7. Zone

2.9K 328 14
                                    

Lelah sekali, Kim Hanbin turuni anak tangga dengan malas dan langkah kaki lebar, berharap acara makan malamnya hari ini berakhir dengan cepat. Jarang-jarang Ibu dan Ayahnya ada dirumah begini— ah lebih tepatnya Hanbin yang jarang dirumah belakangan ini.


Masih dengan setelan baju kantornya, hanya sekarang jas hitam yang tadi Ia pakai sudah terabsen ditumpukan pakaian kotor, sisa kemeja putih yang dua kancing teratasnya di biarkan terbuka, lengan kemeja yang ia gulung setengah siku dan trousers hitam yang masih terlihat licin dan rapi.

Kim Hanna tersenyum teduh setelah putranya membungkuk sebagai salam, duduk dihadapannya dengan penampilan kacau sekali. Kim Hyu-yeon tak kunjung berhenti memberi senyum bangga, putra tunggal keluarga Kim itu masuk kategori berhasil dalam kamus yang Ia buat.

"Perusahaan baik-baik saja hari ini, Nak?"

Kalimat pembuka dari sang Ayah, buat Hanbin mengangguk pelan tanpa beri atensi "Seperti harapanmu, Ayah."

"Bagaimana denganmu?"

Hanbin tarik singkat garis dibibir setelah Kim Hanna menuangkan air kedalam gelasnya "Sangat baik."


Kim Hyu-yeong mengangguk puas, maklum dengan tabiat si anak yang bicara seperlunya saja. Masih tertera senyum ringan, kepala keluarga itu menghembuskan nafas senang "Ayah bangga padamu, Hanbin. Pak Nam bilang keadaan kantor akhir-akhir ini kian membaik sejak kau yang memimpin. Ayah sarankan untuk selalu cermat mengambil keputusan."

Hanbin tersenyum samar, meski bukan kali pertama disanjung seperti ini perasaannya tidak bisa berhenti bermonolog bahagia "Terima kasih."

Makan malam selesai, Hanbin pamit lebih dulu untuk masuk ke kamarnya. Berendam dengan air hangat menjadi pilihan paling bagus, lelahnya ikut hilang dalam sekejap mencium wangi sabun yang menguar memenuhi ruang kamar mandi.

Melirik arloji ditangan, Hanbin memutuskan sudahi acara berendam setelah 30 menit berada di bath-up. Malam ini kasur tak senyaman malam-malam sebelumnya, biasanya Kim Hanbin akan langsung pulas hanya setelah kepalanya menyentuh bantal. Tapi malam ini setelah bulak-balik pada posisi senyaman mungkin, Hanbin tetap terjaga walau sudah memaksa matanya untuk terpejam, berakhir dengan pusing hebat dikepala.


Tatap lama salah satu nomor tanpa nama yang ada dikontak panggilan tak terjawab ponselnya. Tau betul siapa pemilik nomor yang meneror dirinya sejak pagi. Bibirnya terkulum kedalam, kesal bukan main saat sadar sebegini besar pengaruh Jennie Kim terhadap hidupnya beberapa hari terakhir.

Memangnya apa yang luar biasa dari seorang Jennie Kim?

Sesering apapun kalimat itu melintas diotak, sesering apapun Kim Hanbin memberi jawaban yang sama berulang-ulang, sesering itu juga bayangan Jennie Kim yang tak pernah bisa hilang dari kepalanya di setiap malam.


Memilih keluar kamar, Hanbin memutuskan kunjungi kamar orangtuanya saja, siapa tau Kim Hanna bisa beri solusi untuk masalahnya. Mengetuk secara bertahap dengan pelan, takut memganggu pemiliknya.

Kim Hanbin pilih menyerah sebab tak mendapat respon apapun setelah 2 menit lamanya Ia berdiri. Membalikkan tubuh, berniat kembali ke kamar namun urung ketika suara kunci terdengar diputar, menampilkan sesosok wanita dibalik papan pintu dengan senyum teduhnya, senyum yang menjadi favorite Kim Hanbin dalam kurun waktu 25 tahun hidupnya.

"Maaf menunggu lama. Rajutan ku hampir selesai saat kau mengetuk pintu."

Hanbin meringis kecil tak enak "Aku mengganggu ya?"

"Jangan berlebihan sayang" tawa renyah datang, Hanna tutup pintu untuk ikut kemana Hanbin membawanya "Bicara dikamar mu saja ya. Ayah akan sangat marah jika tidurnya terganggu."

Menurut patuh setelah sang Ibu menyuruhnya masuk kamar lebih dulu, menyusul katanya. Benar saja, setelah 2 menit, wanita paruh baya itu masuk membawa segelas penuh susu putih, buat Hanbin merona malu diatas kasurnya.

"Ibu..." merengek persis anak kecil, Hanbin melupakan fakta bahwa dulu, dia tidak bisa tidur tanpa meminum susu putih.

"Siapa tau setelah ini kau bisa pulas?" duduk ditepi ranjang, tepat disamping Hanbin yang duduk bersila, melirik jam di dinding yang menujuk pukul 02:45 dini hari.

"Kenapa ya Bu, aku tidak bisa berhenti memikirkan wanita itu?"

Setelah meneguk habis susu putih, Hanbin menengadah, menatap langit-langit kamar yang bersih meski sebenarnya Kim Hanna pasti tau hal apa yang akan Ia bahas.

Lagi-lagi senyum teduh itu hadir, buat Hanbin kadang berfikir sifat pelit senyum di dirinya ini menurun dari siapa—ah mungkin dari ayah "Sini, baringkan tubuh mu."

Memangnya kapan 'sih Hanbin mau membantah perintah Ibunya. Berbaring dengan kepala yang menumpu diatas paha Kim Hanna "Dengar aku, Bin. Ada dua hal yang tak bisa kau ubah dalam dunia ini. Pertama, takdir untuk hidupmu. Kedua, takdir yang mengikatmu pada cinta."


H

anna beri jeda, biarkan Hanbin mencerna kalimatnya "Kau bercandakan saat bilang tidak ingin mencintai wanita manapun selain aku? Tuhan selalu adil Bin, setiap makhluk yang hidup diberi hak istimewa. Apa itu hak istimewa? Istimewa karena kau merasa dicintai."

"Lahirnya dirimu. Kau terbuat dari kasih sayang dan cintaku dengan Ayahmu, lalu kau masih tanya kenapa? Makhluk hidup diciptakan berpasang-pasangan, saat kau bilang bahwa kau tidak ingin mencintai atau menikahi siapapun, itu salah besar. Kamu hanya belum dewasa untuk gau bagaimana cara cinta datang tanpa terduga."

Tetap pada posisi ternyaman, Ia diam pandangi foto bocah laki-laki berkaca mata yang tertempel di dinding. Kim Hanbin saat usia 10 tahun, bocah manja, lugu dan angkuh, yang hanya tau bagaimana rasanya kebahagiaan ada karena dikelilingi orang-orang yang mencintainya.

"Tidak ada salahnya membuka hati, setidaknya kau harus belajar bagaimana patah hati bisa mendewasakan seseorang. Pasti akan ada wanita yang tulus mencintaimu, mendukung bagaimana kamu dimasa depan, yang selalu jadi penopang pilarmu, yang siap memimpin ketika kau salah langkah, wanita yang bisa tegak berdiri ketika kamu jatuh. Dia yang nanti akan menjadi seluruh nafasmu, menjadi Ibu untuk anakmu, menjadi putriku dan Ayahmu suatu hari nanti."

Dengkuran halus terdengar, buat Kim Hanna menoleh ke sumber suara. Kim Hanbin pulas dipangkuannya, bagaimanapun orang lain menyebut Kim Hanbin adalah anak yang ketus, tidak sopan, tidak punya kebahagiaan hanya karena tak pernah mau menunjukan senyumnya pada orang lain.

Kim Hanbin tetaplah Kim Hanbin-nya. Bocah labil yang bahkan tak tau bagaimana rasanya jatuh cinta, bocah dengan ego tinggi dan keras kepala tak pernah hilang, satu-satunya putra keluarga Kim yang berharga.

Mengecup kening Hanbin lama, melirihkan satu kalimat hampir terdengar seperti bisikan.

"Harus selalu jadi laki-laki yang baik untuk Jennie Kim ya? Harus."

•❄•

If You | Jenbin [√]Where stories live. Discover now