Dia Aneh

100 5 0
                                    

"Aku minta tolong jangan tinggalkan dia sendirian di kamar ini, dia punya trauma kalau sendirian di kamar."

Kalimat itu sempat aku dengar dari kak Anggar, tapi membuka mataku rasanya sangat sulit. Tapi setelah sekian lama mencoba, akhirnya aku bisa membuka mataku. Yah walau tidak dapat melihat jelas, aku berhasil mengenali wajah kak Ayu yang berdiri di sampingku.

"Panggil mna Mba, biar dia yang di sini dan kakak bisa pergi."

Setelah kalimat yang susah paya aku usahakan untuk katakan, akhirnya aku kembali terlelap. Tanpa mimpi apapun, aku benar-benar tidak tau apa yang terjadi.

'Allahu Akbar.'

Akhirnya suara itu yang membangunkanku, suara imam masjid yang mengucapkan takbir. Kuperhatikan sekelilingku. Ini bukan tempatku, bukan kamarku dan di sampingku ada seorang wanita yang hampir menabrakku tempo hari.

"Syukurlah kamu sudah bangun." Dia memeganhi dahi dan leherku.

"Badan kamu sudah tidak sepanas tadi siang, sekarang lebih baik kamu duduk dan makan dulu." Pintanya.

"Tidak usah, saya mau pulang saja."

"Jangan pulang sekarang, kata Arham kamu tinggal sendirian. Lebih baik kamu di sini sampai benar-benar sembuh." Pintanya lagi.

Saat aku mencoba bangun, pandanganku langsung berkunang-kunang. Sepertinya aku masih harus di tempat tidur dulu. Aku menurutinya, perempuan ini sepertinya akan banyak bicara saat aku menolaknya.

Aku tidak benar-benar tertidur, hanya beristirahat sambil menutup mataku. Aku baru membuka mataku mataku kembali setelah terdengar suara pintu yang dibuka. Aku melihat kak Ayu dan kak Arham yang datang. Aku bangun dan duduk bersandar.

"Sudah baikan kamu?" Tanya kak Ayu.

Aku menganggukinya. Dia lalu menyondorkan kantongan putih untukku. Saat membukanya, aku memeriksa ada apa saja di dalam kantong itu.

"Itu obat dan susu dari Anggar, katanya kamu harus minum itu."

"Dan ini?" Tanyaku mengangkat sebuah kotak susu ibu hamil.

"Oh itu bukan, itu sisa belanjaanku." Katanya.

"Sini, biar aku yang bawa. Bun ayo, lebih baik sekarang bunda istirahat." Ajak kak Arham.

Oh, jadi wanita itu sedang hamil. Sepertinya keluarga ini sudah benar-benar bahagia, dan aku tidak akan mengganggunya lagi. Aku tidak punya hubungan lagi dengan keluarga ini, yah selain nama belakangku. Tapi tidak ada yang tau juga, karena aku sengaja menyingkatnya atau sebisa mungkin menghilangkannya.

"Yaudah, kamu istirahat aja. Aku mau siap-siap dulu mau ke nikahan orang tuanya Rafif." Kata kak Ayu berjalan menuju lemarinya.

Aku baru ingat tentang hari ini.

"Kamu tiduran aja dulu, biar aku yang bilang ke mereka kalau kamu lagi sakit. Aku yakin mereka ngerti, apalagi kalau aku bilang kamu ada di sini." Kata kak Ayu lagi, sepertinya paham kalau aku baru ingat tentang hari itu.

* * *

*Author POV*

Menjelang magrib, tiba-tiba Kara gelisah. Sementara di kamar tempatnya tidur ia sudah sendirian. Ayu sudah pergi saat dijemput Anggar.

Kara mengigau berteriak meminta tolong. Mungkin karena sudah lama mengigau sampai terdengar keluar, makanya Arham memasuki kamar itu.

"Hei bangun, bangun, hei, bangun, bangun." Arham menepuk nepuk pipi Kara untuk membangunkannya.

Semakin lama, Kara terlihat seperti sangat ketakutan.

"Ayaaaaaaaaaaaah.........."

