31. Suitable

1.7K 207 1
                                    

Jennie memang bukan orang dengan rumah besar yang mewah, baju-baju mahal, gaya hidup berkelas. Bukan, dia bukan orang yang seperti itu. Untuk membeli make-up saja dari hasil tabungan upah kerja selama sebulan, tapi dia bersyukur setidaknya dia dan Raesung hidup jauh dari kata 'kekurangan'.

Dia tinggal hanya berdua dengan Raesung di rumah yang tidak lebih dari kata 'mewah dan megah'. Ukuran rumahnya 60 m x 40 m, hanya ada satu ruang tamu, tiga kamar tidur dengan kamar mandi, satu dapur juga satu kamar mandi tamu, dan halaman belakang rumah yang tidak pernah Jennie sentuh sedikitpun. Jangan tanya kemana orang tuanya pergi, dia enggan bercerita lebih lanjut perihal itu.

Tentu saja, jika di bandingkan dengan keluarga Hanbin yang punya segalanya, bagaikan bumi dengan langit. Jennie tidak menyangkal, dia cukup sadar diri akan hal itu. Seperti beberapa menit lalu, saat Jennie tau bahwa perempuan tua yang duduk di depannya adalah ibu Lalisa, adik ayah Hanbin, yang secara garis besar adalah Bibi Hanbin.

Berlebihan sebenarnya jika menyebut wanita itu perempuan tua, karena fakta fisiknya yang jauh sekali dari kata tua. Wajahnya putih bersih, tatapan matanya yang mantap sarat akan keangkuhan, jarang sekali menemukan keriput di wajah cantik itu, paling-paling yang terlihat hanya di sekitar mata.

Jennie tidak marah ataupun kesal, lebih merasa malu dan tak pantas. Dia jadi berfikir dua kali untuk mencintai Hanbin, alasan sampai detik sekarang apa yang Kim Eun-Kyung tanyakan padanya sama sekali belum mendapatkan titik temu, malah terkesan buntu.

"Apa kau merasa layak untuk Hanbin?"

Pertanyaan itu langsung dijawab Jennie tanpa ragu, dia percaya diri, Hanbin juga tidak pernah berkata bahwa laki-laki itu risih "Ya, tentu saja."

Eun-Kyung menghela nafas, senyum manis di wajahnya tak luntur, terkesan anggun bak ratu di negeri dongeng memang. Tapi Jennie sadar, Eun-Kyung tidak benar-benar menginginkannya.

"Lalu, apa kau merasa layak untuk keluarganya? Apa kau merasa bahwa jika Hanbin mencintaimu, lalu keluarganya akan mencintaimu juga?"

Pertanyaan ini yang membuat lidah Jennie kelu, dia jadi merasa cemas tak beralaskan, otaknya benar-benar kosong, dia tidak pernah segagu ini sebelumnya.

"Sudah berapa kali 'sih aku bilang?"

Jennie menoleh ke pemilik suara yang dengan lancang membuyarkan lamunannya. Enggan meneruskan percakapan mereka, Jennie memilih menatap jalanan yang mereka lalui. Macet, suasana seperti ini di hari libur sangat biasa.

"Jane,"

Jennie kembali menoleh, bukan bermaksud untuk mencueki Hanbin, tapi Jennie punya benang kusut yang bercabang di dalam otaknya, dan dia bingung harus diapakan benang kusut itu. Dia benar-benar diam, kali ini memindai Hanbin dengan intens.

"Jangan dengarkan ucapan Bibi Eun-Kyung."

Nada bicara Hanbin memelas berharap Jennie mau memahami, Ia  memilih untuk menangguk saja kemudian kembali memandang ke luar jendela kaca mobil, membiarkan Hanbin fokus pada jalan raya.

"Jane,"

Sekali lagi panggilan itu terdengar, Jennie menoleh malas dapati Hanbin yang bukan fokus menyetir, malah diam memandangnya. Jennie melotot, mengisyaratkan Hanbin untuk fokus saja pada jalanan di depan.

"Jangan gila, Kim Hanbin!"

Hanbin menghentikan secara tiba-tiba mobilnya saat sudah masuk kawasan rumah Jennie, buat satu mobil yang persis ada di belakang mobil hitam Hanbin membunyikan panjang klakson hampir menabrak. Jennie tersentak ke depan, untung saja kepalanya tidak terbentur dashboard karena memakai safety belt.

If You | Jenbin [√]Where stories live. Discover now