Kehilangan

117 4 0
                                    

Sampai semua air mata telah melemahkan seluruh anggota keluarga Haris, Kara masih terdiam di belakang sana memandangi Rianti yang telah terbaring kaku.

"Hanya tiga puluh menit setelah kalian pergi, mama juga pergi. Ternyata mama sudah berjanji untuk mendonorkan jantungnya. Jadi baru setelah operasi kami mengabari kalau mama sudah pergi ninggalin kita semua." Jelas Arham yang berusaha tegar di hadapan Kara yang masih terus diam memandangi Rianti.

Setelah lama tak menyentuh Rianti, akhirnya Kara mendekat dengan langkah pelan. Amanda yang tidak pernah meninggalkan Kara, hanya mampu menatap Kara pilu.

Kara duduk di samping Rianti, mencium Rianti untuk beberapa saat lalu akhirnya mengatakan hal-hal yang Kara rasa perlu ia sampaikan untuk ibunya yang telah terbaring.

"Terimakasih karena mama sudah tidak membiarkan Nia melihat mama pergi. Terimakasih sudah membuat Nia belajar hidup. Maaf, karena Nia, mama jadi tidak bisa melihat anak-anak mama tumbuh besar."

"Nia janji akan selalu jagain Aya."

Tidak lama Kara mambaringkan tubuhnya di samping jazad ibunya, memeluk tubuh yang dingin itu. Pemandangan itu tidak bisa ditahan oleh Anggar, dan akhirnya pergi menjauh dari orang-orang yang tengah berkabung.

"Ini Nia tidur di samping mama ya, terakhir kali sebelum mama ninggalin Nia."

* * *

Saat jazad Rianti mulai ditimbun tanah, barulah Kara menjatuhkan air matanya. Arham, Anggar dan Haris sendiri turun ke liang lahat untuk mengantarkan Rianti ke tempat terakhirnya. Ayu terus berusaha dikuatkan oleh Hana dan Musda. Rita tak melepaskan Aliya dari gendongannya. Sementara Amanda adalah banteng terakhir Kara agar tidak runtuh. Amanda tidak pernah sekalipun meninggalkan Kara, bahkan Amanda turut tidur di samping Kara saat gadis itu ingin tidur disamping Riati untuk terakhir kalinya.

Kara menjatuhkan tubuhnya tepat saat makam Rianti ditaburi bunga setelah di doakan. Barulah Kara jatuh dan memeluk nisan Rianti.

"Aku benar-benar kehilangan mama Manda, dia benar-benar pergi . . . ." Teriak Kara histeris.

Amanda hanya mampu untuk memeluk sahabatnya, tak mampu mengatakan apa-apa melihat sahabatnya benar-benar terpuruk di hadapannya.

Saat terpuruknya itu, Aliya mendekat dan mengelus kepala kakaknya terus menangis sesenggukan memeluk nisan ibunya.

"Kakak jangan nangis ya." Hanya satu kalimat itu yang kemudian mendiamkan Kara, membuatnya kembali berdiri dan mengambil langkah meninggalkan makam Rianti menuju kediaman Haris.

"Kita pulang ke rumah ya." Ajak Haris.

Kara diam menatap Haris tajam, tapi masih terlihat sorot mata itu masih ingin menumpahkan segala kesedihannya.

"Kita pulang ke rumah papa ya . . . ." Aliya datang dan langsung menggenggam tangan kakaknya erat.

Kara berjongkok, memandangi wajah adiknya yang sangat ia sayangi. Rasanya Aliya hampir menjadi satu-satunya alasan untuk Kara bertahan dengan baik.

"Kita kan bisa pulang ke rumah kita sendiri, atau kita bisa pergi jauh dari sini. Kita tidak harus pulang kan?"

"Aya tidak pernah tinggal sama papa, Aya juga pengen punya papa seperti orang-orang."

Yah, Kara akan menyerah sampai di situ. Saat Aliya bertahun-tahun menjadi adik yang baik, yang tidak pernah lagi bertanya soal ayahnya demi menjaga agar kakaknya baik-baik saja. Kini saatnya Kara yang menurut demi memperbaiki masa depan adiknya. Agar ia tidak pernah merasa dijauhkan dari orang tuanya.

Hanya beberapa detik saat Kara kembali berdiri, gadis itu akhirnya ambruk. Lelah dan juga tidak ada yang tau bahwa sejak menerima kenyataan buruk dalam hidupnya, Kara belum pernah menyentuh makanan ataupun minuman. Akhirnya Kara dibawa pulang ke rumah keluarga Haris Pradipta.

* * *

Kara terbangun dengan nuansa putih yang ada di sampingnya. Kara sedang ada di puskesmas. Ada seorang perawat yang berdiri dekat bangsalnya.

"Sus, adik saya mana?"

"Sudah pulang dek, tapi kamu harus tetap di sini sampai cairan infus kamu habis ya."

"Sus, mama saya baru meninggal, saya mau pulang."

Melihat ekspresi wajah Kara dan mungkin saja baginya untuk mengizinkan Kara pulang. Dengan sekali anggukan, suster kemudian melepaskan infus di tangan Kara. Anggar juga masuk untuk menjemput Kara.

"Aku antar ke rumah papa kamu ya."

Kara langsung mentap Anggar sinis, namun dengan sekali senyuman dari Anggar, Kara mengangguk pasrah.

"Jangan pernah hilang." Kalimat itu yang satu-satunya Anggar ucapkan sampai mereka tiba di kediaman Haris yang terlihat ramai untuk malam tahlilan.

Kara langsung saja berjalan masuk dengan sedikit bantuan dari Anggar. Melihat kedatangan Kara, Ayu lengsung membawa Kara menuju kamarnya.

"Nia ikut aku." Katanya sambil melepas pegangan Anggar pada Kara.

"Nanti malam abang ke sini lagi, kamu istirahat dulu." Anggar mengelus pelan kepala Kara lalu meninggalkannya.

Ayu membawa Kara menuju kamarnya dan membantunya untuk berbaring. Kara tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Ayu sebentar lalu menutup matanya.

Mama benar-benar meninggalkan aku sekarang. Batin Kara sebelum matanya benar-benar terlelap.

* * *

PulangWhere stories live. Discover now