Bagian empat - Hancur

34.7K 1.1K 19
                                    

Sebuah mobil Panther merah berhenti tepat di depan gerbang rumah om Daud. Tenda-tenda berwarna biru bludru dan silver menaungi seluruh halaman luas rumah mewah bercat putih milik calon kakak iparnya ini.

Setelah merapikan letak pecinya, Bagas segera turun dari mobil. Sedikitpun ia tidak curiga pada suasana sepi disekitar halaman yang luas itu. Sesuai rencana acara hari ini dari mulai ijab qobul, sambutan serah terima dan lain-lain akan dilaksanakan sampai jam dua belas siang nanti. Acara ini hanya dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai saja. Setelah istirahat sejenak serta shalat dzuhur, sekitar pukul satu siang nanti baru akan dimulai acara resepsinya. Acara yang akan dihadiri oleh seluruh tamu undangan, teman-teman serta para kolega orang tua kedua pengantin.

Bagas melirik jarum jam tangannya sekilas. Kini waktu sudah menunjukan pukul sebelas. Acaranya pasti sudah mulai, pikirnya dihati. Ia mengambil sebuah kado kecil dari dalam ransel hitamnya sebelum membiarkan mang Ujang menutup pintu mobil. Dengan tergesa-gesa ia masuk melewati halaman rumah om Daud yang kini sudah disulap sedemikian rupa untuk dijadikan tempat menjamu para tamu.

Tiba-tiba langkah Bagas berhenti di tepi undakan tangga teras rumah om Daud. Sepasang telinganya mendengar suara gaduh dan isak tangis dari dalam rumah.

Dahinya berkerut dalam. Pelan-pelan ia melangkahkan kakinya melewati undakan tangga itu dengan berbagai pertanyaan. Hatinya semakin merasa tidak enak.

"Ummi, Intan?" serunya cukup kaget saat melihat keadaan di dalam ruang tamu besar yang direncanakan akan menjadi tempat ijab kabul berlangsung.

Seorang wanita berusia hampir lima puluhan yang menangis sambil memeluk putrinya cepat menoleh ke asal suara. "Bagas.... Nak," lirihnya.

Bagas segera berlari mendekati wanita yang telah melahirkannya itu.

"Ada apa ini? Apa yang terjadi Mi?" tanya Bagas bingung.

Ia melihat berpasang-pasang mata menatapnya. Terlihat jelas sorot kemarahan, kekecewaan, kekesalan serta kesedihan dari keluarganya terutama dari keluarga besar om Daud.

Dari sisi kanan ruangan itu, adik bungsu ibunya-Tante Mia-berjalan mendekat. Sisa-sisa air mata masih tampak jelas diwajahnya. "Sini sayang," katanya seraya menarik Intan yang masih menangis kepelukannya. "Teh Mira, Bagas harus tahu," tante Mia menyentuh punggung tangan kakaknya sebelum mengajak Intan menjauhi mereka berdua.

Tatapan sedih tante Mia kepadanya membuat ia semakin bingung.

"Ummi ..." Bagas duduk disamping ibunya. Tangannya menggenggam kedua tangan ibunya erat-erat. "Apa yang terjadi? Dimana Kak Arfan dan Ayah?" matanya menyapu ruangan sekitar. Ia sibuk mencari-cari keberadaan kakak dan ayahnya diantara orang-orang yang masih memandangnya.

Ibunda Bagas menghapus air matanya sebelum menjawab, "kakakmu pergi."

"A-apa?!"

"Sekarang Ayah sedang berbicara berdua dengan om Daud," ibunya kembali terisak.

Bagas segera memeluk ibunya. Ia masih tidak percaya pada apa yang didengarnya. Kenapa Arfan pergi? Pikirnya heran.

"Ummi kecewa pada kakakmu Bagas. Dia pergi tanpa menjelaskan apa-apa."

"Kapan kak Arfan pergi?"

"Tadi," ibunya kembali menghapus air matanya. "Sewaktu acara akan dimulai."

Bagas terdiam sejenak."Lalu Sarah?"

ibunya tidak menjawab, beliau malah menangis lagi.

Bagas menghembuskan napas berat. Ibunya terlihat sangat terpukul. Bagas jadi sedih, Arfan benar-benar keterlaluan, pikirnya. Cepat-cepat ia mengeluarkan ponselnya dengan niat menghubungi kakaknya itu. Tetapi setelah menekan tombol hijau hanya suara operator yang didengarnya, ponsel Arfan tidak aktif.

***

Dua buah kancing kemeja putihnya sengaja dibuka. Jas hitam dan pecinya tergeletak begitu saja disamping jok mobilnya. Berkali-kali Arfan memukuli stirnya, membunyikan klakson dan marah-marah pada pengemudi lain yang menghalangi laju kendaraannya.

Arfan menjalankan mobilnya dengan serampangan. Pikirannya kacau, hatinya hancur lebur. Bayangan Sarah seakan tidak mau pergi dari pelupuk matanya. Ia merasa sangat bersalah pada gadis berkerudung itu.

"Maafin aku Sarah, maafin aku ..." Arfan berbicara sendiri. "Kamu pantas mendapatkan pria yang baik, bukan pria brengsek seperti aku," lirihnya.

Arfan berteriak frustasi sambil tetap menyetir mobil Honda Jazz berwarna silver miliknya. Ia menyesal karena pernah behubungan dengan wanita bernama Irma itu. Ia sangat kesal kepada wanita itu karena baru menghubunginya lagi setelah hari pernikahannya dekat. Setelah ia melamar Sarah dan mencintai gadis itu dengan sepenuh hatinya. Setelah ia melupakan semua kehilafan masa lalunya.

Impian membangun rumah tangga bahagia bersama Sarah musnah sudah.

Kalau tahu begini, ia tidak akan menuruti kemauan orangtuanya untuk melamar Sarah. Kalau tahu akan begini ia tidak akan memberi harapan dan janji-janji indah pada gadis berkerudung itu. Sehingga gadis itu tidak perlu menjadi korban.

Arfan kembali berteriak tanpa suara untuk melampiaskan apa yang dirasakannya.

Ia sudah menghancurkan dan melukai hati banyak orang. Ia sudah kehilangan muka dihadapan seluruh keluarga besarnya dan seluruh keluarga sarah. Ia sudah mengecewakan semua orang terutama ayahnya. Ia sudah membuat ibunya menangis.

"ummi ..." lirihnya.

Arfan berusaha menahan airmatanya kala membayangkan wajah ibunya.

Walau bagaimanapun ia adalah seorang laki-laki. Pantang baginya untuk menangis.

'Tidiiiiii....N'

Suara klakson mobil lain mengagetkannya. Arfan menginjak rem mobil yang dikendarainya dalam-dalam. Kepalanya terbentur stir bertepatan dengan kalimat istigfar yang keluar dari mulutnya.

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang