Yang Paling Menyayangi

95 4 0
                                    

"Aya, kita jalan-jalan keluar yuk." Ajak Kara.

Gadis kecil yang penurut itu mengikuti langkah sang kakak. Tidak pernah sekalipun Aliya melawan atau menolak keinginan kakaknya. Walau dalam beberapa kesempatan Aliya sering mengadu diusili kakaknya, namun tak ada yang serius. Gadis sekecil Aliya sudah begitu memahai kakaknya. Sehingga tidak jarang Anggar menyebut Kara sebagai bungsu dari adiknya sendiri.

"Kita mau kemana kak?" Tanya Aliya berjalan tak melepaskan jari Kara dari genggamannya.

"Kenapa Aya tidak pernah lagi tanya-tanya soal papa?"

Pertanyaan Kara membuat Aliya terdiam dan hanya mengikuti langkah orang yang digenggam jarinya. Kara yang menyangka dirinya hanya berdua mengajak Aliya ke taman rumah sakit untuk membicarakan hal penting.

"Kok Aya nggak jawab pertanyaan kakak?"

"Kakak selalu bilang kalau papa lagi jalan-jalan, jadi buat apa aku tanya lagi?"

Kara menuntun adiknya duduk di sampingnya.

"Aya mau nggak ketemu papa?"

Kara mencoba menatap wajah adiknya, memperhatikan matanya yang berbinar, namun dengan senyum yang terkesan dipaksakan, Aliya langsung menggelengkan kepalanya.

"Mama pernah cerita kalau Aya punya dua kakak lagi yang ikut sama papa, katanya sama papa juga ada bunda yang sayang banget sama kakak. Aya yakin mereka semua bisa jagain papa, biar Aya sama kakak aja."

Kalimat Aliya membuat kara terdiam.

"Aya tau nggak kalau om Haris itu papa?"

Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut seorang Kara. Hal yang tidak pernah ingin gadis itu ungkap hari ini turunkan egonya demi adiknya dan demi melihat kebahagiaan ibunya.

Aliya yang mendengar pernyataan Kara hanya menatap Kara tanpa mengatakan apa-apa.

"Kok Aya nggak seneng sih?"

"Aya cuma seneng kalau kakak mau janji sama Aya kalau kakak nggak akan sakit lagi. Kakak sama-sama Aya terus, terus kakak nggak pernah nangis lagi. Baru Aya senang."

"Kakak, Aya itu sayang banget sama kakak. Aya mau terimakasih sama kakak karena kakak udah kerja cape-cape buat Aya, kakak cari uang suapaya ibu bisa berobat, kakak cari uang buat Aya beli mainan sama kue. Papa pasti sayang sama Aya, tapi Aya lebih mau jagain kakak."

Tidak ada yang menyangka bahwa sosok sekecil begitu melihat perjuangan Kara untuk menghidupinya. Saat dulu pertanyaannya selalu tentang papa, hari ini semua berubah ketika ia melihat sosok kakak perempuannya yang bahkan rela ke sana kemari untuk menghidupinya. Mungkin Aliya akan selalu membutuhkan sosok papa yang tidak pernah ia dapatkan, tapi ia lebih menghawatirkan kakaknya yang lambat laun ia sadari kalau saat ini kakaknya juga dalam keadaan yang sedang tidak baik-baik saja.

Aliya berlari ke dalam pelukan Kara, menyandarkan kepalanya di bahu Kara sampai gadis kecil itu tertidur dalam gendongan kakaknya.

"Nyatanya seegois apapun kamu, Aliya tetap memilih kamu dengan melihat bagaimana kamu berjuang untuk dirinya. Bahkan sekarang aku bisa yakin kalau semua orang sedang berlomba menjadi siapa yang paling menyayangi kamu. Karena mereka semua tau, kamu tidak sekasar yang sering kamu perlihatkan, kamu hanya marah, sampai kamu lupa, hati kamu tidak sekasar apa yang aku dan Amada tau."

Anggar berjalan mendekati Kara, merangkul sosok itu agar tak jatuh.

"Semua orang sayang sama kamu, sisanya, kamu yang harus kembali seperti Nia yang dulu. Bahkan Amanda perlu mengenal sosok kamu yang ini."

"Kita ke tempat mama yuk, kasian Aya kalau harus tidur seperti ini." Kara berjalan diikuti Anggar di belakangnya.

Tiba di kamar perawatan Rianti, Aliya sudah hendak diambil alih oleh Hana karena Kara yang terlihat kerepotan. Namun Aliya hanya terbangun sebentar melihat wajah yang akan menggendongnya lalu kembali bersandar pada bahu kara sambil memeluk leher kakaknya tak mau lepas.

"Nia, kamu pulang aja ya. Kamu makan di rumah setelah itu istirahat. Kamu nggak usah jenguk mama di sini, besok juga mama bisa pulang kok."

"Han, kamu juga pulang aja, tolong jaga Nia ya. Kasihan nanti kalau kamu juga sakit. Tidak ada yang bisa merawat dan menjaga Nia lebih dari kamu."

Akhirnya yang tinggal menemani Rianti hanya Arham dan Ayu. Sementara Anggar juga harus pulang mengantar omanya. Satu hal yang Nampak jelas, selain Kara dan Ayu yang tidak saling bertegur sapa, hubungan Anggar dan Ayu pun sepertinya berakhir tanpa pembicaraan. Ayu sudah terlanjur kecewa karena ternyata Anggar turut menyembunyikan keberadaan Rianti.

* * *

Meski diantar oleh Haris, Kara tidak pulang ke rumah Haris, melainkan pulang ke rumah tempat Rianti pertama kali tiba. Hana yang juga ikut dengan rombongan itu ikut bersama Kara. Rencana wanita itu akan menemani Kara. Selain untuk memenuhi permintaan Rianti, semua itu terjadi semata-mata karena sejak Kara kecil, Hana lah yang menjadi bundanya.

"Han, kalian maka bertiga saja ya. Aku masih mau ke kantor dulu, setelah itu aku akan langsung ke rumah sakit." Pamit Hari sambil memberikan kantongan yang berisi makan siang.

"Ya sudah, kamu hati-hati ya."

"Kamu juga, jangan sampe kamu kecapean, kamu juga harus banyak istirahat."

Hana berjalan menyusul Kara dan Aliya. Hana langsung berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan siang mereka, sementara Kara duduk di ruang tamu meregangkan tubuhnya yang kelelahan. Tidak lama Aliya kembali membawa segelas air yang ia letakkan di hadapan Kara.

"Ini . . . ." Aliya menyodorkan beberapa butir obat di telapak tangannya pada Kara.

Kara langsung memakan obat dari tangan Aliya.

"Kalian makan siang dulu ya, bunda sudah siapkan di meja makan." Hana datang mendekati Aliya dan Kara.

Kara dan Aliya langsung berdiri. Namun Aliya berjalan lebih dulu menuju meja makan.

"Makasih bunda . . . ." Ucapkan meninggalkan Aliya berlari menuju meja makan.

Sementara Kara berjalan di belakang Hana tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Usai makan siang, asisten rumah tangga membersihkan meja makan.

"Kamu ganti baju dulu, setelah itu kamu istirahat, bunda akan menemani kamu." Ucap Hana.

Sementara Aliya sudah berjalan sendiri menuju kamarnya.

"Anda juga istirahat, mama saya berpesan agar anda tidak sampai sakit." Ucap Kara berjalan menuju kamarnya yang diikuti oleh Hana.

* * *

PulangWhere stories live. Discover now