1. Get Ready?

10.3K 488 17
                                    

Jennie Kim mengambil langkah lebih dulu sesaat setelah mobil terparkir, menoleh dengan decakan pelan "Bisa cepat tidak 'sih?"

Bae Joohyun yang baru saja turun dari mobil mendengus, tatap dengki Jennie sebab tak berhenti menggerutu. Pikirnya, semangat sekali gadis itu! Padahal beberapa jam yang lalu Irene—sapaan akrabnya, sampai mengemis agar ditemani datang.

"Kenapa kau heboh? Yang diundang 'kan aku."

Jennie mencibir keras, kembali melangkah saat Irene menyusulnya tergesa dari belakang "Jangan halangi aku untuk dapat lelaki kaya!"

Irene balas pukul bahu Jennie main-main, tak terima gadis itu meninggikan suara padanya "Hormat sedikit dong! Aku ini lebih tua darimu loh asal ingat,.."

"Astaga! Pantas saja kau kelihatan seperti nenek-nenek usia 60 tahun!" jeritnya dramatis, sampai tutupi mulut pura-pura terkejut.

"Keparat."

Mata runcing itu melirik sekitar, bingung mencari dimana aula tempat acara diselenggarakan, karena lokasinya yang lumayan jauh dari area parkir. Dimata Jennie, deretan gedung besar dihadapannya terlihat sama saja, tak tau dimana letak bedanya selain sorot lampu yang menyala disetiap lantai.

"Aula dimana? Kenapa juga tempat ini sangat luas? Menyusahkan orang!"

Irene tarik ujung rambut tergerai milik Jennie gemas tak tertahan "Aku bilang juga apa? Jangan sok tau."

Jennie Kim tau sekali ini acara formal, dan masih tetap heran kenapa Irene selalu dipaksa untuk hadir. Si Bae Joohyun itu bukan donatur utama atau bahkan sekalipun CEO, dia hanya seorang karyawan disalah satu anak perusahaan media yang dapat posisi menguntungkan berkat wajahnya. Dunia memang pemilih terhadap beberapa orang, agaknya benar.

"Malam," Irene buka suara lebih dulu, dekati pria ber-rompi toxedo rapi warna hitam "Boleh saya tanya?"

"Aula pesta perusahaan Pak Kim ya?" tanya pria itu tanpa basa-basi, memimpin jalan menuju gedung utama, periksa kartu undangan milik Irene sebagai bukti syarat wajib tamu.

Sedangkan Jennie lagi-lagi mendengus sendirian dibelakang. Tak pernah mau buang waktu soal optimis bisa nikahi banyak laki-laki kaya raya disana.

"Silahkan nikmati layanan yang kami sediakan," pria itu pergi ketempat semula Ia berdiri menyambut tamu setelah membungkuk untuk pamit.

Tiba didepan pintu masuk Jennie tahan lengan Irene dahulu, tatap sekitar dengan anomali berdetak tak sesuai batas normal "Astaga,.. cerah sekali masa depanku!"

Terkagum, bahkan Jennie tak bisa menebak seberapa mahal harga barang-barang yang dikenakan oleh para konglo penjuru Korea itu disini. Oh ayolah! Shoulder maxi dress dengan heels senada yang Ia curi dari dalam lemari Irene, terlihat sangat menyedihkan dibanding baju mewah mereka.

"Contoh aku! Jangan permalukan dirimu sendiri." bisik Irene ditelinga, menarik lengannya untuk ikut masuk.

Jennie tambah sumringah setelah teliti segala dekorasi yang aula itu miliki, berbisik dengan mata menahan haru tangis "Money? Come to Mama.."

Keduanya kompak memberi salam, tersenyum manis kebeberapa kerabat kantor Irene. Jennie percaya diri ikuti semua yang wanita Bae itu lakukan, padahal tak kenal dan tak punya satupun teman dekat disini. Mereka yang tak pernah lihat Jennie diarea kantor terus menatap intens—dominan laki-laki.

Tak nyaman, si gadis Kim coba mengadu pada Irene "Hei, penampilanku memangnya hancur sekali ya malam ini?"

Irene jadi menoleh, pandangi Jennie dari bawah sampai atas selama lima sekon lebih, menggeleng pelan sebagai jawaban tanpa kalimat.

"Sial, tidak bisakah kita duduk dulu sebentar?" rengekan kaki Jennie mulai mati rasa terus terdengar, sebab sejak 15 menit terakhir, mereka berdua hanya lakukan siklus berulang—tersenyum dan membungkuk sepanjang jalan menuju pusat aula tempat makanan tersedia.

Harus dituruti mau tidak mau, akhirnya Irene menuju salah satu meja bar setelah puas mengomel, mempersilahkan Jennie Kim untuk duduk sambil pesan dua gelas beralkohol pada bartender.

"Sudah dapat incaran?" tanya Irene memangku dagu, perhatikan wajah suram Jennie sejak tadi.

"Daritadi yang kulihat hanya lelaki tua beristri."

Niat Jennie mendengus urung ketika tatapannya malah terkunci pada pria bersetelan navy sampai ujung kaki. Hanya senyum singkat yang sesekali terlihat, bersandar pada meja bar hampir ke sudut ruangan, terlihat tidak nyaman dari gerak-geriknya, berbanding terbalik dengan satu pria lain yang sibuk menyapa beberapa kenalannya.

"Heh," panggil Jennie pelan, Irene menoleh ikuti kemana arah pandang wanita yang Ia beri label orang merepotkan itu tertuju. Minuman mereka tiba, tapi sepertinya Jennie Kim sudah hilang nafsu "Kau tau mereka?"

Dahi Bae Irene menyerit kasar, berusaha tebak siapa wajah yang ditunjuk olehnya. Minim sekali cahaya, buat Irene agak kesusahan tapi mengangguk juga akhirnya.

"Jung Jaewon dan Kim Hanbin, memang kenapa?"

Jennie menyipitkan runcingnya untuk lihat lebih jelas wajah dua pria itu, melirih tanpa sadar " Siapa Jung Jaewon dan yang mana Kim Hanbin?"

Irene sesap sedikit cocktail diujung bibir gelas, lakukan hal yang serupa dengan Jennie "Suit putih Jung Jaewon, usianya tidak jauh beda denganmu, satu dari tiga penanam saham terbesar induk perusahaan tempatku bekerja, sering masuk portal utama berita ada didaftar pembisnis sukses termuda tahun ini. Masa kau tak tau?"

"Kim Hanbin?" Jennie tak menggubris tanya Irene, si gadis tahan sejenak nafas, perasaan aneh mampir dihati ketika lelaki dengan setelan navy tadi Irene tunjuk.

"Dia anak bossku, pemilik pesta ini." sekali lagi Jennie perhatikan sekeliling, pesta yang dalam kamusnya masuk kategori mewah sekali, dengan tafsiran biaya yang tak sedikit pastinya "Informasi tentang kehidupan pribadinya masih simpang-siur, tapi kudengar minggu depan posisi CEO akan diambil alih olehnya, jika omset Kim Hanbin memenuhi ekspetasi Ayahnya selama satu bulan, lisensi perusahaan akan dipindah namakan atas namanya. Dengan kata lain perusahaan itu jadi milik Kim Hanbin sepenuhnya."

Secara materi, perlukah Jennie meragukan seberapa banyak uang bersih yang Kim Hanbin miliki?

"Apa dia punya kekasih?"

"Entah ya, karena sampai sekarangpun Ibunya selalu takut Kim Hanbin susah punya keturunan jika terlalu berumur untuk menikah, atau sebenarnya Kim Hanbin,... tau maksudku 'kan? Tapi Kim Hanbin selalu bilang alasan kenapa dia memilih tidak buru-buru pacaran, Kim Hanbin hanya belum menemukan wanita yang serius mencintai dirinya, bukan karena harta atau sesuatu yang lain."

Jennie mengangguk paham, beri Irene atensi penuh "Lagipula kenapa harus berfikir sampai seironis itu 'sih? Memangnya kenapa kalau nikahi perempuan yang mencintai hartanya? Toh, kata tulus cuma omong kosong dijaman ini. Sampai kata orang, ada anak pejabat yang ditolak mentah-mentah oleh Kim Hanbin, pasti akan jadi berita heboh ketika undangan pernikahannya tersebar, terutama untuk gadis-gadis yang pernah Ia tolak."

"Aku akan jadi yang pertama,"  Jennie bangkit dari duduknya, tatap mantap tubuh Kim Hanbin yang beberapa kali paksa mata terpejam, antara lelah dan tak nyaman.

"Apa?" bingung Irene angkat dagu, kerutkan dahi ketika posisi Jennie jadi lebih tinggi darinya saat ini.

"Aku akan jadi yang pertama membuat Kim Hanbin jatuh cinta, sampai harus berlutut didepan kakiku," kata Jennie penuh ambisi, melangkah dengan seribu kepercayaan dalam diri, singgung sebuah senyum culas di garis bibir meninggalkan Irene yang terkekeh tak habis pikir ditempatnya duduk.

Memimpikan sebuah kemewahan, hidup penuh gelimang harta dan Kim Hanbin adalah jembatan. Jembatan tanpa liku bagi Jennie Kim untuk wujudkan hal yang telah lama Ia angan-angankan.

❄•

If You | Jenbin [√]Where stories live. Discover now