2.1 - CARA

97 6 0
                                    

Aku tidak suka keramaian. Setiap jam istirahat di sekolah aku pasti menyendiri di tempat parkir, menikmati bekalku di dalam mobil sambil menyalakan musik dari band-band indie favoritku, dan terkadang sambil membaca novel Ghost Busters atau Malory Towers yang sudah kubaca entah berapa kali. Rasanya benar-benar tentram dan makanan yang kumakan bertambah lezat dua kali lipat.

Biasanya tidak ada yang menggangguku dan menertawaiku di saat ini. Tapi hari ini saat aku sedang makan bekal di dalam mobil, seseorang mengetuk kaca mobilku. Aku sudah bersiap untuk melabrak orang itu karena sudah mengganggu waktu tenangku. Tapi ketika aku melihat siapa orangnya, aku mengurungkan niatku. Aku malah membuka kaca mobil.

Ley memandangiku sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Apa?" tanyaku.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Seharusnya aku yang bertanya. Aku selalu di sini saat jam istirahat."

"Kau selalu makan siang di dalam mobil?"

Aku mengangguk.

Ley kemudian mengisyaratkan agar aku membuka kunci mobil. Aku pun melakukannya dan dalam sekejap, Ley masuk dan duduk di bangku penumpang sebelahku.

"Kalau begitu, aku juga akan memakan bekalku di sini."

Hah?

Ley memamerkan kotak bekalnya padaku. "Sarah bilang makanan di kantin tidak sehat sehingga dia membawakanku bekal."

"Oke, tapi kau tidak harus makan di sini. Apalagi bersamaku."

"Lalu aku harus makan di mana?"

Aku hanya memberi Ley tatapan tidak percaya. Maksudku, aku tahu Ley bukan orang Indonesia dan pasti banyak perbedaan antara Indonesia dan Polandia. Tapi aku yakin seratus persen di setiap sekolah pasti ada kantin. Semua orang makan di kantin. Semua orang kecuali aku.

Sebelum aku menjawab pertanyaan bodohnya, Ley lebih dulu menambahkan "Kantin selalu ramai dan teman-teman Candy mendominasi. Anak-anak tim futsal juga memakan banyak tempat. Jika aku makan di kelas, nanti kelasku dipenuhi bau makanan dan setiap saat aku akan merasa lapar."

Aku mengangguk-angguk setuju. Setidaknya kali ini argumen pendukungnya masuk akal.

"Jadi?"

"Jadi apa?" tanyaku bingung.

"Jadi apakah aku boleh makan bersamamu di sini setiap hari?"

"Boleh saja, asal kau tidak takut ditertawakan satu sekolah."

Wajah Ley kemudian menegang. Aku sampai takut melihatnya. Wajah malaikatnya yang biasa selalu dipenuhi senyuman seakan hilang ditelan bumi.

"Aku tidak takut." ujarnya. "Kenapa harus peduli dengan apa yang orang lain pikirkan?"

Aku mengangkat bahu. "Beberapa orang menjauhiku karena mementingkan gengsi dan popularitas."

"Aku bukan mereka. Aku merasa nyaman bersamamu, ngobrol denganmu. Dan demi Tuhan Cara, aku pernah merasakan hal yang lebih buruk daripada dijauhi dan ditertawakan."

Aku penasaran apa yang dimaksudnya dengan hal buruk, tapi aku tidak ingin mengorek lebih jauh. Kalau Ley ingin bercerita, nanti dia juga akan cerita dengan sendirinya.

"Oke, mulai sekarang ini jadi tempat makan siang kita." Ley tersenyum. Oh senyuman itu sudah kembali tertempel di wajahnya.

Aku hanya mengangguk dan meneruskan makan sementara Ley baru mulai membuka kotak bekalnya.

----

Pretty ThingWhere stories live. Discover now