Teriakan itu besambung ke dunia nyata Kara. Ia terbangun dengan peluh yang mengalir di wajahnya yang ketakutan.

"Hei, kamu kenapa? Mimpi buruk?" Tanya Arham.

Kara tidak menjawab, tapi menerima segelas air yang diberikan oleh Arham.

"Kak, minta tolong antar aku pulang ya." Pinta Kara.

"Kamu di sini dulu sampai kamu sembuh."

"Tidak usah kak, aku mau pulang saja."

"Tidak sampai kamu sembuh!" Arham berdiri untuk meninggalkan Kara.

"Apa saja yang kak Arham tau? Apa yang sudah diceritakan oleh kak Anggar?" Tanya Kara.

"Sesuatu? Sesuatu apa? Saya bahkan belum lama mengenal dia." Jawab Arham.

"Nggak usah bohong, aku tau kalau kak Anggar sudah menceritakan sesuatu . . . ."

Tuduhan Kara berhenti saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Arham yang melihat kontak bertuliskan 'mama' yang tertera di layar ponsel Kara langsung meraih ponsel tersebut dan menjawab panggilannya.

"Halo selamat sore, saya Arham, kakak dari pacar anak ibu yang bernama Anggar. Saya ingin menyampaikan kalau saat ini Kara adiknya Anggar sedang ada di rumah saya. Semalam dia demam, jadi saya membawanya ke rumah saya untuk dirawat di rumah saya. Ibu tidak perlu khawatir, karena anak ibu sudah baik-baik saja. Saya tidak meminta izin untuk membuat anak ibu menginap di rumah saya, tapi saya hanya menyampaikan kalau sampai anak ibu sembuh, dia akan tetap berada di rumah saya."

"Baik bu, tidak masalah, sama-sama. Selamat sore." Arham mengakhiri panggilan telfon tersebut.

Arham kembali meletakkan ponsel Kara.

"Jadi sampai kamu sembuh, kamu akan tetap di sini. Sesuai pembicaraan saya tadi, orang tua kamu sudah tau hal itu." Ucap Arham.

"Tentang Anggar, begini saya mendidiknya. Seorang laki-laki yang membiarkan adiknya di rumahnya sendirian dalam keadaan sakit, sementara dia pulang ke rumah neneknya tidak bisa menjaga adik saya. Jadi dengan kamu di sini, sebagai cara agar dia bisa memperlakukan adik saya dengan baik. Sampai dia bisa memperlakukan kamu dengan baik, baru akan saya biarkan Ayu tetap bersama dia."

* * *

*Kara POV*

Awalnya aku yakin kak Anggar telah menceritakan sesuatu pada kak Arham. Mengingat kak Arham yang sangat menginginkan aku mengakui keluarga Haris. Tapi setelah pembicaraannya dengan mama, aku percaya kalau yang dia lakukan hanya untuk kak Anggar. Kak Arham tidak mungkin bicara memaksa begitu kalau tau orang itu adalah mama.

Saat jam makan malam, kak Arham datang kembali menanyakan apakah aku bisa turun dan makan di meja makan, atau perlu di antarkan makanan.

"Aku turun aja kak."

"Turun sekarang." Katanya lalu meninggalkanku.

Di meja makan aku melihat hanya ada kak Arham. Saat aku duduk, nyonya Hana datang dari arah dapur.

Dia duduk di hadapan kami.

"Kamu sudah baikan?" Tanyanya.

"Sudah. Jawabku singkat.

Dia mengambilkan nasi untukku.

"Bun, malam ini Kara nginap di sini dulu ya."

"Iya. Oh iya nak, kamu di sini tinggal sama siapa?"

"Sendiri tan."

"Oh, orang tua kamu dimana."

"Di Jakarta."

"Kalau begitu, kamu sering-sering aja nginap di sini. Biar Ayu, ada temannya."

Pembicaraan kami berhenti sampai di situ. Saat makan malamku hampir habis, baru aku mendengar suara kak Arham.

"Nangis lagi bun?" tanyanya.

Tidak ada jawaban dari nyonya Hana.

* * *

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang