Lanjutan bagian dua belas

22.7K 649 10
                                    

Nadine mengambil jaket serta tasnya yang ada di ruangan jaga dengan tergesa-gesa. Ia harus segera pulang sebelum Intan mencari dan menemukannya lagi seperti tadi malam.

"Kemana, Nad?" tanya rekannya heran.

"Izin," jawabnya singkat kemudian berlalu dari sana, takut teman-temannya banyak bertanya. Gadis berhidung mancung itu berjalan cepat dari ruang jaganya sambil menunduk.

"Intan! Bantuin, berat tau ....!"

Mendengar nama itu disebut, langkah Nadine yang tadinya cepat jadi berhenti. Wajah ovalnya yang sedaritadi menunduk otomatis terangkat.

"Sini-sini, ah!" gerutu gadis remaja yang dikenalnya. Gadis belasan tahun itu berlari melewati Nadine begitu saja.

Tanpa disadari helaan napas lega keluar dari mulut Nadine. Ia bersyukur dalam hati, karena remaja itu sepertinya tidak menyadari keberadaannya.

"Vin, kalau berat, ngapain tadi sok pengen bawain tasnya Kak Sarah?" sewot Intan. "Mending nuntun Kak Sarah aja, yuk? Tasnya biar Kak Bagas yang bawa."

"Enggak-enggak," Vina berjongkok kelelahan. "Aku sengaja tau, biar Kak Sarah dituntun sama Kak Bagas. Seneng deh, liatnya. Kayak waktu acara nikahan kemaren."

'Deg'

Hati Nadine nyeri mendengarnya. Terbayang kembali wajah Bagas di pelupuk matanya.

"Udah, yuk? Enggak usah ditungguin," Vina mengangkat kembali tas besar yang dibawanya. "Gotong tasnya, Tan ... biarin Kak Sarah dijagain Kak Bagas aja."

'Deg'

Kini Nadine mulai sesak. Ia tidak mau mendengar tentang mereka lagi, pikirnya. Tidak Bagas, tidak wanita bernama Sarah itu atau siapapun yang berhubungan dengan mereka.

"Suster?" tanya Ilham khawatir. "Mau ke mana? Kenapa? Sakit?"

Nadine sedikit terkejut melihat dokter muda itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Sangat dekat, membuat gadis berkerudung itu menundukan kepala karena merasa risih. Ia takut ada teman-teman seprofesinya yang melihat.

"Sus?" tanya Ilham bingung. Kini badannya yang sedikit lebih tinggi dari Nadine semakin membungkuk karena mengejar wajah cantik gadis itu yang semakin menunduk.

"Maaf, Dok. Permisi ...."

"Eh," cegah Ilham cepat menghalangi langkah Nadine. "Mau pulang?" pria itu tidak menyerah bertanya.

Nadine mengangguk pelan.

"Sekarang?"

Nadine mengangguk lagi.

Ilham memandang gadis pendiam itu sekilas sebelum melirik jam tangannya. "Oke, aku anter," katanya seraya mengambil jaket dan tas yang Nadine pegang.

Gadis itu kembali terkejut oleh sikap Ilham yang tiba-tiba begitu. Membuat ia tidak bisa menolak atau protes karena dokter itu sudah berjalan lima langkah mendahuluinya. Nadine hanya bisa menghela napas pasrah kemudian berjalan pelan mengikuti dokter muda itu. Memang susah menolak keinginan Dokter yang selalu mengagetkannya ini.

Ketika Nadine melewati ruang administrasi, tanpa sengaja mata gadis itu menangkap sosok Bagas dan Sarah yang tengah duduk berdampingan. Terlihat olehnya Bagas benar-benar menjaga Sarah saat gadis itu hendak berdiri dari kursinya. Nadine terpaku di tempatnya. Mata dan batinnya seakan tidak sejalan. Jangan ditanya bagaimana perasaannya sekarang.

"Suster!" Ilham yang heran melihat tingkah gadis itu memanggil.

Nadine menoleh dengan memasang wajah yang sulit Ilham baca. Terlihat tergesa-gesa, gadis berhidung mancung itu menghampiri Ilham yang tengah menunggu di pintu keluar rumah sakit.

---------------------------------------

Suara dering ponsel membuat Irma yang tengah duduk menonton TV berlari menuju kamarnya. Setelah melihat sekitarnya, ia bergegas mengunci pintu kemudian menekan tombol hijau pada ponselnya.

"Ha ... halo?" suaranya bergetar. Ia memilin ujung dres selututnya dengan gelisah. "I ... iya, Bang. Aye minta waktu sampe bulan depan."

Irma mengigiti kukunya kala mendengar bentakan dari seberang. "Minggu depan?! Ta-tapi duitnya ...," mata gadis itu melotot. "Jangan, Bang, jangan ... ampun Bang," katanya memelas. "Aye pasti lunasin semuanya, Bang. Aye kagak bakal kabur."

'tok-tok-tok'

"Non?"

Suara yang memanggilnya dari balik pintu membuat gadis itu panik. Tanpa berpikir panjang, cepat-cepat ia menutup ponselnya. "I-iya, Bi?" katanya berusaha bersuara normal.

"Kok, pintunya dikunci?"

Irma gelagapan, "i-itu ... lagi ganti baju."

"Oh ... kalau udah makan dulu, Non. Udah siang."

"Iya, Bi. Entar aku makan." Irma mengatur napas, bikin kaget saja, gerutu hatinya. Gadis berambut sebahu itu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Ia bingung sekarang, teringat telepon dari seseorang tadi menbuatnya jadi tidak tenang.

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang