Selamat, Tinggal . . . .

138 3 0
                                    

Setelah empat bulan tidak banyak yang berubah, Arham dan Ayu sudah lulus sekolah. Di waktu-waktu senggang itu, mereka lebih banyak berdiam di rumah. Memberikan waktu untuk Aliya sekalian menjadi anak siaga, mengingat waktu persalinan Hana yang sudah semakin dekat.

"Mau kemana Nia?" Tanya Arham saat melihat Kara keluar dengan pakaian rapih.

"Mau keluar sama Amanda, sama kak Rafif." Jawabnya lalu mencium pipi Alia sebelum meninggalkan rumah.

Tetap seperti dulu, sekamar dengan Ayu tapi tak bertegur sapa. Tidak ada yang hidup masing-masing dalam keluarga itu, hanya saja, Kara yang terlalu sibuk menahan diri saat semua orang berusaha menyentuh hatinya lagi.

"Tumben nih jalannya siang, biasanya agak sore." Kata Kara saat tiba di tempat janjiannya dengan Amanda dan Rafif.

"Lagi pengen aja. Oh iya, tadi aku dah pesan makanan, kamu tunggu aja. Aku mau ke belakang dulu." Rafif kemudian meninggalkan Amanda berdua dengan Kara.

Usai makan siang, Rafif mengajak Kara dan Amanda pergi ke suatu tempat yang sudah dijanjikan oleh Rafif.

"Kok kita ke bandara sih kak?" Tanya Kara saat mereka berbelok menuju Bandara Internasional Sultan Hasanuddin.

Tidak ada jawaban, Kara merasa perlu untuk menurut saja. Sampai langkah Rafif terhenti di dekat pintu masuk.

"Stella, sampai sebelum hari ini tiba aku selalu ragu untuk mengambil keputusan ini sebelum bicara sama kamu. Tapi hari ini aku benar-benar yakin tanpa perlu mendengar jawaban kamu. Ada orang yang kamu cintai, dan orang itu bukan aku. Bagaimanapun caranya aku untuk mempertahankan kamu, nyatanya aku yang telah merebut kamu dari dia. Stella, setelah semua ini, aku yakin kalau ternyata aku orang ke tiga itu aku dan bukan orang lain."

Kara terdiam, Amanda memilih berdiri bersama sahabatnya daripada kakaknya.

Tidak lama Afkar dan Musda juga tiba, tepat di jam yang disampaikan oleh Rafif lewat pesan sebelumnya.

"Selamat tinggal, selamat karena akhirnya kamu kembali menjadi Nia, diri kamu yang sebenarnya. Selamat juga, karena kamu tetap tinggal di sini, aku yang akan pergi sebelum ini merusak kita terlalu jauh. Sebelum kamu, atau Afkar benar-benar terpisah, biar aku yang memisahkan diri, agar kalian tetap tinggal di tempat yang sudah kalian sediakan. "

"Kalau itu kemauan kak Rafif, aku bisa? Aku tidak akan pernah punya hak untuk menahan kakak ketika kakak sendiri yang memilih untuk melepaskan aku. Sekeras apapun satu orang memperbaiki keadaan, tidak akan pernah cukup ketika satu orang sudah yakin untuk pergi."

"Kak, apa keputusan kakak memilih pergi tidak akan kakak sesali nantinya? Setelah semua yang sudah terjadi. Bukan cuma kakak, tapi tentang Nia kak. Nia yang dulu mencoba kembali kak, tapi kenapa kakak merusak waktu dua tahun itu. Yang jelas bukan cuma berisi tentang sama-samanya kalian, tapi juga waktu kakak ninggalin Nia kak. Apa kakak fikir semuanya semudah kakak pergi lagi."

Rafif terdiam sebentar.

"Nia, kamu yang Nia yang sudah lama aku tunggu pulang. Setelah kamu di sini, kami tidak akan pernah membiarkan siapapun membawa kamu pergi. Tidak siapapun termaskuk kak Rafif." Afkar akhirnya menarik lengan Kara pergi meninggalkan Rafif, Amanda bahkan Musda di sana.

* * *

Kara tiba di kediaman Hari saat keluarga itu sedang asik bersantai di ruang keluarga, kecuali Hana yang entah kemana. Tanpa ba bi bu, Kara hendak berlalu menuju kamarnya. Namun langkahnya terhenti oleh Arham.

"Siapa yang nganterin kamu pulang?" Tanyanya sambil menghalangi langkah Kara.

"Afkar." Kara kemudian meninggalkan Arham.

Tapi hanya beberapa detik sampai Hana datang bersama Amanda.

"Nia, sudah pulang ya?" Tanya Hana pada Arham.

"Iya bun, dia baru aja masuk kamar. Eh Amanda . . . ." Tatapan Arham dimengerti Amanda sampai akhirnya dua orang itu pergi menjauh.

"Yu, kamu coba tolong laitin Nia, taunya dia sakit atau kenapa." Pinta Hana lalu duduk bersama Aliya dan Haris.

Saat Ayu berdiri, Aliya berniat mengikuti Ayu, namun tertahan oleh Hana.

"Aliya di sini aja ya, sama bunda sama papa. Bunda mau tanya banyak sama Aliya soal kak Nia."

Aliya mengangguk setuju, "kak Ayu jagain kak Nia, ya." Pintanya lalu berlari menuju ke pangkuan Haris.

Ayu tiba di kamarnya dan menemukan Kara sedang tidur. Ayu mendekat, lalu duduk tepat di samping Kara.

"Kamu tidur?" Tanyanya coba memastikan Kara.

Tidak ada jawaban, Ayu sedikit mengelus kepala Kara, yang kemudian direspon oleh Kara dengan sedikit gerakan. Tanpa Ayu sadari, ternyata Hana menyusulnya.

"Adik kamu tidur?" Tanyanya.

"Iya bun, mungkin dia capek habis jalan seharian." Jawab berpindah ke sisi kanan Kara dan membiarkan Hana duduk di samping kiri Kara.

Hana duduk memperhatikan gadis yang sedang terlelap di hadapannya. Gadis yang jauh sebelum pernikahannya dengan Haris telah menjadi putrinya.

"Bunda maafin Nia ya, kalau misalnya Nia pernah nyakitin bunda."

"Bunda akan selalu memaafkan adik kamu, kalian semua. Kalian anak-anak bunda, dan tidak akan pernah ada alasan untuk bunda tidak memaafkan kalian."

"Dulu, mama selalu bilang kalau Nia, adalah anaknya bunda. Sekarang semuanya udah kebukti, gimana sayangnya bunda sama Nia. Aku nggak pernah iri bun kalau bunda memang lebih sayang sama Nia."

"Kalau aku boleh cerita, aku lebih iri sama Amanda. Dia yang deket banget sama Nia, dia yang tau semua tentang Nia. Aku merasa terpisah jauh dari Nia, bahkan yang lebih menyakitkan, ternyata aku sama sekali tidak kenal sama adik aku sendiri." Cerita Ayu sambil memegang tangan Kara.

Hal yang cukup mengharukan terjadi. Kara tiba-tiba menepis tangan Hana yang mengelus rambutnya. Menepis lalu membelakangi Hana. Ayu memperhatikan tetes air mata yang terjatuh ke bantal, membuatnya menyadari bahwa sebenarnya adiknya tidak tidur. Hanya berusaha menghindar dari dua orang itu. Saat Ayu menghapus air mata Kara, tangannya juga ditepis oleh Kara, namun kemudian terdengar isakan dari Kara.

Ayu menarik Kara ke dalam pelukannya, membiarkan adiknya membantali lengannya dan terus memeluk Kara yang sesenggukan namun tak kunjung membuka matanya.

"Jangan buat aku iri sama Amanda, karena cuma dia yang tau semua hal tentang kamu."

* * *

PulangWhere stories live. Discover now