8.1 - CARA

42 7 0
                                    

Prom persis seperti yang kubayangkan.

Musik yang terlalu keras, orang-orang setipe dengan Candy yang berdandan berlebihan, dan pesta dansa ngawur ala anak SMA. Apa yang menyenangkan dari semua ini coba? Ditambah lagi, ketika kami baru turun dari mobil, aku bisa merasakan tatapan-tatapan yang tertuju padaku. Ada yang berbisik-bisik, dan ada juga yang hanya menatapku sengit dari atas sampai bawah. Bagaimana bisa aku bertahan lebih lama lagi di tempat ini?

Ley meremas tanganku. "Kau terlihat gugup." Bisiknya.

"Kau lihat kan semua orang menatapku tidak enak? Apa aku terlihat lucu?"

Ley menggeleng. "'Mereka hanya iri karena kau punya pasangan sekeren aku."

Aku menyikut lengannya dan tertawa, tingkat kepedean Ley memang luar biasa.

"Sudah merasa lebih rileks?"

Aku tersenyum. "Ya, terima kasih."

Saat kami masuk ke dalam gedung, Ley masih menggandeng tanganku. Apanya yang lebih rileks? Aku rasa tanganku malah berkeringat dingin sekarang! Ini hal yang baru bagiku, bergandengan tangan dengan seorang pria.. Memang harus ya Ley menggandengku? Memang kami adalah pasangan prom, tapi kan bukan pasangan betulan.

"Kita duduk di meja sana saja!" Ley menunjuk ke salah satu meja dengan sofa berbentuk setengah lingkaran yang kosong. Saat kami akan menuju ke sana, Candy tiba-tiba mengurungkan niatnya.

"Kau dan Cara saja yang duduk di sana, aku harus menemui teman-temanku. Ayo Ian, ikut denganku!" Cara menarik lengan Ian pergi dan Ian memberi tatapan minta tolong padaku. Aku memberinya tatapan prihatin sebagai gantinya.

Aku dan Ley kemudian menuju ke meja yang kebanyakan berisi teman sekelas Ley. Mereka adalah satu-satunya orang yang tidak memandangku dengan tatapan sadis sehingga aku merasa lebih baik.

"Aku selalu ingin ngobrol dengan Cara." Ujar salah satu gadis berkulit sawo matang di depanku, lensa kontaknya terlalu besar dan warnanya biru sehingga menurutku dia terlihat seperti tokoh dalam komik.

"Cara anaknya baik kok! Kalau tidak, tidak mungkin aku mau berteman dengannya. Kecuali aku tidak punya pilihan." Ley yang menimpali. Sekali lagi, aku menyikut lengannya. Pria itu hanya meringis dan akting kesakitan.

"Jangan membuatku malu!" Bisikku pada Ley.

Rasanya sudah berjam-jam lamanya kami duduk dan ngobrol. Sesekali Ley pergi untuk mengambilkan kami minum. Saat Ley pergi, aku selalu merasa tegang. Aku pikir teman-teman Ley hanya mau berbicara denganku saat ada dirinya, tapi aku salah. Meskipun tidak ada Ley mereka tetap mengajakku ngobrol. Jadi ini rasanya punya teman? Aneh sekali, sudah lama aku tidak ngobrol-ngobrol seperti ini dengan orang lain.

MC mulai mengumumkan bahwa sekarang adalah waktunya untuk berdansa dan semua orang mulai bangkit berdiri. Aku tetap duduk.

Ley mengulurkan tangannya padaku. Aku menggelengkan kepala.

"Kenapa?" Tanya Ley dengan wajah memelas.

"Aku tidak bisa dansa, dan tidak mau dansa."

"Kau pikir aku bisa? Nikmati saja musiknya, masa mau duduk terus? Bokongmu bisa kram."

Aku melotot. "Aku lebih memilih bokongku kram."

"Bercanda kok. Ayolaah, lima menit saja!"

"Tidak."

"Ya."

"Tidak."

"Cara Eudia, kau tidak mau berdansa denganku?"

Aku meghela nafas. Meyerah. Sepertinya dia tidak akan berhenti sebelum aku menyetujui permintaannya. "Lima menit." Jawabku akhirnya.

Ley tersenyum lebar. Aku memperhatikan lesung pipinya. Pria itu mengulurkan tangannya sekali lagi dan aku menerimanya. Aku bangkit berdiri dari kursi dan mengikutinya ke kerumunan orang yang mulai berdansa. Astaga, lagu berisik seperti ini sama sekali bukan tipeku.

——

Pretty ThingWhere stories live. Discover now