Kisah di balik Cerita

107 4 0
                                    

*Kara POV*

Saat aku berjalan bersama kak Ayu, kak Anggar mencegatku di pintu masuk.

"Ada hal yang penting untuk aku bicarakan sama kamu." Katanya padaku yang dihadiahi tatapan penasaran dariku dan kak Ayu.

"Kenapa?"

"Yu, kamu masuk duluan aja. Nanti aku sama Kara nyusul."

Kak Ayu meninggalkan kami. Baru melangkah masuk, kak Anggar langsung menarikku menjauh. Kak Anggar berhenti menarikku saat kami sudah di luar bangunan, entah ada apa dia mengajakku menjauh sampai sejauh ini. Hal apa yang ingin ia bicaraan denganku.

"Yang tadi itu Haris Pradipta papa kamu kan?"

Pertanyaan yang aku yakin dia juga tau jawabannya.

"Kara, dia itu papa kamu, suami mama kamu. Yang berdiri sama kamu tadi adalah keluarga kamu, kalian berdiri seperti apa yang mama kamu inginkan!"

Oke, itu pernyataan yang benar. Keluarga? Haha, Dia sedang bercanda.

"Tidak bisakah kamu jujur tentang siapa kamu di hadapan mereka? Apa kamu sepengecut itu, sampai diam-diam harus balas dendam kepada mereka?"

Langsung gas, aku tidak ingin marah. Tapi dia menyalahkanku, tentu aku tidak akan terima itu. Tapi dia kakakku, aku harus lebih sopan padanya.

"Orang tadi benar bapak Haris Pradipta, bersama anak kembarnya. Tapi perlu abang tau, bersama mereka juga ada nyonya Hana Sasmita, istri dari bapak Haris Pradipta."

"Keluarga yang mama inginkan adalah keluarga sempurna. Tapi mama tidak pernah membayangkan keluarga bahagiaku berisi perempuan bernama Hana Sasmita. Jadi haruskah aku menerima mereka sebagai keluargaku? Mereka berempat, orang-orang yang sudah membuang paksa aku dan mama, memaksa kami berjuang berdua yang kita sama-sama tau mama tidak dalam keadaan yang baik-baik saja." Lanjutku.

"Tapi apa iya kamu juga harus melampiaskan kemarahan kamu sama kakak kamu, aku yakin dia tidak sebersalah itu."

Dia melakukan pembelaan, aku tau dia menyukai putri bapak Haris Pradipta.

"Mereka, tanpa terkecuali telah melukai aku dan mama. Mereka yang paling bahagia, saat mama hancur. Mungkin aku masih bisa memaafkan mereka, tapi tidak bisa memaafkan orang-orang yang sudah melukai mama. Aku sendiri yang melihat bagaimana mereka tertawa bahagia saat aku pulang ke rumah. Mereka begitu bahagia, tapi mamaku yang menangis."

"Oke, mama kamu bilang harus mendengarkan sesuatu yang seharusnya kamu dengar. Bukan apa yang mau kamu dengar. Tapi kenapa kamu tidak mau menuruti apa yang mama kamu mau."

"Aku tidak mau, karena apa yang Haris Pradipta akan jelaskan tidak bisa merubah keadaanku."

"Tapi dia papa kamu!" bentak kak Anggar.

Untuk pertama kalinya aku menerima bentakan darinya.

"Kemana dia saat aku hampir mati? Satu hal yang mau aku tegaskan, memang seharusnya dia papa ku, tapi aku tidak akan pernah menerima untuk apa yang sudah dia lakukan ke aku dan mama. Jadi Haris Pradipta bukan papa ku dan aku hanya punya mamaku. Rianti Gassing satu-satunya orang tuaku, dan hanya dia yang aku miliki!"

Seharusnya kak Anggar paham bagaimana waktu yang harus aku lalu bersama mama. Tiba-tiba dia memintaku menyebut Haris Pradipta sebagai papaku, aku rasa bahkan aku hanya punya mama ku sekarang. Karena seorang Anggar Hilman juga mulai menghianatiku.

"Sekarang aku merasa hanya memiliki mamaku, bahkan kamu yang kuanggap kakakkupun sepertinya juga mencoba menghianatiku."

Aku tidak ingin lagi bicara dengan kak Aggar. Aku tinggalkan dia untuk apa yng masih ingin dia bicarakan padaku. Bagaimanapun setelah ini, aku bekerja keras, bekerja sendiri demi membawa mama beroba ke China. Aku yakin tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Di sinilah baktiku sebagai anak.

Aku berjalan menuju ruang ramaha tamah, sepertinya aku tidak ingin lama-lama di sini. Aku butuh istirahat. Rasanya tubuhku sudah sangat lelah.

"Dari mana aja kamu?" Sambut kak Ayu saat aku baru saja bergabung.

"Habis dari luar kak, tunggu aja. Bentar lagi kak Anggar juga datang." Jawabku seakan tau siapa yang sebenarnya kak Ayu tunggu.

Tidak lama berdiri, ada orang yang menghampiriku. Gadis yang malam itu sudah menuduhku.

"Harusnya gue mikir kenapa lo bisa sekarab itu sama orang-orang di sini, tapi jangan berfikir kalo lo udah menang dari gue. Lo yang mulai perang dan gue yang akan menyudahinya dengan kemenangan." Katanya lalu pergi.

Gadis aneh, mungkin harus kusebut gila.

Setelah satu jam, aku yakin tubuhku sudah harus mendapatkan jatah istirahatnya.

"Mba Maya, mba Anggi, saya balik ke kamar saya ya." Pamitku.

"Iya silahkan, terimakasih sudah datang ke sini."

Aku mengangguk, lalu berjalan meninggalkan keduanya. Saat berjalan menuju pintu keluar, aku meihat kak Anggar mendekat.

"Mau kemana kamu?" Tanyanya.

"Ke kamar istirahat, aku cape." Jawabku langsung meninggalkannya.

Belum beberapa langka, kak Ayu kembali menghentikan langkahku.

"Kamu mau kemana lagi?" Tanyanya.

"Aku mau ke kamar kak, aku udah cape." Jawabku langsung pergi.

Aku ke kamar dan langsung mengganti pakaianku untuk tidur. Tapi lagi-lagi aku menemui kak Ayu.

"Kakak ngapain di sini?" tanyaku.

"Aku juga udah cape, mending aku tidur kan. Lagian ini sudah jam sebelas, sudah pemberesan di bawah.

Aku tidak tau kapan kak Ayu tidur, karena setelah aku membaringkan tubuhku aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi.

* * *

Aku pulang bersama kak Anggar. Tapi tidak tau ada apa sampai kak Arham dan dan kak Ayu ikut bersama kami.

Kak Anggar duduk di kursi kemudi dan kak Arham duduk di sampingnya, sementara aku duduk di tengah bersama kak Ayu.

"Kara, kamu sakit?" Tegur kak Arham.

"Capek aja, lagian ini kan juga dingin." Jawabku lalu menyandarkan tubuhku.

Saat itu kepalaku terasa pusing. Aku ingin tidur saja. Butuh waktu dua jam lebih untuk tiba rumah, itupun jika tidak terjebak macet. Dan aku yakin, akan butuh waktu yang lebih untuk aku tiba di rumah.

"Yu, kamu tunggu di sini ya. Kayaknya di dalam ada yang ketinggalan." Kak Arham lalu keluar dari mobil yang kemudian disusul oleh kak Anggar.

Aku tidak tau kapan mereka berdua kembali. Saat aku membuka mataku kami sudah ada di tengah kemacetan. Saat kulihat jam tangaku, aku lihat memang kami sudah melalui perjalanan selama dua jam lebih. Aku memilih kembali tidur, karena rasanya kepalaku semakin terasa berat. Selama perjalanan, aku tidak ingat apa yang sudah tiga orang itu bicarakan. Aku seperti teler sendiri, tidak tau apa-apa selama dalam perjalanan pulang.

PulangWhere stories live. Discover now