4.6 - IAN

73 11 0
                                    

"Kau tahu kemarin aku memergoki pacar Lucy selingkuh, menurutmu aku harus melaporkannya pada Lucy?" Candy berceloteh panjang lebar mengenai kronologis pacar temannya yang tertangkap basah selingkuh.

Aku mengangkat bahu, sama sekali tidak tertarik.

"Kau kenal pacar Lucy kan? Theo? Dulu dia adik kelasmu di klub futsal."

Aku hanya ber-"ohh".

"Tapi Theo juga temanku, aku bingung harus bagaimana. Ian, bagaimana menurutmu?"

Sekali lagi aku mengangkat bahu.

Dengan satu hentakan, Candy berdiri dari kursinya dan menyambar tas yang dia taruh di meja, lalu bergegas pergi meninggalkanku. Kami sedang makan di foodcourt sebuah mall sehingga tak urung banyak orang lantas memperhatikan kami. Saat Candy pergi, aku tidak langsung mengejarnya. Aku bengong sesaat dan otakku berpikir keras. Saat Candy pergi barusan, entah kenapa hatiku terasa kosong. Tapi saat aku bersama Candy, aku seakan tidak bisa menikmati kebersamaanku dengan gadis itu. Sebenarnya bagaimana perasaanku terhadap Candy? Meskipun tidak ingin berpikir demikian, tak urung hal ini terbesit di otakku. Aku hanya takut kesepian. Aku tidak suka kesepian. Aku benci kesepian. Aku mendengus kecil. Sebenarnya semuanya sudah jelas, tapi aku tidak pernah mengakuinya.

Dengan berakhirnya pengakuan kecilku, aku buru-buru mengejar Candy, menarik lengannya, dan mengiringnya ke parkiran mobil.

"Ada apa?" Tanyaku.

Candy melihatku dengan tatapan tidak percaya. "Kau menganggapku apa? Tadi aku sedang bicara, aku minta pendapat, tapi kau diam saja. Kau malas bicara denganku? Kalau malas kenapa kau mengajakku pergi hari ini?"

"Karena aku ingin pergi denganmu."

"Tapi sikapmu menunjukan yang sebaliknya."

Aku menghela nafas. "Oke, maaf. Menurutku kau harus lapor pada Lucy meskipun Theo juga temanmu, bagaimanapun Lucy harus tau."

Candy diam saja.

Aku hendak angkat bicara lagi ketika Candy memotongku.

"Ian, apa aku salah lihat? Kurasa aku melihat Cara dan Ley barusan."

Aku hanya memicingkan mata ke arah yang dimaksud Candy.

"Oh! Benar itu mereka! Tidak salah lagi, mereka masuk ke sedan bobrok Cara!"

Dan benar, aku melihat mereka. Cara dan.. Ley.

"Astagaa, kebetulan apa ini? Apa mereka sudah benar-benar berkencan sekarang?" Candy tertawa terbahak-bahak, seakan-akan dia lupa sedang marah padaku. "Ian, kau tidak penasaran?"

"Tidak, itu kan urusan mereka."

"Aku punya ide gila."

Oh tidak, ide gila Candy tidak pernah tidak ngawur.

"Ayo kita ikuti mobil mereka."

"Mereka pasti hafal mobilku, kita pasti akan tertangkap."

"Lalu kenapa? Bilang saja tujuan kita sama."

"Candy?"

"Ya?"

"Aku mau pulang saja."

Dan dengan jawaban itu, Candy ingat dia sedang marah padaku. Sepanjang perjalanan pulang, dia tidak berhenti mengomel.

Hari yang melelahkan.

----

Sudah satu jam lamanya sejak aku sampai di rumah, tapi aku belum melihat mobil Cara masuk garasi. Aku belum mendengar suara Ley masuk ke rumah. Kemana mereka pergi? Entah kenapa aku jadi sering bolak-balik ke balkon, padahal sedang tidak merokok. Aku memutuskan untuk keluar rumah mencari udara segar, berjalan-jalan di sekitar taman, dan mungkin merokok.

Saat berjalan ke ujung taman, aku melihat sepasang kekasih sedang melakukan hal apapun itu di dekat gang. Mungkin bercumbu, entahlah aku tidak peduli. Tapi saat aku berjalan beberapa langkah melewati gang tersebut, kuputuskan untuk peduli. Pasalnya, aku melihat mobil Cara.

Dan saat aku menoleh ke belakang, aku melihat pemandangan yang paling kusesali dalam hidupku.

Cara dan Ley. Mereka berciuman.

 Mereka berciuman

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

----

Pretty ThingWhere stories live. Discover now