13 | Harapan yang melebur

706 45 6
                                    

Suasana kantin saat itu cukup ramai karena dipenuhi oleh siswa-siswi yang kelaparan setelah beberapa jam berada di dalam kelas. Keempat perempuan itu duduk pada meja yang cukup panjang, bangku dan meja yang mereka duduki masih cukup untuk beberapa orang duduk di sana.

Mereka sibuk memakan makanan yang ada di depan mereka sambil sesekali bercerita tentang hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Kening Windy mengernyit saat kuah bakso masuk ke dalam mulutnya. "Bakso gue nggak pedas," katanya lalu menoleh ke arah Acha. "Ambilin saus sambal, dong."

"Abis." Acha menggerak-gerakkan botol tersebut demi menunjukkan isinya yang sudah kosong.

"Yah, gue minta ke Bu Retno dulu, deh." Windy menggeser bangku yang didudukinya kemudian langsung melangkah kearah Bu Retno tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya yang lain.

Rai yang melihat Windy berjalan menjauh, kini memilih bergerak melangkah menuju Raina untuk mengajak gadis itu pulang bersamanya.

Ia sudah semakin dekat dengan bangku yang gadis itu duduki. Kemudian ia langsung duduk tanpa meminta izin terlebih dahulu.

"Pulang bareng gue, ya." Suaranya keluar setelah beberapa detik dia duduk tepat di depan Raina.

Bukan hanya Raina yang menoleh, tetapi Acha dan Debby juga ikut menatapnya dengan tatapan heran.

"Tapi gue sama Win-" tanya Raina yang penasaran.

"Gue tunggu di parkiran," potongnya langsung.

Sementara dari jarak beberapa langkah ditempat mereka, Windy berjalan pelan dengan mata yang memandang Rai dan Raina yang duduk berhadapan. Ada sedikit ketakutan di hati Windy saat melihat pemandangan itu. Perih di hatinya terasa saat semakin pikirannya memikirkan hal yang tidak pasti.

Gadis itu sempat melihat Rai yang menoleh ke arahnya sebelum memilih beranjak beranjak pergi meninggalkan meja itu tepat saat Windy hampir sampai di sana.

Windy meletakkan saus sambal itu kemudian meraih mangkuk baksonya tadi. "Ngapain Rai kesini?" tanya Windy tanpa memandang Raina. Tangannya masih sibuk menuangkan saus sambal itu pada baksonya.

"Lo kenal?" tanya Raina yang kini memandang Windy.

"Dia, 'kan juga alumni SMP Pelita, Rain." Kini Debby yang bersuara karna kebetulan dia mengingat wajah itu pernah ia temui saat dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

"Lah iya? Kok gue nggak ta-"

"Dia ngapain nemuin lo?" Merasa pertanyaannya tidak dijawab pertanyaan itu keluar lagi dari mulut Windy tanpa matanya menatap Raina.

"Ngajak gue pulang bareng," kata Raina menjeda, "Boleh, ya, Wind."

"Terserah." Hanya itu yang keluar dari mulut Windy saat dadanya berusaha menahan sesak.

'jangan-jangan gue sama Dika jodoh lagi!'

Ucapan Raina seminggu lalu membuatnya semakin khawatir, dia takut jika Raina akan menjadi milik Rai.

Itu memang hak mereka berdua, tapi entah kenapa Windy tidak pernah tega jika itu benar-benar terjadi. Hatinya menangis saat hanya sekedar memikirkan hal itu.

~®w~

Saat mereka melangkah memasuki sekretariat pramuka, orang-orang sudah ramai mengisi ruangan tersebut. Windy sengaja memilih meja paling sudut agar bisa menenangkan hatinya setelah ketakutan tiba-tiba menghampiri.

"Wind," panggil Raina yang berada tepat di sebelah Windy, gadis itu menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangan di atas meja.

"Hmm?" gumam Windy tanpa mengubah posisinya.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang