Chapter 01. Hiro Sakaki

843 43 84
                                    

"Mendingan aku nonton anime saja,"

Mungkin itulah yang terbesit dalam pikiran Hiro Sakaki. Seorang laki-laki berumur 16 tahun yang masih bangku SMA. Dia berjalan menuju sekolah tanpa ada semangat. Hiro menyesali keputusan mengikuti saran kakeknya. Pasalnya, dirinya tidak mau bersekolah. Hiro kepingin nonton anime, tokusatsu dan hal-hal berbau otaku. Bahkan kerabatnya sendiri sudah angkat tangan karena tidak kunjung berubah.

Teman-teman dan guru-guru enggan berbincang dengan Hiro. Dia tidak pernah mendengarkan ucapan mereka sama sekali. Seakan-akan di dalam pikirannya, dipenuhi dengan anime. Para perempuan juga tidak mau mendekatinya. Semua orang menatap Hiro penuh jijik. Tapi dia tidak mempedulikan hal itu. Mereka hanya ikut-ikutan dikarenakan tidak memiliki sesuatu yang digosipkan. Akibatnya, dirinya menjadi bahan gossip. Terus begitu setiap harinya. Karena itulah Hiro tidak mau sekolah.

"Kalau bukan karena kakek, sudah pasti aku menonton lanjutan anime yang tertinggal tadi malam," gumamnya.

Dia tidak pernah lepas menatap jendela sekolah. Burung-burung berkicau, menghinggapi pepohonan. Kedua mulutnya mengatup, telapak tangannya ditekuk memegang pipinya. Di dalam pikirannya, terbayang sebuah pemandangan yang begitu indah dan menyejukkan.

Banyak Pepohonan bergoyang mengikuti irama. Disusul bunga dan dedaunan. Hewan-hewan seperti kupu-kupu menghinggap di bunga, mengambil serbuk sari.

Hiro mencium bunga ketika kupu-kupu sudah mulai pergi. Rusa, kijang dan hewan lainnya mengerubunginya. Mengelus lengan Hiro, menandakan meminta makanan. Hiro memberikannya dengan senang hati.

Hawa begitu tenang dan nyaman. Sehingga dirinya bisa istirahat dengan tenang. Walau ujung-ujungnya ada sesuatu yang mengganggunya setelah ini.

"Hiro ... Sakaki Hiro!"

Lamunan tersebut buyar ketika salah satu guru menyebutkan namanya. Celakanya, Hiro tidak mendengarkan ucapan beliau sama sekali. Dia menatap tajam guru tersebut. Beliau berkeringat dingin, takut Hiro melakukan tindakan di luar sekolah.

"A-a-apa lihat-lihat?"

"Sudah kukatakan berkali-kali ... jangan mengganggu tidur siangku," ucapnya bernada tegas dan memancarkan aura intimidasi

Sehingga beberapa murid mulai menjauhinya. Pak Guru memegang buku erat-erat, bersiap melemparkan batu kapur kepada Hiro. Tapi dirinya dapat menangkapnya dengan mudah. Lalu dia hancurkan sampai kapurnya pecah berkeping-keping. Sadar tindakannya melampaui batas, Hiro berdiri. Memohon maaf.

"Maaf. Saya ... saya tidak bermaksud melakukan itu,"

Terlambat. Semua orang sudah melihatnya. Pak Guru tidak mampu menahan emosi lagi. Jari telunjuknya menunjuk ke Hiro, kemudian jari telunjuk kiri mengarahkan ke pintu ruang kelas.

"Keluar dari sini!" teriak Pak Guru.

Suara beliau membuat sekelilingnya menutup telinga. Begitu juga dengan Hiro. Sebenarnya, dirinya tidak mau mencari masalah. Tapi nasi sudah jadi bubur. Dia menerima konsekuensi yang dipilih. Hiro berjalan pelan menuju pintu ruangan. Berdiri dekat pintu sambil membawa dua buah ember. Tidak lupa juga ember besi berada di kepala, suapaya tidak menetes dengan mudah.

"Hari ini benar-benar apes," keluhnya.

Hiro merasa sedih, akibat tidak ada satu pun yang mau berteman dengannya. Teman masa kecilnya sudah meninggal akibat penyakit yang diderita. Begitu juga dengan kedua orang tuanya. Mereka tewas akibat kasus perampokan di bank empat tahun lalu. Sejak itulah, hari-hari Hiro dipenuhi kehampaan dan kesedihan terus menerus. Oleh sebab itulah, dia sering menonton anime dan tokusatsu. Hiro merasa butuh penyegaran dalam pikirannya. Entah sampai kapan dirinya berhenti menonton anime.

Another World Chronicles [END Volume 1-3]Where stories live. Discover now