Bagian dua puluh dua

22.6K 454 38
                                    

Dinginnya lantai, seorang anak usia 6 tahunan tidur meringkuk bersama anak-anak lain berbagai usia.

"Bangun-bangun!" Suara pria berkepala botak penuh tato mencipratkan air ke wajah-wajah yang tengah pulas itu. "Molor aje loe pade, bangun! Cepet cari duit!"

Satu persatu, anak-anak itu bangun. Tanpa mencuci muka mereka menerima nasi pincuk berukuran kecil dan wadah-wadah untuk mereka jadikan alat mengemis dan mengamen.

"Dengerin ya, loe-loe pade jangan macem-macem. Gue udah baik ngasih tempat molor sama ngasih makan. Cari duit yang banyak. Berani macem-macem gue kepret pada bonyok ntar loe pada." Ancam preman itu membuat semua anak menunduk takut. "Ngarti kagak?"

"Iya,  Bang."

"Bagus, jadi anak baik ya. Sono kerja, awas kalau ada yang coba-coba kabur, gue cepret tuh kayak si Irma."

Anak yang di tunjuk Bang Samir beringsut takut, mundur ke ujung ruangan. Terlihat betisnya bengkak karena banyak luka bergurat merah, terasa nyeri sehingga air mata membasahi wajahnya yang sembab. Kemarin preman botak itu memukulinya dengan lidi karena ketahuan akan kabur.

"Cengeng! Ga usah pake mewek. Gue kepret loe!"

Karena takut anak itu segera menahan tangisnya.

Setelah semua pergi Bang Samir berjalan mendekat, "pake ini kuping," kali ini pria itu menarik telinga bocah yang duduk dihadapannya dengan keras, membuat gadis kecil itu meringis. "Kalo loe berani kabur lagi gue potong kaki loe."

"Ampun, Bang."

"Heh," Bang samir melepaskan jiwirannya dengan kasar. Ia membanting ember dan pakaian ke hadapan anak itu. "Cuci ntu pakaian."

"Iya, Bang."

"Yang bersih!"

Anak itu berlari keluar dari bedeng yang ada dipinggiran sungai. Tempat kumuh itu sedari ingat sudah menjadi tempat tinggalnya. Ia tidak mengenal atau mengingat siapa ibu dan ayahnya atau kapan dan dimana ia dilahirkan. Kata Bang Samir, ia ditemukan di tempat sampah, entah benar atau tidak.

Kemarin gadis kecil itu mencoba kabur dari Bang Samir karena takut di marahi. Gara-gara uang hasil mengamennya raib hilang dirampas calo perempatan jalan. Tapi semua rencananya tidak berjalan baik, ia tertangkap oleh anak buah Bang Samir.

"Irma, nyuci lagi?" Tanya seorang ibu menor yang sedang asik merokok diluar bedengnya.

"Iya, bu."

"Bu-bu terus, panggil gue Tante Anggi," katanya kesal.

Irma mengernyitkan kening, setahu dirinya nama ibu menor ini Jamilah, kok sekarang jadi Anggi?
Ah, terserahlah, batin Irma. "Maaf Tante."

Wanita dengan make up tebal itu mengangguk dan tersenyum. "Sini-sini, udah makan belum?"

Irma menggeleng lalu menunduk lesu sambil memegangi perutnya yang mulai terasa perih dan lapar. Sedari kemarin siang ia belum diberi makan lagi oleh Bang Samir.

"Tante punya nasi uduk, nih. Makan, yuk," ajaknya pada Irma.

Melihat senyum Tante menor yang tulus membuat gadis kecil itu mengangguk. Sambil makan Irma ditanya ini dan itu. Tante menor sempat geram karena melihat luka di betis Irma. Karena bukan kali ini saja Irma ia melihat bekas luka di tubuh Irma akibat dipukuli. "Dasar preman blo'on, bego!" Hardiknya. "Tenang aja Irma, nanti Tante samperin itu si botak biar kamu engga dipukul lagi."

Bocah 6 tahun itu mengangguk senang. Ternyata ibu-ibu menor yang sering menyapanya itu berhati baik.

Dan benar saja, semenjak Tante Menor mendatangi Bang Samir, ia jadi tidak pernah dipukuli lagi. Bang Samir juga jadi melarangnya berkeliaran di jalan.
Tugasnya setiap hari hanya mencuci dan membersihkan bedeng serta bantu-bantu di rumah Tante Anggi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang