Aku Mengalah

107 4 0
                                    

*Kara POV*

Hari ini adalah hari yang aku tunggu, waktunya olimpiade sains tingkat kabupaten. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk mengikuti olimpiade ini menuju olgenas. Tahun depan aku sudah kelas tiga, sudah tidak mungkin lagi aku ikut olimpiade ini. Aku harus membayar untuk tahun lalu, saat aku gagal mengikuti olimpiade tingkat kabuten karena mama yang sedang sakit. Hari ini aku akan membuktikan pada mama bahwa aku bisa, aku tidak akan kalah oleh siapapun.

"Mama, do'akan Nia ya ma. Biar Nia bisa tembus olgenas sesuai impian Nia dulu."

Mama memelukku, yah dalam kesepian ini. Hanya aku dan mama yang sedang sarapan, Aliya masih bermain boneka di kamarnya.

"Kamu tidak boleh kalah sayang, kamu yang terbaik dan semua do'a mama mengiringi langkah kamu."

Mama mencium kepalaku, begitu hangat memelukku sampai-sampai aku tak rela dilepas oleh mama. Kutatap wajah mama, wajah itu yang tak seperti dulu lagi. Mama bukan lagi hanya berjuang buat aku dan Aliya, tapi juga untuk dirinya sendiri.

"Kita bertemu lagi setelah kamu berperang hari ini. Mama akan selalu menunggu kamu pulang nak." Mama sekali lagi menciumku.

Hari ini aku akan membuktikan pada mama bahwa tidak seorangpun yang bisa mengalahkan do'anya untukku. Dia adalah satu-satunya perempuan hebat yang aku miliki.

Tiba di sekolah aku melihat teman-teman satu mata pelajaranku sedang diberi petuah oleh kak Ayu dan kak Anggar. Aku bisa melihat jelas, bagaimana keduanya berada dalam satu ruangan yang sama namun tidak saling menyapa sama sekali. Aku lebih memilih duduk di samping kak Anggar yang tidak jauh dari tempat kak Ayu berdiri.

"Kamu belum pernah kalah, apapun hasil yang kamu dapat setelah ini, itu semua adalah do'a mama untuk kamu."

Aku menatap kak Anggar, hanya dia sendiri yang mendukungku seperti itu.

"Aku anak pintar kebanggaan ayah dan ibu, aku tidak mau ibu kecewa karena aku punya adik yang tidak percaya pada dirinya sendiri." Kak Anggar berusaha kembali meyakinkanku.

Aku bisa merasakan kalau kak Ayu sedang menatapku. Harusnya dia turut memberiku semangat, tapi sampai aku masuk ke dalam ruangan tes, sama sekali ia tidak mengatakan apa-apa padaku.

Setelah hampir tiga jam dalam ruang tes, aku keluar. Aku heran kenapa tidak ada yang menunggu di depan, maksudku tidak ada kak Ayu dan tidak ada Anggar. Saat aku membuka ponselku, ada banyak panggilan masuk dari mba Nani yang tidak aku jawab. Selain itu, ada juga satu pesan darinya yang mengabarkan bahwa mama masuk rumah sakit, ada alamar rumah sakit yang ia kirim. Membuatku tanpa pikir panjang langsung pergi.

* * *

*Author POV*

Kara tiba di tempat di mana semua orang menunggu hasil pemeriksaan Rianti. Pandangan Kara hanya tertuju pada sosok perempuan bernama Nani, orang yang ditugaskan menjaga Aliaya sekaligus yang paling tau tentang keadaan Rianti.

"Di mana Aya?"

Orang yang ditanya hanya melihat tanpa mengatakan apa-apa. Anggar yang mendekat langsung merangkul Kara.

"Dia sama oma, mereka lagi di kantin. Nggak usah khawatir soal Aya, sudah ada oma."

Tidak lama dokter keluar, Kara terkejut melihat siapa sosok dokter itu. Kinta, sepupu Anggar.

"Mama kamu bisa dipindahkan ke ruang perawatan, setelah itu baru bisa dijenguk." Kata gadis cantik itu.

"Bagaimana keadaannya dokter?" Tanya Hana mendekat yang diikuti oleh Ayu.

"Bisa dijenguk setelah dipindahkan ke ruang perawatan." Ulang Kinta.

"Saya tunggu kalian berdua di ruangan saya, dan tolong bawa hasil pemeriksaan terakhirnya."

Kinta meninggalkan tempat itu. Saat Rianti sudah akan dipindahkan, sudut mata Ayu masih sempat melihat Nani memberikan semuah map kepada Kara dan Anggar yang kemudian langsung pergi tanpa pamit kepada siapapun. Ayu sudah menaruh curiga, tapi baginya lebih penting untuk tetap menemani Rianti daripada mengurusi hal lain.

Sampai akhirnya azan zuhur berkumandang, para penjenguk Rianti bersiap-siap untuk ke mushala. Namun langkah mereka terhenti melihat Kara duduk di lantai membenamkan kepalanya pada kedua lututnya. Tidak ada yang berani mengganggu, melihat Kara tetap pada posisinya sesenggukan tapi sebisa mungkin menahan agar tidak bersuara.

Keadaan itu berubah setelah kedatangan Arham berhenti tepat di hadapan Kara. Membuat Kara segera berdiri dan menghapus air matanya.

"Kita shalat dulu ya, nanti gantian jagain mama." Ayu meninggalkan Kara yang baru saja tersadar bahwa ia sudah diperhatikan.

Bersama Arham, Kara memasuki ruang perawatan Rianti. Rianti sempat memperlihatkan senyumnya kepada kedua anaknya. Namun Arham terus memperhatikan Kara yang terlihat menahan dirinya.

"Ma, aku ke mushala dulu ya." Arham pamit.

Setelah kepergian Arham, Kara langsung berlari ke dalam pelukan Rianti. Menangis sejadi-jadinya pada orang yang yang Kara tak pernah bisa membayangkan bagaimana jadinya dirinya saat wanita itu meninggalkannya.

"Nia itu anak mama yang cengeng, tapi dia bukan orang yang pemarah. Kenapa sekarang anak mama jadi gampang marah sama semua orang. Termasuk sama bunda."

Kara masih saja diam dan menangis dalam pelukan Rianti.

"Mama tidak bisa sama-sama sama kamu terus, ada saatnya mama tidak di samping kamu. Tapi sebelum itu terjadi, mama mau kamu kembali menjadi Nia yang dulu. Yang tidak pernah marah-marah, yang sayang sama semua orang, yang penurut."

Kalimat Rianti tidak mendapat respon apapun dari Kara.

"Mama sayang sama kamu nak."

Kara semakin mempererat pelukannya pada Rianti.

"Apapun yang mama mau itu yang akan Nia lakuin ma, apapun itu. Nia sadar tidak boleh egois, bukan Nia aja yang anak mama, tapi juga ada kak Ayu sama kak Arham. Aku juga akan nurutin permintaan mama untuk mendengarkan apa yang mau papa jelaskan."

Rianti menatap wajah putrinya, melihat bagaimana luka tak berdarah anaknya yang tak kunjung sembuh itu berusaha kembali ia obati. Sesekali terbesit dalam benaknya tentang putri bungsunya yang belum tau apa-apa. Selama ini Aliya punya banyak pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Sampai Aliya akhirnya berhenti bertanya karena kasih sayangnya pada kakaknya. Akibat pertanyaannya tentang sosok papa satu tahun tahun lalu membuat Aliya diam. Hari itu Kara langsung masuk rumah sakit yang selalu Aliya fikir akibat dirinya selalu memaksa kakaknya menjawab pertanyaannya.

Tidak lama Anggar datang bersama Rita dan Aliya. Anggar langsung mendekati Kara dan mengusap rambut gadis yang masih berseragam putih abu-abu itu.

Tidak ada kalimat untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu. Tapi Anggar mengerti bahwa adiknya telah melakukan sesuatu yang besar. Hal yang tidak diungkapkannya namun mampu dipahami dari bagaimana adiknya menangis dan memeluk erat bidadari hebatnya.

* * *

PulangWhere stories live. Discover now