6.1 - IAN

61 3 0
                                    

Ley menyukai Cara.

Apa hubungannya denganku?

Aku masih ingat jawabanku saat itu, bahkan aku masih ingat jelas nada suaraku. Tidak ada ketegasan sama sekali di sana, yang ada aku merasa ragu. Ragu pada diriku sendiri bahwa memang hal ini tidak mempengaruhi perasaanku.

Ngomong-ngomong tentang perasaan, aku tidak yakin bagaimana sebenarnya perasaanku pada Cara. Yang jelas, aku peduli padanya. Aku peduli padanya karena dia teman lamaku, dan aku tidak ingin orang licik seperti Ley menjadi pasangannya. Katakanlah aku egois, tapi Cara layak mendapatkan yang lebih baik.

Tiba-tiba aku mendengar suara berisik di lantai bawah. Jangan-jangan Ley dan Randy bertengkar lagi? Hhh.. menyusahkan saja! Setiap kali Sarah pergi mereka selalu bertengkar. Awalnya mereka berusaha menyembunyikan ketidak akuran mereka dariku, tapi sejak aku pernah memergoki mereka beberapa kali, mereka jadi tidak sungkan. Toh aku tidak peduli pada mereka.

Kali ini, aku mendengar suara pukulan. Keras. Maksudku, jika kau ada di lantai dua dan kau sampai bisa mendengarnya, bukankah itu berarti pukulan tersebut sangat keras? Aku pun buru-buru ke lantai bawah, mencari-cari sumber suara. Tak lama kemudian aku melihat Randy keluar dari kamar Ley namun pria itu tidak melihatku. Aku langsung mengintip ke dalam kamar Ley dan mendapati bocah itu duduk di lantai sambil memegangi pipinya. Mengenaskan. Pipinya merah dan bibirnya berdarah, mungkin sobek.

"Kau mau meledekku?" Ujar Ley tanpa melihat ke arahku.

"Tidak, aku tidak peduli dengan kalian. Tapi berapa kali harus kubilang, jangan bertengkar di rumahku."

Ley hanya tertawa.

"Lucu sekali kau masih bisa tertawa dengan bibirmu yang sobek."

"Ini sudah biasa. Kalau kau mau ketenangan, laporkan saja pada ibumu apa yang terjadi hari ini. Sesekali Randy harus diberi pelajaran, bukankah begitu?"

"Kau sendiri saja yang lapor." Balasku yang lalu meninggalkan kamarnya.

Aku tidak ingin ikut campur urusan mereka sama sekali. Dan kebencianku pada Randy semakin meningkat. Orangtua macam apa yang tega memukuli anaknya sendiri? Dengan sikapnya yang terang-terangan kasar seperti itu di depanku, dia ingin menjadi ayahku? Lebih baik aku mati.

Saat aku kembali ke kamar, aku menuju ke balkon meskipun tidak merokok. Dan sepertinya ini hari keberuntunganku karena aku melihat Cara sedang olahraga. Aku melihat jam tanganku. Jam sembilan malam. Aku sudah mulai terbiasa melihat Cara lari di malam hari. Aku pun memakai sepatu olahragaku dan menyusul Cara.

Diam-diam aku lari di belakang gadis itu tanpa sepengetahuannya. Aku bertanya-tanya kenapa sudah sepuluh menit lamanya dan dia masih tidak sadar seseorang mengikutinya. Saat aku menyusulnya di samping barulah aku tahu, Cara mengenakan earphone. Gadis itu terlihat terkejut saat melihatku dan buru-buru melepas earphonenya.

"Ian!?" Cara melotot.

Aku tersenyum. "Sedikit saran, sebaiknya kalau kau lari di malam hari jangan menggunakan earphone. Aku mengikutimu dari tadi dan kau tidak sadar. Bayangkan jika itu adalah orang jahat, kau jadi sasaran empuk untuk diculik, dirampok, atau apapun itu."

"Kau lupa perumahan kita ada satpam? Kalau ada orang berniat jahat padaku, pasti gampang tertangkap."

Aku memangut-mangut.

"Lagipula kenapa kau jadi sering olahraga jam segini?"

"Memangnya kau saja yang boleh?"

Cara cemberut. Ekspresinya lucu sekali sehingga aku tertawa.

"Aku seperti biasa butuh udara segar, saat melihatmu langsung saja aku ikut."

"Terlambat, aku sudah akan kembali ke rumah."

"Kalau begitu aku juga ikut."

Cara menaikkan sebelah alisnya.

"Kenapa? Bukankah rumahmu selalu terbuka untukku? Ayah dan ibumu sendiri yang bilang."

Cara hanya menggerutu.

----

Pretty ThingWhere stories live. Discover now