2. Begin

4K 382 7
                                    

"Bagaimana? masih nekat soal menakhlukan hati Kim Hanbin?" ledek Irene serius tahan ledakan tawa, pandangi Jennie yang sejak datang terus remat kasar rambutnya sendiri, frustasi jika kejadian beberapa malam yang lalu tiba-tiba mampir dibenak.

Malam itu, yang Jennie kira Kim Hanbin bisa jadi jembatan untuk impian-nya, malam dimana Jennie memantapkan langkah untuk datang pada takdir. Tapi semuanya hancur, Jennie dibuat cemas berlebih hanya dengan satu kalimat yang Kim Hanbin lontarkan dengan senyum sama culasnya.

"Kau terlihat sangat menyedihkan."

"Mulutnya kejam sekali." jawabnya lesu menidurkan kepala diatas meja, memainkan gelas Ice Americano miliknya yang sisa seperempat.

Irene mengendikan bahu tak ambil pusing, seraya menyesap kopi persis milik Jennie "Mungkin karena itu Kim Hanbin sulit dapat pacar, orang yang pemilih sepertinya."

Jennie bungkam lagi, sudah tebak akan begini tapi tidak pernah berfikir kalimat itu sampai berpengaruh sebegini besar padanya.

"Upahmu jadi barista tidak cukup memang? Sampai nafsu begitu dengan uang Kim Hanbin," tanya Irene menyimpan ponsel di tas, tatap punggung Jennie yang malah menegak.

"Sistem kerja ditempatku 'kan shift, jadi upah yang diberikan juga tak sebanyak jika aku kerja full sampai café tutup. Lagipula jika hanya mengandalkan uang itu, SPP Raesung apa kabar? Aku dan dia juga butuh uang untuk makan."

"Kenapa tidak ajukan saja pada boss mu? Lumayan jika kau dapat upah banyak karena kerja full, ya resikonya tubuhmu yang menanggung."

Saran Irene berhasil buat Jennie mendelik sewot "Yang kerja disana bukan cuma aku bodoh! Aku tak setega itu untuk ambil rezeki orang lain."

Sebelum amukan datang sebab terselip kata bodoh uang Irene yakin kalimat kurang ajar itu ditunjukan padanya, ponsel putih Jennie berdering nyaring dari dalam saku celana. Sebuah nama tak asing tampil dilayar, setelah pencet tombol hijau Jennie menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Apa?"

"Barusan, walikelas kabari aku soal pembayaran SPP."

Raesung menghembuskan nafas di telepon, Jennie Kim jadi turunkan bahunya pasrah.

"Lalu aku harus bagaimana lagi? Uang upahku bulan ini sudah terpakai membeli buku paket untukmu, 'kan?" Jennie tatap kosong kuku jarinya yang diberi cat merah, kembali membatin.

"Entahlah."

Keduanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing, sedangkan Irene mencoba pura-pura tuli, tidak ingin ikut campur urusan privasi Jennie.

Nafasnya gusar bersama nyeri di pelipis Ia pijat, siklus sama yang Jennie Kim ulangi selama beberapa menit.

"Yasudah, nanti ku pikirkan caranya agar lunas. Tidurlah, sudah hampir tengah malam." setelah dehaman terdengar dari sebrang sambungan, Jennie simpan ponselnya disaku, jelas sekali tertekan.

"Ingin pinjam uangku? Tak usah dianggap sebagai utang."

"Kantormu butuh karyawan baru tidak?" bagaimanapun Jennie tidak suka dikasihani orang lain, menghindari kontak mata sebab ditempatnya Irene memandang iba.

"Kau buat saja dulu surat lamarannya, nanti akan kutanya teman-temanku." Ice Americano jadi objek kemana tangan Irene harus tertuju, prihatin ketika perasaan bukan ini Jennie Kim yang Ia kenal hadir.

"Lusa aku akan mengabarimu lagi, tolong ya tanyakan?" Jennie rapihkan barang bawaannya, rapatkan celah diantara kaus tipis dan mantel tebalnya, Seoul cukup dingin malam ini.

Tanpa menunggu anggukan Irene, Jennie lebih dulu keluar dari café. Jalanan masih cukup ramai di jam 10 malam, memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki saja, kemanapun asal jangan kerumah.

Terhitung 20 menit yang Ia habiskan, sampai juga akhirnya Jennie disini. Sungai Han, salah satu pojok romantis di Seoul. Duduk menepi, pandangi air sungai yang terlihat gelap dan tenang. Tidak ada bulan atau bintang, hanya langit kosong yang terpantul diatas air.

Meski terkadang orang-orang menganggap Jennie sebagai perempuan tidak tau malu, menyebalkan, keras kepala, dan berkepribadian buruk. Tetap saja jauh dari dalam, Jennie Kim sama seperti halnya perempuan kebanyakan.

Ditinggal kedua orang tua dari usianya yang masih sangat kecil, Jennie belajar arti hidup. Bahwa uang adalah bagian penting yang harus setiap manusia miliki. Kenapa Jennie ingin sekali uang Kim Hanbin? Jawabannya sederhana, Jennie Kim ingin hidup tanpa lelah karena bekerja demi bisa terus hidup.

Suara tawa didekatnya membuyarkan lamunan. Mata runcing itu melirik ke sebelah kanan, temukan sepasang kekasih, si pria yang mengatakan sebuah lelucon lalu direspon tawa geli si wanita.

Disisi lainnya, ada sepasang remaja. Terdengar sunyi saja, karena jarak wajah mereka terkikis pelan-pelan, dengan si gadis yang mulai memejamkan mata. Jennie mencibir sinis, remaja zaman sekarang memang selalu gerak cepat.

Beralih menatap arah belakang punggungnya, lihat seorang laki-laki yang wajahnya dihalangi masker hitam. Berdiri tegak dengan mantel tebal milik brand terkenal dijarak 1 meter dari tempat Jennie duduk. Senyum gadis Kim itu beku, menyipit curiga coba tebak siapa pemilik sorot mata yang pernah Ia tatap sebelumnya.

Sadar, laki-laki itu membuka masker yang menempel persis didepan bibir penuhnya yang menyunggingkan sebuah senyum samar. Jennie membulatkan mata, detak anomalinya seperti dipompa dengan kecepatan tertinggi.

"Astaga,.." lirihnya tanpa sadar.

•❄•

If You | Jenbin [√]Where stories live. Discover now