33 | Bahagia atau luka?

644 29 4
                                    

Dua minggu berlalu sejak dia dan Raina bertengkar di taman SMA Flowerstia. Dan dalam dua minggu itu banyak hal yang berbeda dalam hidupnya, meskipun dia yang memutuskan untuk mengungkapkan semua kekesalannya pada perempuan itu. Dan dia juga yang memutuskan untuk tidak peduli dan mengeraskan hatinya untuk tidak peduli pada Raina dan dua sahabatnya.

Namun beberapa hari setelah Raina pindah tempat duduk, Acha dan Debby mendatanginya dan menanyakan perihal Raina, namun, ia hanya mengedikkan bahu tidak tahu dan memilih sibuk dengan kegiatannya. Juga beberapa teman sekelas yang menanyakannya hubungannya dengan Raina.

Jika kalian bertanya Windy berteman dengan siapa semenjak bertengkar dengan Raina, jawabannya dalah Evan, Angga, Kevin dan Vano. Empat laki-laki jahil yang membuatnya sesaat lupa akan lukanya, meskipun setelahnya luka itu kembali lagi.

Seharusnya ia lega setelah mengungkapkan segala kekesalannya pada Raina namun dia salah, justru dia lebih terluka ketika melihat Raina lebih periang tanpa nya, melihat Raina tertawa senang bersama Zaldi tanpanya.

Bukan, bukan karena perasaan iri yang kini membuatnya luka. Namun luka di mata Raina yang membuatnya semakin terluka. Raina bisa membohongi semua orang dengan tawanya namun tidak dengan Windy.

Dia tau Raina menyimpan luka begitu dalam.

Sementara Acha dan Debby tak berhenti untuk terus menegur Raina setiap hari, sampai akhirnya mereka menyerah mendengar kalimat Raina yang begitu menyakiti hati mereka.

Gue nggak pernah sudi punya sahabat centil yang hanya mikirin make up kayak kalian!

Sejak saat itu, tak ada lagi usaha mereka untuk mengembalikan Raina.

Windy hampir setiap hari pergi ke dermaga untuk menemui teman tanpa wujudnya, menutup mata dan beberapa bulir akan jatuh, setelahnya angin dengan sigap mengapus buliran itu dengan kelembutannya.

Tapi kali ini dia tidak sendiri disini, ada Evan di sampingnya yang tiba-tiba datang disana entah dengan tujuan yang tidak diketahui Windy.

Namun setelah cukup lama mereka mengobrol ia tau arah pembicaraan Evan.

Raina.

Karena yang Windy dengar sejak tadi dia bercerita tentang betapa terlukanya Raina saat Evan lihat di rooftop saat itu. Awalnya dia ingin mengganti topik pembicaraan, tapi dia juga penasaran dengan sahabatnya itu.

"Kalau menurut gue, dia butuh elo, Sya."

Dia harus mengganti topik pembicaraan. "Ehh btw lo kenapa manggil gue Tasya? Padahal lo udah tau nama gue sebenarnya Windy."

"Nggak usah ngalihin pembicaraan." Windy mendengus mendengar ucapan Evan. "Lo bahagia setelah ngelepas semua ke Raina?"

"Van ...," lirihnya. "Gue lagi nggak pengen ngebahas dia, gue kesini pengen tenang, tapi lo malah datang buat gue badmood lagi."

"Gue cuma pengen buat lo sadar, kalau nggak semua yang ada di pemikiran lo itu salah," kata Evan.

Windy lagi-lagi diam tak ingin menanggapi perkataan laki-laki di depannya ini. Kenapa masih belum ada yang mengerti dia?

"Sya."

"Hmm."

"Makasih, ya."

Alis Windy tertaut. "Makasi buat?"

"Buat gelang yang lo pake sekarang."

Ia menatap tangannya sekarang kemudian mengutuk dirinya karena lupa membukanya, dia harus bilang apa ke Evan? Bilang sengaja?

Sebenarnya gelang ini sudah bertengger di tangannya seminggu lalu saat di rumah, dan akan membukanya saat sekolah atau bertemu Evan dkk. Bisa-bisa malu dia kalau ketahuan Vano, Angga dan Adit . Sudah cukup dia diejek saat Evan terus saja memanggilnya my angel.

"Ini tanggal berapa?"

Kenapa dia nanya tanggal coba?

"Tanggal dua puluh satu," jawab Windy cepat. "Kenapa emang?"

Evan tersenyum lalu menatap lekat mata Windy. tanpa ia sadar tatapan mata itu membuat darah Windy berdesir hebat. Ia meluruskan tubuhnya menghadap Windy, dan Windy juga melakukan hal yang sama hingga sekarang mereka berhadapan.

Senja memenuhi langit kali ini, beberapa menit lagi matahari akan tenggelam dengan sempurna berganti dengan rembulan malam.

"Tanggal dua puluh satu jadi tanggal jadian kita, ya."

*** 

Angin yang berhembus di dermaga ini terasa dingin ketika malam, ditambah dengan suasana gelap yang menutupi air laut yang terlihat indah ketika siang. Dermaga sudah sepi ketika malam hanya beberapa orang yang terlihat berlalu lalang pada pinggir dermaga ini.

Windy dengan tubuh berbalut jacket jeans, duduk memandang kosong lautan yang kini gelap. Di sebelahnya, Arda dengan gitar ditangannya yang terlihat enggan dia mainkan dengan serius.

Arda memberhentikan petikan pada senar gitar kemudian memandang Windy. "Lo kenapa akhir-akhir ini ngejauhin gue?"

Sudah lama sebenarnya Arda ingin berbicara dengan Windy, namun dia belum ada kesempatan karena perempuan ini terus saja berlasan agar tidak bertemu Arda atau yang lebih parah Windy mengabaikan pesan dan telepon dari cowok berleseung pipi ini.

Tadi saat Mama Raina minta tolong untuk mengantarkan sejumlah uang kepada Raina dia berpesan.

Tolong jagain Raina ya, diluar yang orang tau, raina itu rapuh.

Itulah sebabnya Arda langsung menjemput Windy di rumahnya dan memilih tempat ini untuk berbicara.

Windy memeluk tubuhnya tanpa berniat menjawab pertanyaan Arda. Matanya fokus menatap burung-burung berterbangan di atas air laut.

"Lo marah gara-gara gue suka Raina?" Arda meletakkan gitarnya pada bangku yang mereka duduki kini. "Lo takut gue ngejauh setelah dapetin Raina?"

Masih tak ada jawaban dari Windy.

"Lo nggak bisa maksain semua orang buat peduli ke elo doang, semua orang peduli sama lo, tapi lo malah sibuk mikirin keegoisan lo yang justru bikin orang-orang makin ngejauh dari hidup lo!"

Windy memutar bola matanya berusaha untuk tidak perduli.

"Dan soal Raina, lo nggak pernah tau gimana sedihnya dia pas lo ungkapin semua kekesalan lo!" tegasnya.

Windy mendengus, kenapa orang-orang hanya perduli sama Raina?

"Kenapa gue harus peduli disaat dia nggak pernah peduliin gue!" Tanpa ia perintahkan matanya memanas dan air menggenang di pelupuk matanya.

"Gue nggak nyangka lo se-egois ini."

"ELO YANG EGOIS!" balas Windy, dia terisak namun Arda membiarkannya seperti itu. "Lo cuma mikirin Raina, yang ada di pikiran lo cuma Raina, Raina, Raina! Apa pernah lo mikirin gu—"

"Bokap sama Nyokap Raina mau cerai." Ucapan Windy terputus dengan kalimat itu. Hanya itu tapi mampu ber-efek dalam di hati Windy.

Isakannya terhenti, lalu menatap wajah Arda untuk melihat kebenaran atas ucapannya. Ia tau betul bagaimana sakitnya ketika kedua orang tua memilih untuk bercerai, dan ini justru terjadi dengan sahabat yang selalu menyemangatinya ketika itu.

"Sebelum pergi ke SMA Negeri Flowerstia dia lihat orang tua nya berantem dan dengar kalau ayahnya udah nikah sama orang lain di Semarang, gue juga pernah lihat tante Devi di antar pulang sama laki-laki." Arda yang tadi masih menatap ke arah air laut kini menoleh. "Itu yang mau di ceritainnya ke elo waktu itu."

"Dia butuh teman cerita. Dan yang dia butuh itu elo bukan gue atau siapapun."

Setelah mengatakan itu, Arda diam tak ingin mengatakan apapun lagi, dia rasa ini sudah cukup untuk membuat ke-egois-an yang dibangun seorang Windya Fahira runtuh.

Dalam sekejap Windy terisak mengingat setiap kata yang dia ucapkan waktu itu. Ia sadar, bahwa dia lah yang justru jadi penyebab kesedihan orang lain. Dia harus belajar lebih memahami orang lain.

Rain ... Maafin gue.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu