Senyum Pertama

104 3 0
                                    

Tujuh hari sudah kepergian Rianti. Selama itu pula Kara tetap tinggal di rumah keluarganya, keluarga Haris Pradipta. Tidak ada senyum, tidak ada tawa dan tidak ada komunikasi yang berarti yang terjalin antara Kara dengan anggota keluarganya yang lain. Hanya Anggar dan Aliya yang bisa bicara dengan Kara. Sesekali Arham juga mendapat tanggapan dari Kara. Sisanya, mereka seperti orang asing yang tinggal serumah.

"Nia, setelah kakak-kakak dan papa kamu pulang, kita akan ke makam mama kamu. Kamu siap-siap ya." Pinta Hana saat menemui Kara di balkon.

Kara berbalik sebentar, dengan raut wajah datar ia kembali mengalihkan pandangannya. Hana tau bahwa pasti Kara akan siap, tapi ia terus mencoba membicarakan hal yang sudah ia ketahui dengan harapan agar mendapat respon yang lebih dari sekedar tatapan dingin.

Berbeda dengan Ayu dan Arham, Kara belum menginjakkan kakinya di sekolah. Ia masih berduka, bahkan beberapa orang sudah sering menemukan Kara menangis sesenggukan sendirian. Seakan satu-satunya alasan kenapa gadis itu tidak runtuh adalah Aliya.

* * *

Tidak seperti enam hari sebelumnya, hari ini Anggar di siang hari. Masih dengan seragam sekolahnya, dan datang menggunakan taksi.

Setelah Haris tiba di rumah, seluruh anggota keluarga Haris Pradipta berangkat menuju makam Rianti. Anggar juga termasuk dalam rombongan terebut.

Tidak hanya mereka yang ada di makam Rianti. Rafif, Amanda, Afkar dan Musda rupanya sudah menunggu kedatangan keluarga besar Haris Pradipta. Namun ada hal yang menarik perhatian Kara. Rafif menggunakan kursi roda. Namun hal itu baru berani ia tanyakan setelah acara do'a di makam Rianti usai.

"Aku lagi kasih kesempatan sama sahabat kamu buat mengabdi sama kakaknya." Jawab Rafif pada Kara sambil cengengesan.

"Ih, serius aku nanya nya. Kak Rafif mah gitu." Nada bicara Kara sudah menunjukkan kalau dia sudah mulai pulih dari kesedihannya.

"Manda, kak Rafif kenapa?"

"Enggak kok, udah nggak apa-apa. Kemarin habis operasi aja, ini udah mau pulang. Tapi karena tau kalian mau ke sini, makanya aku anter ketemu kamu dulu. Kangen katanya." Ucap Amanda sambilmendorong kursi roda Rafif menjaui area pemakaman.

Dan spontan ada senyum yang terukir di bibir Kara, senyum yang menghilang beberapa hari ini.

"Stella, aku minta maaf sama kamu . . . ." Amanda berhenti mendorong kursi roda Rafif karena mereka sudah tiba di tempat mereka semua memarkir kendaraan.

"Aku minta maaf untuk semua salah yang sudah aku lakukan sama kamu, termasuk sudah meninggalkan kamu tempo hari. Harusnya aku tidak melakukan hal bodoh itu, harusnya aku tau kalau itu akan sangat menyakiti kamu."

"Udahlah kak, udah lewat juga. Aku tidak pernah tau apa alasan kakak pergi hari itu, tapi sekarang kakak kan sudah ada di sini."

~ Kara POV~

"Udahlah kak, udah lewat juga. Aku tidak pernah tau apa alasan kakak pergi hari itu, tapi sekarang kakak kan sudah ada di sini."

Diam, sunyi, sepi. Ah, aku lupa kalau kami sudah tidak ada lagi. Aku dan kak Rafif sudah usai.

"Oh iya, jadi bagaimana keadaan kakak sekarang, kapan kak Rafif masuk sekolah lagi?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Senin kayaknya, pas pengumuman olimpiade keluar. Kamu kapan sekolah lagi, Amanda bilang kamu belum pernah ke sekolah."

"Sama kak, senin juga."

Sebelum kami sama-sama meninggalkan TPU, kak Rafif masih sempat menumbuhkan harapan untuk aku dan dia kembali.

"Kesalahan yang aku lakukan ke kamu tidak akan aku ulangi lagi. Masih terlalu cepat untuk kita bicara hal yang terlalu jauh. Baik aku atau kamu, kita sama-sama butuh waktu dan sampai waktu itu tiba, tidak ada yang akan berubah." Kata kak Anggar tersenyum.

Kak Rafif sudah sabar sama sikapku yang kadang tidak bisa ditebak, mungkin itulah alasan kenapa aku masih punya harapan kak Rafif akan terus sabar sama aku.

"Abang mau langsung pulang?" Tanyaku pada kak Anggar yang tidak ikut naik ke mobil.

"Iya deh kayaknya, udah sore juga. Kamu pulang gih, istirahat, jagain Aya."

"Ih abang, kebalik. Harusnya abang bilang, Aya, jagain kak Nia ya." Aliya dengan cepat menimpali kalimat kak Anggar.

Aku sempat melihat papa dan bunda tersenyum melihat tingkah Aliya. Hanya kak Ayu yang sepertinya enggan kami bicaralebih lama. Karena hanya kak Ayu yang mengalihkan pandangannya dari kami.

* * *

PulangWhere stories live. Discover now