Pulang Tengah Malam

101 2 0
                                    

Setelah tiga hari tidak sadarkan diri, akhirnya di hari ke empat Rianti sadar. Sebuah kabar yang sangat menggembirakan manakala hari itu Kara sudah sangat-sangat menghawatirkan keadaannya. Hanya bicara pada Anggar dan omanya, sisanya hanya Amanda. Selain mereka, Kara tidak pernah bicara dengan siapapun.

"Mama sudah sadar, setelah dipindahkan ke ruang perawatannya kamu bisa langsung ketemu sama mama." Ucap Anggar mendekati Kara.

Sontak Kara langsung tersenyum.

Tanpa ba-bi-bu, Kara langsung memeluk Anggar sebelum kakaknya itu pergi.

"Bagaimana keadaan mama?" Tanya Ayu.

"Mama sudah sadar kak."

Hanya sepersekian detik setelah kalimat itu selesai, air mata Kara meleleh. Mendengar kabar itu, semua akhirnya tersenyum dan akhirnya Ayu memeluk Kara.

"Mama pasti baik-baik aja . . . ." Ucapnya dijawab anggukan dari Kara.

Mereka semua masuk ke ruang perawan Rianti. Mereka semua terharu mendapati Rianti sudah tersenyum. Wajahnya yang terlihat segar setelah tidur pajang. Kara langsung mendekat dan memeluk Rianti. Haris dan Hana membeli kesempatan pada Ayu dan Kara untuk mengobrol lebih dulu dengan Rianti.

"Bagaimana keadaan kalian berdua?" tanya Rianti.

"Apanya yang gimana sih ma, harusnya aku yang tanya bagaimana keadaan mama sekarang?" Ayu langsung sewot.

Rianti tersenyum, namun perhatiannya kali ini ia tujukan pada Kara yang duduk berhadapan dengan Ayu.

"Nia sudah janjikan sama mama kalau Nia akan jadi anak baik, tidak suka marah-marah dan kembali jadi anak penurut seperti dulu." Ucapnya meraih tangan Kara.

Kara mengangguk, tapi air matanya langsung meleleh. Meski sudah ia hapus, air matanya seakan tidak mau berhenti, "Nia sudah penuhi janji Nia, sekarang giliran mama."

Rianti kembali tersenyum.

"Kita pulang ya ke rumah papa . . . ."

Kali ini kalimat Rianti langsung membuat Kara tertegun. Itu sudah lama sekali, ia pernah kembali tapi tidak ada yang sama di rumah itu.

"Mama tau kamu masih marah, tapi bagaimana dengan Aya dan bunda. Aya belum pernah tinggal sama papa. Dan bunda? Mama tau kamu kangen banget sama bunda. Kamu jadi pemarah, kamu tidak pernah melepaskan siapapun yang sudah menyakiti kamu. Tapi kamu belum pernah marah sama bunda, walaupun kamu bilang kalau kamu marah. Kamu juga kangenkan sama bunda . . . ."

Untuk beberapa saat mereka terdiam, sampai akhirnya Kara kembali membuka suara yang langsung dijawab oleh Anggar yang ternyata sudah kembali.

"Ma, kalau ayah tidak menolong aku pasti ayah masih hidup kan sampai sekarang kan ma?"

"Ayah meninggal karena dia menyelamatkan anaknya, semua orang tua pasti melakukan itu. Dan ayah selalu melakukan itu untuk abang, kamu dan Aya. Tapi daripada dirinya sendiri, ayah lebih percaya aku untuk jagain kamu sama Aya."

Kara tersenyum dan Anggar langsung menepuk pundak Kara, "terimakasih abang tidak pernah marah sama Nia. Walaupun Nia bukan anak baik." Kara mendahului Anggar bicara.

"Nia, kamu pulang ya. Mama juga sudah mau pulang. Kita ketemu di rumah papa ya."

Permintaan Rianti langsung dikabulkan dengan berat hati oleh Kara.

"Abang anterin kamu ya." Anggar langsung memutuskan.

"Han, kamu juga pulang ya sama Ayu. Kalian istirahat di rumah, nanti malam aku juga pulang."

Dengan berat hati mereka semua pulang dan meninggalkan rumah sakit dan diantar oleh Anggar.

"Abang, aku mau ketemu Aya."

"Kita pulang ke rumah papa kamu dulu, habis itu aku jemput Aya buat kamu."

Setelah tiba di kediaman Haris, Anggar langsung pergi untuk menjemput Aliya. Lagi-lagi hanya Hana tempatnya pamit, karena Ayu sama sekali tidak peduli lagi padanya.

"Hati-hati ya." Kara menyaksikan mobil Anggar meninggalkan pekarangan rumah Haris.

Kara tak kunjung bergerak dari tempatnya sampai Hana yang membawanya masuk ke dalam rumah itu. Kara berhenti di ruang tamu, sementara Ayu sudah menghilang entah kemana. Hana sedang berada di dapur, menyiapkan makan siang atau mungkin akan menjadi makan malam untuk Ayu dan Kara.

Kara duduk sambil memainkan ponselnya, sampai tidak sadar ia tertidur dan baru bangun saat Hana memanggilnya untuk makan siang.

"Kamu makan dulu, nanti kamu lanjut tidur di kamar kamu."

Kara mengangguk, mereka bertiga makan dalam dia. Sepeninggal Hana dan Ayu, Kara kembali ke dapur membawa tas kecilnya. Mengambil botol obatnya lalu mengambil beberapa butir obat di dalamnya.

"Itu obat apa?" Tanya Hana yang ternyata melihat Kara meminum obatnya.

Kara meletakkan kembali obatnya tanpa menjawab pertanyaan Hana.

"Kamu sakit apa?" Tanya Hana.

Kara masih tidak menjawab. Tapi lebih memilih melangkah meninggalkan dapur.

Akhirnya dengan terpaksa Hana mencekal tangan Kara, "jawab bunda, kamu sakit apa?"

"Jangan khawatir, saya akan baik-baik saja, saya hanya butuh istirahat," Jawab Kara lalu pergi.

Kara tidak tidur di kamarnya, saat Ayu sudah tertidur Kara ikut tidur di sampingnya. Sama seperti ketika Kara dalam keadaan sakit dibawa kembali ke rumah itu dan tidak ada yang menyadarinya.

* * *

Kara terbangun saat menemukan seseorang memeluknya sesenggukan. Kara terbangun, melihat jam dinding di kamar Ayu yang ternyata sudah menunjukkan pukul delapan malam.

"Manda, kamu kenapa?" Tanya Kara.

Bukannya menjawab pertanyaan Kara, Amanda semakin keras menangis dan memeluk Kara. Membuat Kara bangkit dari tempat tidurnya.

"Manda, apa?"

Melihat Amanda hanya terus menatap Kara dengan aliran air di matanya.

"Mamaku kenapa?"

Tak butuh beberapa detik sampai Kara berdiri dan keluar dari kamarnya menuju ruang tamu. Kara langsung disambut oleh Aliya yang meminta digendong. Aliya menyandarkan keplanya di bahu Kara.

"Kita nggak boleh nangis kan kak."

Kara menggelengkan kepalanya, berusaha setenang mungkin. Ia tau kemungkinan terburuk sudah terjadi. Dilihatnya Rita, Hana dan Ayu sudah menangis.

"Mama nggak nepatin janjinya yah sama kakak?" Tanya Kara yang membuat Aliya langsung memeluk erat Kara.

Selepas itu, Kara tidak mengatakan apa-apa lagi. Semua yang terjadi dihadapannya terjadi begitu saja, tanpa sedikitpun Kara mengatakan apa-apa. Sampai jenazah Rianti tibah di kediaman Haris. Kara tetap bungkam, bahkan sampai Rianti sudah dibaringkan di hadapannya disertai tangis oleh anggota keluarganya Kara masih tetap tidak bicara.

* * *

PulangWhere stories live. Discover now