23 | Happy birthday, Windy!

635 38 4
                                    

Semesta bergulir tak kenal arah
Seperti langkah-langkah menuju kaki langit
Seperti genangan akankah bertahan
Atau perlahan menjadi lautan

Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari
~Banda neira- Hujan di mimpi

Sejak Rai pulang tadi sore, dia memilih mengurung diri di kamar sambil mendengarkkan beberapa lagu dari ponsel miliknya. Jam sudah menunjukan angka setengah dua belas malam, tapi gadis itu sudah tidak tahan lagi untuk menutup matanya dan pergi menuju dunia mimpi, namun semangatnya untuk mengucapkan wish untuk sahabatnya lebih mampu melawan rasa ngantuk dibandingkan lagu-lagu yang sejak tadi dia putar.

Raina menghentikan lagu itu dan memilih merentangkan tubuhnya menatatap langit-langit kamar dengan datar. Pikirannya mundur mengingat kejadian malam kemarin yang membuatnya selalu teringat dengan hal itu. Perempuan itu memeluk boneka panda pemberian ayahnya saat dia ulang tahun setahun lalu.

Raina memiringkan tubuhnya dan menatap sebuah foto yang ada disana, foto yang diambil tujuh bulan yang lalu saat anniversarry ke sembilan belas orang tuanya. Tangannya bergerak mengambil foto tersebut dan memilih untuk duduk bersandar pada kepala tempat tidur.

Ditetakkannya foto itu dan memilih memeluk erat bonekanya lagi. Raina mengangkat kepalanya saat mendengar dering dari ponselnya. Matanya menyipit berusaha membaca nama yang tertera disana.

"Arda ngapain nelpon malam-malam gini." Ia melirik jam dinding sebelum tangannya bergerak menggeser ikon hijau di layar ponsel.

"Kenapa Kak? Tumben banget nelpon malam-malam begini." kata Raina setelah menghapus air matanya yang tersisa.

"Gue denger, lo sakit. Gimana? Udah enakan atau masih sakit?" Terdengar nada khawatir dari suara Arda.

Raina tersenyum tipis. "Aku udah baikan kok."

"Lo udah makan?"

Raina memilih diam sejenak. "U-dah, aku udah makan." Raina menunduk.

"Rain?" panggil Arda

"Hmm?"

"Lo kenapa belum tidur?"

"Mau nunggu jam dua belas, aku mau jadi orang pertama yang ngucapin wish buat Windy." Raina tersenyum mengucapkan itu. Udah jadi kebiasaan Raina memang seperti ini.

"Lo harus istirahat Rain ... lo nggak boleh begadang." Lagi, Raina dapat mendengar nada khawatir pada kalimat yang dilontarkan Arda.

"Aku udah sembuh, Kak." Raina benar-benar yakin bahwa dirinya sudah sembuh dan besok dia akan pergi kesekolah dan memberikan hadiah yang sudah dia sediakan untuk Windy.

"Yaudah gue temenin, ya. Mau dengar gue nyanyi nggak?"

"Boleh." Dia kembali membaringkan tubuhnya dengan ponsel yang masih terletak pada telinganya. Diseberang sana terdengar suara gitar yang dimainkan oleh Arda.

We walk, we laugh, we spend our time walking by the ocean side

Our hands are gently intertwined

A feeling I just can't describe

All this time we spent alone, thinking we could not belong to something so damn beautiful

So damn beautiful

Raina diam tak menanggapi

In my dreams, you're with me

We'll be everything I want us to be

And from there, who knows, maybe this will be the night that we kiss for the first time

Or is that just me and my imagination

Di seberang sana Arda tersenyum setelah nyanyiannya terhenti.

"Kak?" panggil Raina.

"Hmm?"

"Windy kenapa, ya sama aku ...."

Arda memilih diam. Sejujurnya dia lebih berharap jika Raina membahas lirik terakhir dari lagu yang dia nyanyikan.

***

"Nggak hobi, Cuma gue suka aja."

Sejak kejadian di pekan raya tadi Evan terus menghiburnya agar tawanya kembali hadir. Tak hanya itu Evan juga mengajaknya untuk melihat beberapa pertunjukan, seperti pertunjukan musik, dan akrobat.

Beruntungnya mereka pertunjukan itu ada ada sebulan sekali di sana.

Evan berhasil membuat Windy tertawa lebih dari tiga kali, bahkan gadis itu merasa begitu bahagia sekarang meski beberapa luka masih membekas di hati.

Evan kini duduk di sebelah Windy pada bangku yang ada di taman sebelah rumah Windy. Setelah sibuk di pekan raya, akhirnya mereka memilih pulang lebih awal dari perkiraan Evan. Tapi sebelumnya, dia sudah meminta izin Bunda agar di taman ini lebih lama. Entah apa yang akan dia lakukan namun Windy menurut, tak bisa di pungkiri Evan bisa membuat Windy terbebas dari lukanya walau hanya sebentar.

"Gue kira hobi," kata windy kemudian tertawa. Ini sudah kesekian kalinya Windy dibuat tertawa oleh Evan. "Kenapa lo suka berantem? Kan segala sesuatu itu bisa diselesain baik-baik."

"Kalo kayak tadi mah nggak bisa cara baik-baik." Dia tersenyum kemudian berdiri.

"Oh, iya." Windy lagi-lagi tertawa tanpa ada beban yang terlihat pada raut wajahnya. Namun tawanya tak bertahan lama setelah menyadari Evan berdiri menghadapnya. "Van?" panggil Windy.

Evan melihat jam tangannya kemudian menarik tangan Windy untuk ikut berdiri. Laki-laki itu tersenyum yang entah kenapa justru membuat darahnya berdesir hebat, tatapan matanya tajam menatap Windy, tangannya menghangat akibat genggaman cowok itu. "Gue senang liat lo ketawa," jedanya sebentar. "Jangan sedih lagi, ya."

Windy diam, Matanya terpaku pada mata Evan. Ia masuk ke dalam mata setenang langit dan berhasil membuat dadanya menghangat tanpa ia perintahkan.

Evan senyum lagi kemudian tangannya membuka telapak tangan Windy. "Gue beli ini couple," kata Evan masih menunjukan senyumnya. "Gue nggak minta lo pake sekarang ...."

Ada kerutan samar pada dahi Windy.

"Gue tau lo nggak bakal pake gelang dari orang yang selalu bikin lo kesel." Evan terkekeh sebentar. "Lo pake ini kalo lo udah ngerasa nggak kesel lagi sama tingkah gue." Evan tersenyum dengan mata memandang lekat tepat pada mata Windy.

Windy terdiam dengan perasaan bingung, entah kenapa kini perutnya terasa seperti ada kupu-kupu yang berterbangan. "Van ...," panggil Windy, "Gue nggak ngerti."

Evan menutup telapak yangan Windy yang tadi terbuka. "Lo simpen aja dulu ...." Ia sengaja menjeda ucapannya. "Happy birthday!"

Mata Windy melebar lalu tangannya bergerak mengecek jam yang tertera pada ponselnya. "Kok tau gue ulang tahun?"

"Aku juga tau siapa tuhanmu," kata Evan yang mengikuti nada bicara Dilan.

Perempuan itu memukul pelan bahu Evan lalu tertawa bersamaan dengan notifikasi pesan masuk LINE bertubi-tubi.

Windy bahagia.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now