangguk sambil mengosok hidungnya kembali. Kini hidung mancungnya tampak sedikit memerah.

"Laki-laki yang kemarin ...."

"Bagas," potong Nadine.

"Ya-ya, Bagas. Enggak nganterin kamu?" tanya Ilham ingin tahu.

Gadis blasteran timur tengah itu menggeleng, "Bagas ada urusan keluarga jadi enggak bisa nganterin."

"Oh," Dokter muda itu manggut-manggut. Dalam hati dirinya bersorak senang. Berarti hari ini tidak akan ada yang mengganggu apabila dirinya mengobrol atau seharian bersama dengan Nadine seperti kemarin. Teringat hari dimana ia tertabrak, membuat pemuda berkacamata itu diam-diam mengulum senyum. Nadine terlihat panik sekali saat melihat luka-luka yang dideritanya. Ilham berpikir, apakah itu berarti Nadine mengkhawatirkannya? Kalau jawabannya iya berarti ia sudah maju selangkah lebih dekat.

"Haciiw!" Nadine kembali bersin. "Aduh maaf, Dok" ia cepat-cepat memakai masker.

"Flu kayaknya, Nad? Sini aku periksa," Ilham tiba-tiba menarik pelan pergelangan tangan Nadine.

Gadis cantik itu tengah berdiri di samping tempat tidurnya. Nyaris saja ia menjatuhkan obat Ilham yang sedang dihancurkannya di atas sendok karena kaget. "Dok ...."

"Diem sebentar," pinta Ilham. Ia tengah menghitung detak jantung nadine. Tapi, sepertinya konsentrasinya terganggu dengan suara detak jantung dirinya sendiri yang terdengar keras sekali. Ini kali pertama ia memberanikan diri menyentuh tangan Nadine. Hangat, lembut .... Ilham jadi gugup namun sesaat kemudian pemuda itu diam tertegun ketika tanpa sengaja matanya melihat sebuah cincin kebesaran melingkar di jari manis gadis itu. "Ini ... cincin kamu?" tanyanya penuh rasa ingin tahu.

***

Irma mondar-mandir di dalam kamar dengan gelisah. Kuku jari kanannya ia gigiti. Pusing, bingung, Bang Samir mulai menerornya dan mengancam akan menjual dirinya bila tidak segera menyetor uang. Kemarin ia pergi pagi-pagi lalu pulang malam untuk meminjam uang. Tapi hasilnya nihil. Setelah ke sana-kemari, semua kenalannya tidak ada yang mau membantu.

Lima puluh juta, darimana ia bisa mendapat uang sebesar itu dalam sekejap mata. Tubuhnya merinding ketika membayangkan apa yang akan menimpanya bila ia jatuh lagi ke tangan Bang Samir. Sudah lama dirinya ingin benar-benar bebas lepas dari preman botak itu. Irma meremas rambut ubun-ubunnya putus asa. Bagaimanapun caranya, ia harus mendapatkan uang itu secepatnya. Harus, tapi bagaimana?

Yah ... Arfan, pemuda manis itu adalah pilihan masa depannya. Selain pemuda itu siapa lagi yang bisa ia harapkan. Ia hidup sebatang kara di dunia ini. Irma teringat tumpukan uang dan surat-surat mobil di lemari Arfan yang dilihatnya malam itu. Tetapi ... dalam hati kecil ia merasa tidak tega untuk mengambilnya. Pemuda baik itu sudah sangat susah karena ulah dirinya. Pemuda itu juga terlihat sedang banyak pikiran. Irma sadar apa yang dirinya lakukan pada Arfan sudah sangat keterlaluan. Ia merasa sangat bersalah pada pemuda itu tapi .... ia bimbang sekarang. Menimang-nimang apa yang akan ia lakukan. "Maafin aku, Fan," katanya seraya meletakan tangan kanan di atas perutnya.

Sementara itu malam telah menyelimuti kota Tanggerang. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam ketika kedua putra Haji Bachtiar bertemu di sebuah rumah makan.

Telah dua puluh menit berlalu tetapi mereka berdua belum juga saling berbicara. Keduanya sibuk memandang jalanan yang terlihat jelas dari jendela kaca rumah makan dengan pikiran yang entah kemana. Arfan bingung memikirkan apa yang pertama harus ia bicarakan pada adiknya, sedangkan Bagas diam karena memendam segala rasa jengkel pada kakaknya.

>>>

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang