29 | Patah untuk ke sekian kali

609 28 3
                                    

Windy menghapus kasar air matanya yang terakhir, ini yang terakhir. Lepas sudah semua kekesalannya selama ini.

Dia tidak peduli apa yang akan terjadi setelah ini, yang terpenting dia sudah mengungkap semua perasaannya, semua kekesalannya.

Selama ini yang dia lakukan hanya diam dan berusaha tak perduli namun yang terjadi dirinya justru semakin sakit memendam semuanya.

Ia tak ingin perduli lagi dengan Raina setelah ini, apapun yang terjadi dengan mantan sahabatnya itu. Ia tidak ingin lagi dekat-dekat dengan gadis itu, apapun yang akan terjadi.

Baru saja dia mau bangkit namun urung saat sadar seseorang duduk di sebelahnya. Keningnya mengernyit saat sadar siapa orang di sebelahnya.

"Lo ngapain?" Windy sadar, orang di sebelahnya ini bukan salah satu anggota pramuka dan tidak ada sangkut pautnya dengan acara di sekolah ini, ia yakin seratus persen pasti ada masalah setelah ini.

"Gue kangen." Cowok disebelahnya ini menyengir dengan ciri khas-nya.

Berkat bantuan dari dua temannya yang bersekolah disini, Evan jadi tau tempat mana saja yang jarang didatangin satpam.

Jadi Evan bisa lompat pagar deh ....

Perempuan itu mendengus sebal. "Gue lagi badmood jadi tolong lo jangan gangguin gue dan pergi dari sini ...," jedanya sebentar lalu menarik nafas. "Pergi dari sini!" dia melembutkan nada suaranya, memelankan volumenya namun menegaskan kalimatnya.

Evan menatap matanya. Siapapun yang lihat Windy dalam keadaan seperti itu sudah pasti tau kalau dia baru saja menangis.

"Lo abis nangis?" tanya Evan, dari nada suaranya terdengar jelas keseriusan disana.

Windy diam tak ingin berbicara lagi yang menimbulkan air matanya jatuh lagi. Dia meluruskan pandangannya kedepan, memilih pandangan lain selain wajah Evan.

Ia berharap dalam hati agar Evan tidak menanyakan apapun lagi dan segera pergi dari sini.

"Lo kenapa?"

Air mata Windy meluncur bebas di pipinya, ia kemudian menutup wajahnya dengan telapak tangan seperti biasa. Isakan terdengar jelas dari bibirnya.

Windy tidak apa-apa, dia kuat seharusnya. Namun, entah kenapa perasaan bersalah yang sejak tadi menyerangnya. Dia berusaha tidak perduli.

"Gue pergi ...," kata Evan setelah beberapa saat perempuan itu menangis, dia tidak ingin Windy semakin sedih.

Baru saja Evan bangkit, perempuan itu langsung mencekal pergelangan tangannya.

"Jangan pergi, disini aja sama gue ...," katanya lirih dan di akhiri dengan isakan. "Gue butuh elo disini."

Tak butuh banyak waktu untuk Evan menyadari bahwa Windy-nya telah berubah.

~®w~

Dua hari berlalu, ini hari terakhir mereka di sekolah ini. Beberapa peserta cerdas cermat sudah bersiap-siap untuk lomba yang sebentar lagi di mulai.

Raina merapalkan beberapa doa yang di atau dari guru agamanya agar dia tidak gugup. Namun tangannya dingin menandakan bahwa sejak tadi dia sudah gugup.

Ia menarik nafas kemudian membuangnya kasar. Dia sudah lihat saingannya dari sekolah mana saja, meskipun sekolah mereka beberapa kali memenangkan lomba cerdas cermat, tapi tetap saja saingan mereka juga tak kalah pintarnya dari mereka.

Disebelahnya Rai menyadari kalau partner nya itu sedang gugup. "Nggak usah gugup, tarik nafas."

Ia menoleh menatap cowok itu kemudian mengangguk.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now