33. Waiting You

2.7K 222 18
                                    

"Mau sampai kapan?"

Tanya itu berhasil buat Jennie menoleh, tatap Raesung yang berdiri dengan songong menatapnya dari atas. Gemas, Jennie mencubit kulit kaki pemuda itu hingga sang pemilik mengaduh sakit "Mati saja sana kau!" makinya tertahan.

"Jangan ganggu. Sumpah saat kau datang bau bangkai tau!" Jennie mengibaskan tangan, mengisyaratkan Raesung untuk segera pergi dari sekitarnya.

"Halah, Aku 'kan baru mandi! Wangi sabunnya masih tercium kok!" bukannya pergi, pemuda itu malah duduk di teras tepat di sebelah Jennie. Menyodorkan ketiaknya agar Jennie percaya bahwa dirinya tidak sebau yang wanita itu katakan tadi.

"Menjijikan!" tepis Jennie kasar menoleh berlawanan.

"Hai Raesung tampan~!"

Sapaan dengan nada bicara yang sialnya menjijikan itu menghentikan debat, terkekeh geli saat Irene mencubit gemas pipi Raesung yang  bergidik ngeri. Pagar rumah terbuka lebar, satu mobil berwarna silver terparkir di depannya.

"Hai Jane!" perempuan dengan blouse hitam itu duduk menggantikan Raesung saat memilih kabur dari jeratan tante cabul seperti Irene.


Jennie mendeham, enggan menanggapi lebih. Netra hitamnya terfokus pada gerbang rumah, tidak berpindah titik barang seinci pun. Tatapan matanya kosong, hanya ada sebuah pengharapan kecil yang tampak.

"Bumi, dia jahat."

Irene bungkam, menoleh ke Jennie yang tersenyum kecut lalu melirih "Dia yang mempertemukan kami."

"Bumi baik, Jane." Irene tersenyum teduh, tau dimana dia harus memposisikan diri saat ini, mengelus pundak Jennie, mencoba merangkai kata "Realitanya yang jahat."

Jennie diam sebentar lalu sesaat kemudian menoleh, balik menatap Irene yang tak kunjung berhenti tersenyum "Gila ya kau?" tanyanya heran.

Irene menggeleng "Sudah mandi, 'kan?" dia bangun, menyampirkan ransel di pundak sebelah kiri "Ikut aku."

"Aku belum beres-beres rumah." katanya tak minat, cuaca terik sekali siang ini, keadaan benar-benar memaksanya untuk segera berbaring di kasur kamar.

"Biar Raesung saja, besok aku gajian, nanti akan ku beri beberapa Won untuknya." sergah Irene cepat, berjalan kearah mobil yang sengaja membiarkan mesinnya terus nyala.

"Bukan karena iba 'kan?" tuduh Jennie, prinsip 'Tak pernah mau dikasihani' masih menjalar di punggungnya.

"Aku 'sih tidak menganggap itu sebagai bantuan. Terserah mu kalau mau menyimpulkan begitu," balas Irene acuh, tampak tak perduli dengan tuduhan yang sempat Jennie layangkan padanya.

"Baiklah." Jennie bangkit, mengikuti Irene naik ke mobil. Di kursi samping kemudi, Jennie sibuk memasang safetybelt berbeda dengan Irene yang asik pada ponsel sejak tadi.

"Mumpung masih di rumahku, kalau tidak jadi lebih baik aku tidur di kamar saja." Katanya menyindir tak sabar.

Irene menatap sinis Jennie, berdecak terganggu. "Bawel!" gerutunya menarik gas mobil melaju, meninggalkan rumah Jennie dengan cepat.

"Ingin kemana kita?" tanya Jennie dengan antusias sambil membuka bungkus permen mint. Mencoba menghalau bau menyengat kendaraan milik Irene yang satu ini.

"Mendaki?" tanya balik Irene.

"Tidak waras," jawab Jennie dengan dengusan sarkas, mulai merasa Irene sedikit gila belakangan ini.

"Ada yang menunggu mu, katanya mau membicarakan sesuatu." Irene mengangkat bahu seolah di paksa melakukan hal yang benar-benar menyulitkan.

"Siapa?"

Andai saja Jennie tidak bangun sejak awal pagi ini, andai saja Jennie tidak merasa setenang biasanya hari ini, andai saja Jennie berhenti menunggu di balik pagar, andai saja Raesung menyuruhnya membereskan rumah, andai saja Irene tidak datang, andai saja Jennie tidak menyetujui ajakan Irene, dan andai saja Jennie... tidak bertanya siapa yang ingin menemuinya.

Karena dua detik setelah Irene menjawab, sesuatu meledak di hatinya, panas dan pilu, sudut matanya berair, menjadi cepat rapuh delapan hari terakhir ini.

"Kim Hanbin? Ingin melamarmu katanya."

••Selesai••

If You | Jenbin [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang