5.4 - IAN

55 6 0
                                    

Apa yang kupikirkan? Menelepon Cara jam tiga pagi untuk menjemputku di bar? Yah, kalau sedang mabuk memang kau tidak bisa berpikir dengan jernih.. tapi tetap saja.. gadis itu bisa celaka akibat permintaan konyolku!

Pagi tadi aku bertemu dengan Candy, belum apa-apa gadis itu sudah marah-marah ketika melihatku.

"Kau tahu, alasanmu memutuskanku sama sekali tidak masuk akal! Karena aku terlalu manja? Kekanak-kanakan? Karena kau sudah tidak nyaman? Yang benar saja?" Katanya.

"Hmm.. memang begitu kenyataannya. Aku sudah tidak menemukan kecocokan diantara kita dan setelah kupikir-pikir lagi, aku sudah berhenti suka padamu sejak lama."

"Sejak lama? Lalu kenapa kau teruskan?"

"Karena aku tidak ingin sendirian."

Candy menamparku. Keras. Pipiku rasanya panas. Sial.

"Dasar brengsek! Oke, kita putus. Kau akan menyesal putus denganku! Dan kalau pacarmu berikutnya lebih jelek dariku, akan kuledek kau habis-habisan."

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Kapan Candy bisa dewasa?

Sorenya, aku mampir ke rumah Cara karena Sarah memberitahuku bahwa Cara sakit. Saat kutanya, katanya lebih baik aku menjenguk sendiri. Dan jadilah aku disini, di rumah Cara, dengan Alex, Alice, dan Candy di meja makan. Saat aku datang, mereka menyuruhku makan terlebih dahulu.

Saat Candy melihatku, gadis itu menatapku sinis dan lalu melengos pergi ke kamarnya. Tak urung Alice menginterogasiku.

"Tidak biasanya Candy begitu saat kau datang, apa kalian sedang bertengkar?"

Aku tersenyum masam, "Kami putus."

Alex dan Alice hanya ber- "Ohh." Tapi tidak bertanya lebih lanjut lagi, mungkin tidak ingin ikut campur.

"Kau mau menjenguk Cara?" Ganti Alex yang bertanya.

"Ya, kudengar dia sakit?"

"Demam tinggi sejak kemarin. Kemarin suhunya masih 37.9 derajat, tapi hari ini 38.5 derajat. Kalau besok bertambah parah rencananya akan kubawa ke rumah sakit." Jawab Alex sambil mengaduk-aduk teh yang baru diberinya gula.

Cara demam? Sejak kemarin? Ya Tuhan.. jangan bilang gara-gara aku demamnya semakin parah.. aku jadi merasa sangat bersalah dan berpamitan pada orangtua Cara, meninggalkan lasagna yang baru setengah kumakan, dan segera ke kamar Cara.

"Cara? Ini Ian." Kuketuk pintu kamarnya dengan pelan.

Tidak ada jawaban.

Tidur kah? Kuputuskan untuk tetap masuk dan membuka pintu dengan perlahan, takut jika gadis itu terbangun.

Cara sedang tidur pulas sehingga aku menarik kursi di sebelah ranjangnya dan mengamati wajah gadis itu. Demi Tuhan, kalau dia sedang sakit kenapa dia datang menjemputku? Bisa saja dia menolak. Kurasa kalau kemarin dia tidak datang dan beristirahat, demamnya akan membaik.

Tanpa sadar tanganku berulang kali mengelus kepala Cara, dan sesekali memegang dahinya.

"Maaf Cara, sakitmu jadi tambah parah begini. Kuharap besok kau merasa lebih baik." Setelah itu kukecup keningnya dan aku meninggalkan kamar Cara.

"Seseorang lupa menutup pintu." Ujar Candy ketika aku keluar, dia mencegatku di depan kamar Cara.

"Bodoh, saat kau masuk tadi pintunya terbuka dan aku melihatmu mencium Cara. Jadi? Kau bisa jelaskan?"

Aku hanya mengangkat bahu. "Memangnya tidak boleh?"

Candy menatapku tidak percaya. "Ian, kita baru putus. Dan sekarang kau mencium Cara? Apa-apaan? Jadi kau memutuskanku karena sekarang kau lebih tertarik dengan Cara?"

"Aku tertarik dengan Cara dari dulu." Jawabku yang lalu menepuk pundak Candy pelan dan pergi meninggalkannya.

"Brengseeek! Pacari saja Cara! Dasar dua orang aneh!" Candy meneriakiku dari jauh.

Aku hanya tersenyum. Aneh? Siapa yang peduli?

----

Pretty ThingWhere stories live. Discover now