8.3 - CARA

46 6 0
                                    

"Kau mau aku memanjat pagar ini?" Aku menatap Ian tidak percaya. "Gaunku panjang, ini akan menyulitkanku."

"Akan kubantu."

Ian lalu memanjat pagar halaman belakang sekolah terlebih dulu dan sukses dalam sekali panjatan, sepertinya dia sudah sering melakukannya. Memang pagarnya tidak terlalu tinggi, tapi tetap saja.. aku khawatir akan membuat malu diriku sendiri kalau sampai jatuh.

"Kau injak dulu batunya, lalu naik ke atas pagar." Ian memberi instruksi.

Gila, untung pagarnya datar. Tak urung aku menurut juga dengan Ian dan saat sudah di atas, Ian mengulurkan tangannya padaku. Aku pun menerima uluran tangannya dan lompat ke bawah. Kami hampir jatuh bersamaan, tapi untung Ian sigap menopang tubuhku sehingga kami kembali berdiri. Sebenarnya kalau jatuh juga tidak apa-apa sih, lumayan kan seperti adegan sinetron..

"Tuh kan, tidak sulit. Oh, tapi wajahmu merah sekali. Kau tidak apa-apa?" Ian memegang keningku.

Bodoh, terkadang aku benci wajahku yang gampang memerah saat tegang atau malu. "Tidak apa-apa, tapi bagian bawah gaunku jadi kotor."

"Maaf.."

"Aku tidak peduli kok, toh ini akan jadi hari terakhirku memakainya."

"Kuharap tidak."

Aku mengernyit.

"Kau terlihat cantik memakai gaun itu."

Aku yakin seratus persen wajahku sekarang sudah seperti kepiting rebus. Masih untung aku tidak pingsan!

"Cara, kau yakin tidak apa-apa? Wajahmu merah sekali! Terakhir kali aku melihat wajahmu semerah ini saat kau demam tinggi!"

Astaga, untung Ian super tidak peka. "Yakin kok! Ngomong-ngomong, kenapa kita ke sini?"

Ian tersenyum dan menggandeng tanganku, menggiringku lebih jauh ke halaman belakang sekolah. Kami kemudian berdiri tepat di tengah-tengah halaman dan dia menyuruhku duduk. Kami duduk dengan canggung sampai akhirnya Ian berkata, "Lihat ke atas langit."

Ah, rupanya dari sini bulan terlihat sangat jelas. Inikah alasannya membawaku ke sini? "Cantik. Aku baru tahu kita bisa melihat bulan sejelas ini dari halaman belakang."

"Ya. Dulu halaman belakang adalah lapangan futsal, aku dan teamku sering latihan sampai malam di sini. Saat itu aku baru menyadari."

"Oh.."

"Aku juga kadang masih kemari jika sedang penat, sayang kita tidak bisa melihat banyak bintang di kota ini."

"Ini sudah cukup bagiku. Entah kenapa melihat langit malam dengan bulan seterang ini dapat membuatku rileks."

"Iya kan? Lebih baik berada di tempat ini daripada ikut prom."

"Setuju." Aku tersenyum.

Yang terjadi berikutnya hanyalah hening. Kami terlalu larut menikmati pemandangan langit malam dan hembusan angin yang menerpa tubuh kami. Tapi keheningan ini tidak canggung sama sekali, keheningan ini terasa nyaman. Kurasa karena orang di sebelahku adalah Ian. Rasa nyaman ini benar-benar seperti saat kami kecil dulu. Tapi, satu hal yang pasti. Bahkan hanya duduk diam di bawah bulan mendengarkan suara malam pun, ternyata bisa jadi hal yang romantis.

"Kalau kau tidak keberatan," Ian tiba-tiba membuka suara. "Apa aku boleh merokok?"

Aku mendengus. Yang benar saja.. "Kau akan merusak udara malamku." dan suasana romantis ini!

Ian tertawa. "Udara malam membuatku ingin merokok."

"Apa kau tidak bisa berhenti?"

"Sudah kucoba, sulit. Tapi kurasa sekarang lebih baik. Dulu satu hari aku bisa menghabiskan satu kotak, sekarang satu hari hanya satu batang."

"Baguslah, tidak baik tahu!"

"Itulah penyakit manusia. Sudah tahu apa yang baik dan tidak baik bagi dirinya, tapi tetap melakukan hal yang tidak baik."

Aku hanya melotot mendengar jawabannya dan Ian sekali lagi tertawa.

"Suatu saat aku akan benar-benar berhenti kok, tapi sekarang pelan-pelan dulu."

——

Pretty ThingWhere stories live. Discover now