bagian tujuh

31.3K 1.1K 7
                                    

"Kita sambut, pasangan pengantin kita. Yang berbahagia, Bagasditya Raisyauqi Yusuf Bachtiar dan Neng Sarah Shareefa Amira ...."

Riuh para tamu yang bertepuk tangan bersaing dengan tabuhan gamelan. Jam sudah menunjukan pukul dua siang. Setelah hampir satu jam mereka menanti dengan gelisah. Akhirnya sang pembawa acara memanggil pengantinnya keluar.

Kini semua mata tertuju pada pintu utama rumah Om Daud. Dimana Bagas tengah gagah berdiri seorang diri.

Ya, seorang diri. Pintu kamar Sarah masih saja rapat tertutup. Bagas berpikir sepertinya gadis itu tidak akan keluar saat-saat ini. Dapat dimengerti. Wanita mana yang akan kuat?

Umminya saja masih menangis. Ayahnya dan Om Daud masih tampak terpukul. Arfan ...! Bagaimana caranya ia bertanggungjawab atas semua ini? Pikir Bagas. Benar-benar tidak terbayangkan olehnya.

Satu menit-dua menit- tiga menit. Bagas masih berdiam diri. Keringat mulai menetes. Ia berusaha berkonsentrasi. Dikesampingkan dahulu pikirannya tentang Nadine. Pemuda berkulit manis itu yakin, gadis blasteran timur tengah itu akan mengerti. Ia akan berbicara padanya nanti.

Setelah merasa kulit wajahnya cukup tebal untuk tampil di depan umum, Dengan mantap pemuda berambut hitam itu menggenggam gagang keris yang ada di pinggangnya,

Perlahan, Bagas mulai nekad melangkahkan kakinya tapi kemudian, ia berhenti tepat diujung teras, ketika ia menyadari tepuk tangan yang riuh telah berganti menjadi bisik-bisik ramai dan gumanan heran seluruh tamu undangan. Tentunya para tamu tidak bodoh, mana ada pengantin yang melangkah seorang diri ke pelaminan? Tanpa pasangan, tanpa keluarga.

Dalam sekejap, nyali pemuda jangkung ini ciut. Ternyata tidak mudah. Seribu alasan yang telah ia susun dibenaknya untuk berjaga-jaga bila ada tamu yang bertanya ini-itu hilang ketika ia menyadari seluruh mata memandang ke padanya. Seolah tengah menguliti wajahnya.

Bukankah ini adalah idenya? Berdiri dipelaminan sendiri walaupun orang-orang akan keheranan?

Kini dalam hati, Bagas agak menyesali ide dadakannya itu. Tapi mau bagaimana lagi.

Umminya saja masih menangis. Ayahnya dan Om Daud masih tampak terpukul. Arfan ...! Bagaimana caranya ia bertanggungjawab atas semua ini? Pikir Bagas. Benar-benar tidak terbayangkan olehnya.

Satu menit-dua menit- tiga menit. Bagas masih berdiam diri. Keringat mulai menetes. Ia berusaha berkonsentrasi. Dikesampingkan dahulu pikirannya tentang Nadine. Pemuda berkulit manis itu yakin, gadis blasteran timur tengah itu akan mengerti. Ia akan berbicara padanya nanti.

Setelah merasa kulit wajahnya cukup tebal untuk tampil di depan umum, Dengan mantap pemuda berambut hitam itu menggenggam gagang keris yang ada di pinggangnya,

Perlahan, Bagas mulai nekad melangkahkan kakinya tapi kemudian, ia berhenti tepat diujung teras, ketika ia menyadari tepuk tangan yang riuh telah berganti menjadi bisik-bisik ramai dan gumanan heran seluruh tamu undangan. Tentunya para tamu tidak bodoh, mana ada pengantin yang melangkah seorang diri ke pelaminan? Tanpa pasangan, tanpa keluarga.

Dalam sekejap, nyali pemuda jangkung ini ciut. Ternyata tidak mudah. Seribu alasan yang telah ia susun dibenaknya untuk berjaga-jaga bila ada tamu yang bertanya ini-itu hilang ketika ia menyadari seluruh mata memandang ke padanya. Seolah tengah menguliti wajahnya.

Bukankah ini adalah idenya? Berdiri dipelaminan sendiri walaupun orang-orang akan keheranan?

Kini dalam hati, Bagas agak menyesali ide dadakannya itu. Tapi mau bagaimana lagi. Bukankah sudah kepalang tanggung? Demi keluarganya, walaupun sangat berat ia kembali berusaha menggerakan kakinya. Berusaha melawan tatapan heran banyak orang dengan membentuk seulas senyum kecil di bibirnya, dan mengubur rasa malu dengan mengangkat kepalanya penuh percaya diri.

Selangkah, dua langkah, tiba -tiba para tamu kembali ramai bertepuk tangan. Banyak pula yang masih berbisik-bisik, tersenyum sambil memandang kearahnya.

Dengan terheran-heran pemuda berkulit hitam manis itu menghentikan langkahnya tepat di undakan atas tangga pertama. Ada apa dengan para tamu? Sebentar bertepuk tangan, sebentar memandangnya heran, sekarang mereka malah tersenyum kepadanya.

"Kak Bagas?!"

"Apa?" Bagas terkaget. Ia memutar badannya ke belakang.

"Kak? Ini ... Masa kesananya mau sendiri-sendiri," kata Intan gemas. Matanya mengerling ke arah pengantin wanita yang tengah digandengnya.

"Hah?" Bagas masih terkaget. Ia sulit mempercayai apa yang dilihatnya. "Sa--sarah?" Bagas tergagap, benarkah itu Sarah?tanyanya dihati.

Badan tinggi ramping terbalut kebaya panjang berwarna kuning kopi emas serasi dengan pakaian Bagas. Rambutnya yang disanggul tinggi-tinggi tertutup kerudung dan untaian bunga-bunga melati yang sengaja dibentuk ronce-ronce. Tak ketinggalan mahkota enam belas kembang goyang berwarna emas membuat wajah sembab gadis itu terlihat sedikit lebih segar. Cantik dan manis namun sayang, tatapan sayu dan wajahnya yang pucat tidak dapat disembunyikan dengan make up. Bagas agak pangling melihatnya, karena terakhir kali ia bertemu dengan Sarah adalah ketika kakaknya dan gadis itu bertunangang tiga bulan yang lalu.

"Sini, biar sama Om," Om Daud mendekat. Beliau mengusap-usap kepala Intan sebelum mengambil alih tangan Sarah.

Perlahan Om Daud membawa Sarah kehadapan Bagas. "Nak, hati-hati," katanya seraya menyerahkan tangan kanan Sarah yang terbungkus sarung tangan brokat. "Tolong jaga Sarah seperti janjimu pada Om.Jangan sampai permata Om terjatuh."

-->

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang